Tingkat literasi yang rendah itu lantas mendapat gempuran perkembangan teknologi informasi (TI) yang signifikan. Smartphone menjamur. Bukan hanya orang dewasa yang memiliki telepon pintar, tapi juga anak-anak.
Tingkat kepemilikan smartphone dan akses ke media sosial di Indonesia menduduki peringkat kelima dunia.
Perpaduan antara literasi yang rendah dan akses ke media sosial yang tinggi menimbulkan dampak yang luar biasa. Orang dengan beragam latar belakang profesi ikut menyebarkan berita hoax.
Di sisi lain, upaya untuk mengklarifikasi sangat rendah. Apa pun berita yang didapat langsung dibagikan (share) ke orang lain.
Parahnya, orang-orang di dunia nyata yang memiliki kompetensi jempolan ternyata ikut-ikutan menyebarkan berita bohong.
Hal itu dipicu kecenderungan masyarakat Indonesia yang ingin menjadi nomor satu. Termasuk dalam hal penyebaran informasi. Tanpa mengklarifikasi kabar yang diterima tersebut benar atau bohong.
Motivasinya beragam. Ada yang memang bertujuan menebar kebencian. Ada juga yang ingin mengeruk keuntungan finansial.
”Yang terakhir biasanya orang yang paham dunia iklan di internet,” ucap lulusan Program Magister Universitas Teknik Muenchen (TUM), Jerman, itu.
Ada jasa iklan internet yang membayar USD 1 (setara Rp 13.500) per seribu klik. Jika dalam sehari website yang memuat berita hoax dikunjungi 500 ribu kali, dia (si pembuat berita) bisa mendapatkan USD 500 (Rp 6,6 juta). Angka yang menggiurkan.
Septiaji dkk menggalang kampanye anti-hoax. Juga mengklarifikasi berita bohong di media sosial seperti Facebook dan Twitter.
Dengan puluhan relawan, mereka bisa mengecek linimasa (timeline) atau dinding Facebook yang memuat berita bohong. Kemudian dengan segera mengklarifikasi, lalu menyebar informasi yang sesungguhnya.
”Tantangan yang kita hadapi sekarang bagaimana membendung berita hoax yang tersebar di WhatsApp (WA),” katanya.