25.6 C
Medan
Tuesday, May 21, 2024

Putus Harapan, Keluarga Telanjur Pesan Kavling Makam

Shafqat Hussain
Shafqat Hussain

Tidak banyak narapidana, khususnya terpidana mati, yang seberuntung Shafqat Hussain. Kemarin (9/6) pria 25 tahun itu kembali luput dari jerat tali gantungan. Padahal, sebelumnya, dia tiga kali batal dieksekusi mati.

Empat kali luput dari maut, dunia menganggap pria Pakistan itu teberkati. Tetapi, tidak demikian halnya dengan keluarga besar terpidana kasus pembunuhan dan penculikan bocah tersebut.

‘Kami tidak pernah mengharapkan (pembatalan eksekusi) ini terjadi. Kami bahkan sudah memesan kavling untuk memakamkan dia di Muzaffarabad,’ kata Manzoor, salah seorang saudara laki-laki Hussain.

Sampai Senin (8/6), Manzoor dan keluarga besarnya masih yakin Hussain akan menemui ajal di tiang gantungan. Sebab, upaya mereka untuk membatalkan eksekusi mati selalu menemui jalan buntu. Meski sudah menggandeng berbagai lembaga pembela HAM, keluarga Hussain tidak berhasil membujuk pemerintah untuk mencabut vonis mati tersebut.

Bahkan, ibunda Hussain sampai turun tangan langsung. Bersama para aktivis HAM, dia mendesak pemerintah membatalkan eksekusi mati terhadap putranya. Tidak sekadar menunda atau menangguhkan, dia menuntut pemerintah membatalkan eksekusi mati. Jika perlu, pemerintah juga merehabilitasi nama baik Hussain setelah menyatakannya tidak bersalah.

Kemarin sekitar empat jam sebelum jadwal eksekusi terhadap Hussain, Mahkamah Agung (MA) membatalkan hukuman mati tersebut. Akhirnya, MA merespons kritik dan protes masyarakat tentang hukuman mati. Khususnya, hukuman mati terhadap Hussain yang sudah tertunda empat kali. MA juga menjadwalkan sidang hearing untuk mengkaji ulang kasus Hussain.

Nanti, ketua MA sendiri yang memimpin panel tiga hakim dalam sidang ulang kasus Hussain. Beberapa waktu lalu, mewakili keluarga besar Hussain, pengacara si terpidana mati sempat menuntut MA untuk mencabut vonis terhadap kliennya. Sebab, Hussain tidak pernah terbukti secara meyakinkan terlibat dalam pembunuhan sekaligus penculikan bocah berusia 7 tahun pada 2004.

Kasus Hussain selama ini memang simpang siur. Ada berkas yang menyatakan, saat peristiwa itu terjadi, Hussain masih berusia 14 tahun. Karena di bawah umur, dia tidak selayaknya diganjar hukuman mati. Tetapi, berkas lain menyebutkan, Hussain berusia 23 tahun ketika terlibat pembunuhan yang diawali dari penculikan tersebut.

Januari lalu, Menteri Dalam Negeri Pakistan Chaudhry Nisar Ali Khan memutuskan untuk menangguhkan kasus Hussain. ‘Saya berikan kesempatan kepada pengadilan untuk menyelidiki usia pelaku saat peristiwa itu terjadi,’ katanya dalam rapat parlemen kemarin. Sebelum keterangan polisi dan dokumen penjara serta pengadilan tentang umur Hussain sama, pemerintah akan terus menunda eksekusi.

Eksekusi Hussain memang paling banyak menuai perhatian dunia jika dibandingkan dengan vonis mati terhadap para terpidana yang lain. Sebab, kasus Hussain tidak pernah tuntas dibahas. Sejak Pakistan mencabut moratorium hukuman mati, publik bagaikan menanti kelanjutan kisah Hussain. Benar saja, pemerintah juga langsung mengantrekan Hussain dalam deretan eksekusi mati.

Pencabutan moratorium hukuman mati menjadikan Pakistan sebagai salah satu negara yang paling sering melakukan eksekusi. Awal pekan lalu, pemerintahan Perdana Menteri (PM) Nawaz Sharif tersebut mengeksekusi mati 12 terpidana dalam waktu sehari. Itu menjadi rekor eksekusi mati Pakistan sejak moratorium dicabut. Saat ini, ada sekitar 8.000 terpidana mati yang menanti nasib mereka dengan cemas. (AP/BBC/hep/c5/ami)

Shafqat Hussain
Shafqat Hussain

Tidak banyak narapidana, khususnya terpidana mati, yang seberuntung Shafqat Hussain. Kemarin (9/6) pria 25 tahun itu kembali luput dari jerat tali gantungan. Padahal, sebelumnya, dia tiga kali batal dieksekusi mati.

Empat kali luput dari maut, dunia menganggap pria Pakistan itu teberkati. Tetapi, tidak demikian halnya dengan keluarga besar terpidana kasus pembunuhan dan penculikan bocah tersebut.

‘Kami tidak pernah mengharapkan (pembatalan eksekusi) ini terjadi. Kami bahkan sudah memesan kavling untuk memakamkan dia di Muzaffarabad,’ kata Manzoor, salah seorang saudara laki-laki Hussain.

Sampai Senin (8/6), Manzoor dan keluarga besarnya masih yakin Hussain akan menemui ajal di tiang gantungan. Sebab, upaya mereka untuk membatalkan eksekusi mati selalu menemui jalan buntu. Meski sudah menggandeng berbagai lembaga pembela HAM, keluarga Hussain tidak berhasil membujuk pemerintah untuk mencabut vonis mati tersebut.

Bahkan, ibunda Hussain sampai turun tangan langsung. Bersama para aktivis HAM, dia mendesak pemerintah membatalkan eksekusi mati terhadap putranya. Tidak sekadar menunda atau menangguhkan, dia menuntut pemerintah membatalkan eksekusi mati. Jika perlu, pemerintah juga merehabilitasi nama baik Hussain setelah menyatakannya tidak bersalah.

Kemarin sekitar empat jam sebelum jadwal eksekusi terhadap Hussain, Mahkamah Agung (MA) membatalkan hukuman mati tersebut. Akhirnya, MA merespons kritik dan protes masyarakat tentang hukuman mati. Khususnya, hukuman mati terhadap Hussain yang sudah tertunda empat kali. MA juga menjadwalkan sidang hearing untuk mengkaji ulang kasus Hussain.

Nanti, ketua MA sendiri yang memimpin panel tiga hakim dalam sidang ulang kasus Hussain. Beberapa waktu lalu, mewakili keluarga besar Hussain, pengacara si terpidana mati sempat menuntut MA untuk mencabut vonis terhadap kliennya. Sebab, Hussain tidak pernah terbukti secara meyakinkan terlibat dalam pembunuhan sekaligus penculikan bocah berusia 7 tahun pada 2004.

Kasus Hussain selama ini memang simpang siur. Ada berkas yang menyatakan, saat peristiwa itu terjadi, Hussain masih berusia 14 tahun. Karena di bawah umur, dia tidak selayaknya diganjar hukuman mati. Tetapi, berkas lain menyebutkan, Hussain berusia 23 tahun ketika terlibat pembunuhan yang diawali dari penculikan tersebut.

Januari lalu, Menteri Dalam Negeri Pakistan Chaudhry Nisar Ali Khan memutuskan untuk menangguhkan kasus Hussain. ‘Saya berikan kesempatan kepada pengadilan untuk menyelidiki usia pelaku saat peristiwa itu terjadi,’ katanya dalam rapat parlemen kemarin. Sebelum keterangan polisi dan dokumen penjara serta pengadilan tentang umur Hussain sama, pemerintah akan terus menunda eksekusi.

Eksekusi Hussain memang paling banyak menuai perhatian dunia jika dibandingkan dengan vonis mati terhadap para terpidana yang lain. Sebab, kasus Hussain tidak pernah tuntas dibahas. Sejak Pakistan mencabut moratorium hukuman mati, publik bagaikan menanti kelanjutan kisah Hussain. Benar saja, pemerintah juga langsung mengantrekan Hussain dalam deretan eksekusi mati.

Pencabutan moratorium hukuman mati menjadikan Pakistan sebagai salah satu negara yang paling sering melakukan eksekusi. Awal pekan lalu, pemerintahan Perdana Menteri (PM) Nawaz Sharif tersebut mengeksekusi mati 12 terpidana dalam waktu sehari. Itu menjadi rekor eksekusi mati Pakistan sejak moratorium dicabut. Saat ini, ada sekitar 8.000 terpidana mati yang menanti nasib mereka dengan cemas. (AP/BBC/hep/c5/ami)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/