30 C
Medan
Thursday, May 2, 2024

Gebrak Sumut Tuntut Hapuskan UU Kesehatan Hingga UMP Naik 50 Persen

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Puluhan massa tergabung dalam Gerakan Buruh Berjuang Untuk Keadikan (Gebrak) Sumut menggelar unjuk rasa di Kantor Gubernur Sumut, di Jalan Pangeran Diponegoro Medan, Selasa (8/8) siang. Dalam aksi tersebut, Gebrak Sumut mendesak pemerintah menghapus Undang-undang Cipta Kerja dan Undang-undang Kesehatan.

Ketua Gebrak Sumut, Ahmadsyah Epen mengungkapkan, pihaknya menilai banyak dampak buruk dari pengesahan kedua Undang-undang tersebut bagi kaum buruh.

“Kita meminta pemerintahan Presiden Jokowi bisa mencabut Undang-undang nomor 6 tentang Cipta Kerja. Karena kami lihat UU ini pro sekali terhadap investasi tapi abai terhadap hak-hak kaum buruh di Indonesia,” sebut Ahmadsyah.

Ahmadsyah mengatakan, kaum buruh bukan pihak yang anti investasi. Tetapi, pihaknya berharap kebijakan yang diterapkan pemerintah bisa memberikan jaminan jangka panjang, jaminan hak dan upah layak kepada buruh.

“Serta jaminan kepastian hukum yang memberikan efek jera terhadap perusahaan-perusahaan jahat yang tidak memenuhi aturan,” katanya.

Lebih lanjut, Ahmadsyah mengatakan, dalam aksi ini pihaknya juga meminta pemerintah agar mencabut UU Omnibuslaw Kesehatan yang baru disahkan beberapa minggu lalu.

Karena, kata dia, muatan dari UU Kesehatan dinilai tidak memberikan hal-hal yang baik dalam peningkatan jumlah dokter spesialis di dalam negeri, pengurangan biaya pendidikan kesehatan yang tinggi, peningkatan fasilitas kesehatan dan alat-alat medis, serta pemerataan rumah sakit di seluruh daerah.

“Tapi ternyata UU Omnibuslaw kesehatan ini kita nilai justru memberi celah kepada dokter-dokter asing untuk berpraktik di dalam negeri,” tuturnya.

Kemudian, Ahmadsyah menjelaskan pihaknya juga meminta pemerintah khususnya di Sumut agar memastikan ketersediaan stok gas LPG subsidi yang akhir-akhir ini langka.

“Kami juga meminta tidak hanya stoknya dipastikan tapi harganya juga diturunkan karena upah buruh empat tahun terakhir ini mengalami penurunan secara daya beli meskipun angka bertambah, itu menjadi soal bagi pertumbuhan ekonomi,” katanya.

Kepada Gubernur Sumatra Utara, Gebrak Sumut menuntut agar Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kota (UMK) pada tahun 2024 bisa meningkat 50 persen.

Selain itu, Ahmadsyah meminta Pemerintah Provinsi Sumut mengevaluasi sistem kerja para pegawai Dinas Ketenagakerjaan agar lebih rutin melakukan pengawasan.

“Kita meminta Disnaker Sumut agar menjalankan kinerja dengan seharusnya. Karena angka kecelakaan kerja itu semakin tinggi terjadi, hak-hak buruh terkait upah, jamsostek, dan lainnya semakin banyak perusahaan tidak menjalankan itu karena tupoksi pegawai pengawas itu tidak maksimal bekerja. Bisa jadi karena SDM-nya atau jumlahnya yang minim. Kita minta pemerintah memerhatikan itu,” ucapnya.

Ahmadsyah menuturkan, aksi ini merupakai rangkaian dari aksi nasional yang puncaknya berlangsung tanggal 10 Agustus 2023 mendatang di depan gedung Mahkamah Konstitusi (MK).

“Kami berharap MK benar-benar menetapkan keputusannya itu berangkat dari kebutuhan rakyat Indonesia khususnya kaum buruh. Kami berharap putusan MK itu mencabut UU Cipta Kerja ini. Karena tidak layak ini dijadikan Undang-undang,” tandasnya.(gus/ram)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Puluhan massa tergabung dalam Gerakan Buruh Berjuang Untuk Keadikan (Gebrak) Sumut menggelar unjuk rasa di Kantor Gubernur Sumut, di Jalan Pangeran Diponegoro Medan, Selasa (8/8) siang. Dalam aksi tersebut, Gebrak Sumut mendesak pemerintah menghapus Undang-undang Cipta Kerja dan Undang-undang Kesehatan.

Ketua Gebrak Sumut, Ahmadsyah Epen mengungkapkan, pihaknya menilai banyak dampak buruk dari pengesahan kedua Undang-undang tersebut bagi kaum buruh.

“Kita meminta pemerintahan Presiden Jokowi bisa mencabut Undang-undang nomor 6 tentang Cipta Kerja. Karena kami lihat UU ini pro sekali terhadap investasi tapi abai terhadap hak-hak kaum buruh di Indonesia,” sebut Ahmadsyah.

Ahmadsyah mengatakan, kaum buruh bukan pihak yang anti investasi. Tetapi, pihaknya berharap kebijakan yang diterapkan pemerintah bisa memberikan jaminan jangka panjang, jaminan hak dan upah layak kepada buruh.

“Serta jaminan kepastian hukum yang memberikan efek jera terhadap perusahaan-perusahaan jahat yang tidak memenuhi aturan,” katanya.

Lebih lanjut, Ahmadsyah mengatakan, dalam aksi ini pihaknya juga meminta pemerintah agar mencabut UU Omnibuslaw Kesehatan yang baru disahkan beberapa minggu lalu.

Karena, kata dia, muatan dari UU Kesehatan dinilai tidak memberikan hal-hal yang baik dalam peningkatan jumlah dokter spesialis di dalam negeri, pengurangan biaya pendidikan kesehatan yang tinggi, peningkatan fasilitas kesehatan dan alat-alat medis, serta pemerataan rumah sakit di seluruh daerah.

“Tapi ternyata UU Omnibuslaw kesehatan ini kita nilai justru memberi celah kepada dokter-dokter asing untuk berpraktik di dalam negeri,” tuturnya.

Kemudian, Ahmadsyah menjelaskan pihaknya juga meminta pemerintah khususnya di Sumut agar memastikan ketersediaan stok gas LPG subsidi yang akhir-akhir ini langka.

“Kami juga meminta tidak hanya stoknya dipastikan tapi harganya juga diturunkan karena upah buruh empat tahun terakhir ini mengalami penurunan secara daya beli meskipun angka bertambah, itu menjadi soal bagi pertumbuhan ekonomi,” katanya.

Kepada Gubernur Sumatra Utara, Gebrak Sumut menuntut agar Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kota (UMK) pada tahun 2024 bisa meningkat 50 persen.

Selain itu, Ahmadsyah meminta Pemerintah Provinsi Sumut mengevaluasi sistem kerja para pegawai Dinas Ketenagakerjaan agar lebih rutin melakukan pengawasan.

“Kita meminta Disnaker Sumut agar menjalankan kinerja dengan seharusnya. Karena angka kecelakaan kerja itu semakin tinggi terjadi, hak-hak buruh terkait upah, jamsostek, dan lainnya semakin banyak perusahaan tidak menjalankan itu karena tupoksi pegawai pengawas itu tidak maksimal bekerja. Bisa jadi karena SDM-nya atau jumlahnya yang minim. Kita minta pemerintah memerhatikan itu,” ucapnya.

Ahmadsyah menuturkan, aksi ini merupakai rangkaian dari aksi nasional yang puncaknya berlangsung tanggal 10 Agustus 2023 mendatang di depan gedung Mahkamah Konstitusi (MK).

“Kami berharap MK benar-benar menetapkan keputusannya itu berangkat dari kebutuhan rakyat Indonesia khususnya kaum buruh. Kami berharap putusan MK itu mencabut UU Cipta Kerja ini. Karena tidak layak ini dijadikan Undang-undang,” tandasnya.(gus/ram)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/