32 C
Medan
Thursday, May 23, 2024

Ahli: Hasil Audit BPKP Keliru

MEDAN- Kalangan akademisi yang sekaligus menjadi ahli dalam persidangan perkara yang menjerat mantan Dirut PDAM Tirtanadi Sumut, Azzam Rizal
mempertanyakan hasil audit tim investigasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Sumut yang menyatakan terdapat kerugian keuangan negara pada instansi tersebut. Padahal berdasarkan data dan dokumen yang diperoleh, tidak ada informasi menyebutkan kerugian negara, sebab koperasi tidak menggunakan APBN/APBD.

“Penghitungan kerugian negara itu tidak benar. Jadi harus dikaji apa yang dimaksud kerugian negara. Sebab koperasi itu bukan menggunakan APBN/APBD. Apalagi PDAM itu kan terpisah dari koperasi,” ungkap Drs Hasan Sakti Siregar MSi Ak, yang juga rekan Prof Munaf H Regar sebagai keterangan Ahli dalam persidangan Azzam Rizal.

Hasan Sakti mengungkapkan dirinya sengaja mendatangkan Prof Munaf H Regar dalam persidangan Azzam Rizal, dengan alasan ada kekeliruan pada hasil investigasi tim auditor BPKP Sumut. “Jadi saya yang meminta Prof Munaf hadir ke persidangan melalui permintaan pengacara Azzam Rizal. Kami berdua akhirnya memberi keterangan sebagai ahli,” katanya saat ditemui Sumut Pos, Senin (9/6).

Menurut dia antara BPKP dan penyidik Poldasu ada MoU (kerja sama). Sehingga di posisi itu BPKP tidak bisa menolak dan tidak bisa menghindarkan keinginan-keinginan penyidik. “Kalau menurut kami itu bukan kerugian negara. Sebab yang digunakan adalah uang koperasi. Namun jika yang digunakan uang PDAM maka bisa jadi terdapat hal dimaksud,” ujarnya.

Dari aspek keuangan, dia menyebutkan kesimpulan yang diambil keterangan ahli untuk menyatakan bahwa dalam perkara Azzam Rizal berdasarkan beberapa item. Diantaranya laporan audit investigastif oleh BPKP, laporan keuangan PDAM yang diaudit KAP (Kantor Akuntan Publik), laporan keuangan koperasi, laporan audit kinerja PDAM oleh BPKP, dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) terhadap terdakwa, serta standar akuntansi keuangan, tidak ada informasi itu datangnya dari PDAM, melainkan dari koperasi.

“Jadi penilaian ahli itu didasarkan pada keenam item tersebut. Itulah yang menjadi dasar pertimbangan ahli menyatakan bahwa tidak terdapat kerugian keuangan negara di PDAM Tirtanadi. Hasil audit BPKP adalah keliru,” imbuhnya.

Bahkan saking kesalnya, ungkap dia, Prof Munaf sempat melontarkan pernyataan pedas dengan mengatakan jangan-jangan auditor BPKP memiliki ijazah palsu. Namun, pihak BPKP mengklarifikasi dan datang langsung ke USU dengan mengatakan bahwa yang ditudingkan itu tidak benar. “Ya itu mungkin karena emosional seorang Guru besar saja. Karena menurut beliau secara hitung-hitungan tidak cocok,” jelas dia.

Dia menduga, penghitungan keliru BPKP tersebut lantaran menghitung berapa biaya yang dikeluarkan PDAM memungut rekening air merupakan pendapatan bagi koperasi. Sehingga lanjutnya, biaya yang dikeluarkan PDAM yang dibayarkan ke koperasi untuk memungut rekening air, itu bukan pendapatan koperasi.

“Nah, kalau dikurangkan dari biaya untuk memungut rekening oleh koperasi, itu adalah laba atau keuntungan koperasi. Jadi sudut pandang BPKP yang melihat koperasi tidak terpisah dari PDAM, sehingga dianggap sebagai kerugian keuangan negara. Dengan begitu berarti koperasinya gak boleh untung dong. Jadi berapa biaya yang dikeluarkan segitu juga dibayarkan oleh PDAM? Ya gak benarlah kalau begitu, karena PDAM kan lembaga terpisah dari koperasi karyawan,” tegasnya.

Ditegaskannya, antara PDAM dan koperasi merupakan dua hal yang terpisah. “BPKP menganggap keuntungan koperasi merupakan kerugian negara. Sehingga anggapan mereka, berapa biaya yang dikeluarkan koperasi itu yang dikeluarkan PDAM. Kalaupun terjadi kerugian negara, itu merupakan kerugian koperasi bukan kerugian negara. Intinya kami berdua (dengan Prof Munaf) berkesimpulan itu bukan kerugian negara,” tandasnya.

Sementara itu, Pakar Hukum di USU, Prof Tan Kamelo SH MS menyebutkan, antara BUMD dengan koperasi adalah dua entitas yang berbeda secara hukum. Dimana koperasi di bawah tanggung jawab kepala koperasi, jika BUMD di bawah kendali direksi yang dalam hal ini direktur utama. “Nah, ketika terjadi utang piutang maka harus diperiksa secara tepat kenapa terjadi kerugian keuangan negara. Dimana BUMD itu dimasukkan dalam perundang-undangan, pasal 2 huruf G tentang keuangan negara. Oleh karenanya untuk hal itu saya tidak pernah sependapat. Sebab sudah dipecahkan dan manajemennya diurus berdasarkan manajemen koperasi,” tegas Tan Kamelo.

Di sisi lain ia menilai, hakim juga tidak cermat dalam perkara tersebut. Hakim kata dia harus menemukan hukum dan berani bertindak untuk menyatakan bahwa dalam perkara itu tidak ada kerugian negara. “Apalagi menurut Prof Moenaf dalam perkara itu kan tidak menimbulkan kerugian negara. Kenapa sudah dijelaskan begitu bisa ada kerugian keuangan negara. Sekarang mana lebih pintar mereka atau Pak Moenaf,” kelakar Tan Kamelo.

Dia menegaskan apabila sudah jelas tak ada kerugian negara, lantas kenapa bisa pula muncul tindakan pidana korupsi. “Harusnya itu dipertanggung jawabkan secara koperasinya. Jadi kenapa ada tebang pilih dalam perkara itu?” kata dia.

Dia merasa bingung melihat tingkah para penegak hukum terhadap kasus tersebut. “Jadi saya tentang penegakkan hukum ini selalu tidak mengerti bagaimana penegak-penegak hukum memainkan peran. Apakah dia berfikir jernih tentang hukum atau ada faktor-faktor lain,” ujarnya.

Ditanya apakah BPKP memiliki wewenang dalam menentukan keuangan kerugian negara, Prof Tan Kamelo mengungkapkan, tidak serta merta hasil tersebut dijadikan rekomendasi. Pada posisi ini, peran hakim juga vital dalam melihat perkara sebelum memutuskan hukuman. “Jika memang ada kerugian negara dia (BPKP) bisa memberikan hasil audit tersebut. Namun hakim juga dalam posisi ini harus bertindak. Apakah kerugian negara itu termasuk BUMD, yang dikelola secara korporasi sudah dipisahkan atau bukan. Lantas apa makna pemisahan dalam hukum? Makna pemisahan itu yang menjadi perdebatan yang tak pernah berakhir, baik di kalangan profesional, jaksa, hakim, dan akademik. Nah, dikalangan akademik, sudah jelas tidak ada satu pun undang-undang, selain keuangan negara juga undang-undang BUMN yang menyebutkan hal dimaksud,” papar Tan Kamelo.

Tempat terpisah, Azzam Rizal mengakui, apa yang dibuat BPKP Perwakilan Sumut dalam menghitung kerugian negara ada perbedaan data yang dikirimkan divisi keuangan PDAM Tirtanadi ke Koperasi Karyawan PDAM Tirtanadi. “Kami sudah sampaikan semua bukti nomor giro, bahkan itu sudah ada di laporan investigasi BPKP. Namun disebutkan ada kerugian negara, jadi kami herankan mana lagi yang merugikan negara,” sebutnya.

Dia menyebutkan, dalam hal audit yang dilakukan BPKP sama sekali tidak ada meminta tanggapan dari auditi (objek yang diperiksa, Red). Padahal, data yang disita penyidik itu tidak lengkap sehingga tidak ada jawaban yang jelas dalam hal penggunaan uang. “Inilah yang saya maksudkan jika penyidik objektif dalam melakukan audit, maka akan ditanyai auditi sebelum memutuskan kerugian negara,” sebutnya. (ril/mag-6)

MEDAN- Kalangan akademisi yang sekaligus menjadi ahli dalam persidangan perkara yang menjerat mantan Dirut PDAM Tirtanadi Sumut, Azzam Rizal
mempertanyakan hasil audit tim investigasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Sumut yang menyatakan terdapat kerugian keuangan negara pada instansi tersebut. Padahal berdasarkan data dan dokumen yang diperoleh, tidak ada informasi menyebutkan kerugian negara, sebab koperasi tidak menggunakan APBN/APBD.

“Penghitungan kerugian negara itu tidak benar. Jadi harus dikaji apa yang dimaksud kerugian negara. Sebab koperasi itu bukan menggunakan APBN/APBD. Apalagi PDAM itu kan terpisah dari koperasi,” ungkap Drs Hasan Sakti Siregar MSi Ak, yang juga rekan Prof Munaf H Regar sebagai keterangan Ahli dalam persidangan Azzam Rizal.

Hasan Sakti mengungkapkan dirinya sengaja mendatangkan Prof Munaf H Regar dalam persidangan Azzam Rizal, dengan alasan ada kekeliruan pada hasil investigasi tim auditor BPKP Sumut. “Jadi saya yang meminta Prof Munaf hadir ke persidangan melalui permintaan pengacara Azzam Rizal. Kami berdua akhirnya memberi keterangan sebagai ahli,” katanya saat ditemui Sumut Pos, Senin (9/6).

Menurut dia antara BPKP dan penyidik Poldasu ada MoU (kerja sama). Sehingga di posisi itu BPKP tidak bisa menolak dan tidak bisa menghindarkan keinginan-keinginan penyidik. “Kalau menurut kami itu bukan kerugian negara. Sebab yang digunakan adalah uang koperasi. Namun jika yang digunakan uang PDAM maka bisa jadi terdapat hal dimaksud,” ujarnya.

Dari aspek keuangan, dia menyebutkan kesimpulan yang diambil keterangan ahli untuk menyatakan bahwa dalam perkara Azzam Rizal berdasarkan beberapa item. Diantaranya laporan audit investigastif oleh BPKP, laporan keuangan PDAM yang diaudit KAP (Kantor Akuntan Publik), laporan keuangan koperasi, laporan audit kinerja PDAM oleh BPKP, dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) terhadap terdakwa, serta standar akuntansi keuangan, tidak ada informasi itu datangnya dari PDAM, melainkan dari koperasi.

“Jadi penilaian ahli itu didasarkan pada keenam item tersebut. Itulah yang menjadi dasar pertimbangan ahli menyatakan bahwa tidak terdapat kerugian keuangan negara di PDAM Tirtanadi. Hasil audit BPKP adalah keliru,” imbuhnya.

Bahkan saking kesalnya, ungkap dia, Prof Munaf sempat melontarkan pernyataan pedas dengan mengatakan jangan-jangan auditor BPKP memiliki ijazah palsu. Namun, pihak BPKP mengklarifikasi dan datang langsung ke USU dengan mengatakan bahwa yang ditudingkan itu tidak benar. “Ya itu mungkin karena emosional seorang Guru besar saja. Karena menurut beliau secara hitung-hitungan tidak cocok,” jelas dia.

Dia menduga, penghitungan keliru BPKP tersebut lantaran menghitung berapa biaya yang dikeluarkan PDAM memungut rekening air merupakan pendapatan bagi koperasi. Sehingga lanjutnya, biaya yang dikeluarkan PDAM yang dibayarkan ke koperasi untuk memungut rekening air, itu bukan pendapatan koperasi.

“Nah, kalau dikurangkan dari biaya untuk memungut rekening oleh koperasi, itu adalah laba atau keuntungan koperasi. Jadi sudut pandang BPKP yang melihat koperasi tidak terpisah dari PDAM, sehingga dianggap sebagai kerugian keuangan negara. Dengan begitu berarti koperasinya gak boleh untung dong. Jadi berapa biaya yang dikeluarkan segitu juga dibayarkan oleh PDAM? Ya gak benarlah kalau begitu, karena PDAM kan lembaga terpisah dari koperasi karyawan,” tegasnya.

Ditegaskannya, antara PDAM dan koperasi merupakan dua hal yang terpisah. “BPKP menganggap keuntungan koperasi merupakan kerugian negara. Sehingga anggapan mereka, berapa biaya yang dikeluarkan koperasi itu yang dikeluarkan PDAM. Kalaupun terjadi kerugian negara, itu merupakan kerugian koperasi bukan kerugian negara. Intinya kami berdua (dengan Prof Munaf) berkesimpulan itu bukan kerugian negara,” tandasnya.

Sementara itu, Pakar Hukum di USU, Prof Tan Kamelo SH MS menyebutkan, antara BUMD dengan koperasi adalah dua entitas yang berbeda secara hukum. Dimana koperasi di bawah tanggung jawab kepala koperasi, jika BUMD di bawah kendali direksi yang dalam hal ini direktur utama. “Nah, ketika terjadi utang piutang maka harus diperiksa secara tepat kenapa terjadi kerugian keuangan negara. Dimana BUMD itu dimasukkan dalam perundang-undangan, pasal 2 huruf G tentang keuangan negara. Oleh karenanya untuk hal itu saya tidak pernah sependapat. Sebab sudah dipecahkan dan manajemennya diurus berdasarkan manajemen koperasi,” tegas Tan Kamelo.

Di sisi lain ia menilai, hakim juga tidak cermat dalam perkara tersebut. Hakim kata dia harus menemukan hukum dan berani bertindak untuk menyatakan bahwa dalam perkara itu tidak ada kerugian negara. “Apalagi menurut Prof Moenaf dalam perkara itu kan tidak menimbulkan kerugian negara. Kenapa sudah dijelaskan begitu bisa ada kerugian keuangan negara. Sekarang mana lebih pintar mereka atau Pak Moenaf,” kelakar Tan Kamelo.

Dia menegaskan apabila sudah jelas tak ada kerugian negara, lantas kenapa bisa pula muncul tindakan pidana korupsi. “Harusnya itu dipertanggung jawabkan secara koperasinya. Jadi kenapa ada tebang pilih dalam perkara itu?” kata dia.

Dia merasa bingung melihat tingkah para penegak hukum terhadap kasus tersebut. “Jadi saya tentang penegakkan hukum ini selalu tidak mengerti bagaimana penegak-penegak hukum memainkan peran. Apakah dia berfikir jernih tentang hukum atau ada faktor-faktor lain,” ujarnya.

Ditanya apakah BPKP memiliki wewenang dalam menentukan keuangan kerugian negara, Prof Tan Kamelo mengungkapkan, tidak serta merta hasil tersebut dijadikan rekomendasi. Pada posisi ini, peran hakim juga vital dalam melihat perkara sebelum memutuskan hukuman. “Jika memang ada kerugian negara dia (BPKP) bisa memberikan hasil audit tersebut. Namun hakim juga dalam posisi ini harus bertindak. Apakah kerugian negara itu termasuk BUMD, yang dikelola secara korporasi sudah dipisahkan atau bukan. Lantas apa makna pemisahan dalam hukum? Makna pemisahan itu yang menjadi perdebatan yang tak pernah berakhir, baik di kalangan profesional, jaksa, hakim, dan akademik. Nah, dikalangan akademik, sudah jelas tidak ada satu pun undang-undang, selain keuangan negara juga undang-undang BUMN yang menyebutkan hal dimaksud,” papar Tan Kamelo.

Tempat terpisah, Azzam Rizal mengakui, apa yang dibuat BPKP Perwakilan Sumut dalam menghitung kerugian negara ada perbedaan data yang dikirimkan divisi keuangan PDAM Tirtanadi ke Koperasi Karyawan PDAM Tirtanadi. “Kami sudah sampaikan semua bukti nomor giro, bahkan itu sudah ada di laporan investigasi BPKP. Namun disebutkan ada kerugian negara, jadi kami herankan mana lagi yang merugikan negara,” sebutnya.

Dia menyebutkan, dalam hal audit yang dilakukan BPKP sama sekali tidak ada meminta tanggapan dari auditi (objek yang diperiksa, Red). Padahal, data yang disita penyidik itu tidak lengkap sehingga tidak ada jawaban yang jelas dalam hal penggunaan uang. “Inilah yang saya maksudkan jika penyidik objektif dalam melakukan audit, maka akan ditanyai auditi sebelum memutuskan kerugian negara,” sebutnya. (ril/mag-6)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/