26.7 C
Medan
Saturday, May 18, 2024

Sejarah Perjuangan Pers di Zaman Kolonial Belanda

Cuma Orang Medan Berani Tulis Kata Merdeka di Surat Kabar

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pada masa kolonial Belanda, peran pers sangat luar biasa. Hal ini terlihat dari sejarah perjalanan para pejuang pers pada masa itu. Sayangnya saat ini, satu persatu nama-nama pejuang pers Tanah Air itu mulai terlupakan.

KETUA Pusat Studi Sejarah dan Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan (Unimed) Dr Phil Ichwan Azhari, membeberkan sejarah pers di Sumatera Utara sejak zaman penjajahan kolonial Belanda. “Dulu ada namanya Jalan Parada Harahap di sebelahnya Gedung Balai Wartawan Parada Harahap, yang diresmikan Menteri Penerangan Harmoko pada masa itu. Tetapi, nama itu sudah hilang sekarang. Malah yang ada Jalan Gagak Hitam, panjang lagi jalannya. Apa jasa Gagak Hitam untuk Kota Medan ini rupanya?” kata Ichwan Azhari kepada Sumut Pos, Jumat (10/2).

Ichwan pun mengampresiasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang memberikan penghargaan kepada enam orang ’leluhurnya’, dan ini pertama kali di dalam sejarah, yakni Dja Endar Muda Harahap, Tirto Adhi Soerjo, Tuan Manullang, M Said, Ani Idrus, dan wartawan tiga zaman yang masih hidup Muhammad TWH. “Ini penting untuk pers generasi muda agar mengetahui sejarahnya,” cetusnya.

Dia menilai, peranan pers mencerminkan karakter masyarakatnya. “Kalau dulu pers berani, itu karena masyarakat cerminannya. Jika sekarang pers penakut, juga karena masyarakat cerminannya. Penguasanya lebih kuat,” ungkapnya.

Ichwan pun menngisahkan para pejuang pers pada masa kolonial Belanda. Pada masa itu muncul pahlawan pers, Parada Harahap, pendiri Koran Pewarta Deli. Menurut Ichwan, tidak ada orang yang seberani dia, sehingga dijuluki ‘Raja Deli Pers’. Bahkan, Adi Negoro belajar pers itu di Medan dan menjadi redaktur Pewarta Deli yang ketiga.

Koran Pelopor Pers Perjuangan juga didirikan Parada Harahap, dia juga termasuk orang kaya atau konglomerat pers. “Dia memberontak karena melihat pegawai pekerbunan ditindas di mana-mana. 12 kali terkena delik pers, sehingga digelari Raja Delik Pers. Dia juga merupakan anggota BPUPKI, yang ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan termasuk salah satu perintisnya,” jelasnya.

Ichwan yang juga ahli Filologi Indonesia ini, menyoroti peran seorang Dja Endar Moeda di dunia pers. Menurutnya, Dja Endar lebih layak mendapat gelar Bapak Pers Indonesia ketimbang Tirto Adhi Soerjo. Pasalnya, Tirto itu hadir setelah Dja Endar. “Mohon maaf, Tirto belakangan datang. Lebih dulu, Dja Endar Moeda. Dialah bapak pers yang sesungguhnya. Mungkin jika Tirto bapak pers, nah Dja Endar Moeda adalah kakeknya pers Indonesia, tapi kan kita tidak mengenal istilah itu,” selorohnya.

Dijelaskannya, bila melihat fakta-fakta di dalam pameran ‘3 Abad Pers’ yang digelar di HPN 2023, Dja Endar Moeda lahir tahun 1861, sedangkan Tirto 1880. “Dja Endar Muda sudah menjadi redaktur Koran Pertja Barat pada Tahun 1887 di Sumatera Barat (Sumbar). Dan dia mengakuisisi atau membeli Koran Pertja Barat pada Tahun 1900 serta Koran Insulinder,” imbuhnya.

Kemudian Dja Endar Moeda terkena delik pers, lalu diusir dari Sumbar dan lari ke Sibolga. Di Sibolga, dia menerbitkan koran juga, Surat Kabar Tapian Nauli sekira tahun 1905. Lagi-lagi Dja Endar melakukan delik pers dan terkena hukuman cambuk. Akhirnya dia pergi ke Aceh. Di Aceh Dja Endar juga mendirikan surat kabar bernama Pemberita Atjeh. “Jadi, semua perjalanan itu dilakukannya sebelum Tirto,” ucapnya.

Setelah itu, sambung Ichwan, Dja Endar ke Medan lalu mendirikan Pewarta Deli. Koran tempat Adi Negoro bekerja. Dja Endar Muda juga orang pertama yang membeli mesin cetak, makanya bisa menerbitkan koran di Sibolga dan Aceh. “Selama ini, fisik asli koran yang diterbitkan Dja Endar Muda tidak ditemukan, Tapian Nauli dan Insulinder. Tetapi kerap disebut-sebut. Hingga akhirnya ketemu di Universitas Leiden, Amsterdam. Termasuk Koran Binsar Sinondang Batak milik Tuan Manullang terbit Tahun 1900. Dan rata-rata koran ini dicetak di Padang, Sumbar,” paparnya.

Terkait Koran Binsar Sinondang Batak, sebut Ichwan, Tuan Manullang mensetting koran ini sejak umurnya 19 tahun. Dia adalah pemimpin redaksi (Pimred) termuda. Dia menyettingnya di Tarutung, Sumut, lalu dibawa naik kuda ke Sibolga, lalu naik kapal ke Padang untuk dicetak. Kemudian kembali lagi ke Tarutung untuk diedarkan.

“Tujuannya adalah melawan Belanda lewat pers. Ini luar biasa. Ayahnya Manullang merupakan intel Sisingamangaraja XII. Semasa ia menerbitkan koran tersebut, Sisingamangaraja XII masih hidup. Pantai Barat adalah wilayah sejarah tumbuhnya pers, Padang merupakan kiblat untuk pers di Sumut,” ujarnya.

Dijelaskannya, edisi asli koran milik Tuan Manullang, termasuk Suara Batak Tahun 1919 masih terselematkan dan banyak mengisahkan tentang Sisingamangaraja XII. Untuk Pers bebas ini, kata Ichwan lagi, Manullang melihat Sumatera Timur jatuh ke tangan perkebunan asing, tinggal tunggu waktu saja maka seluruh kawasan Danau Toba juga akan jatuh ke tangan asing, maka diapun bertekad harus melawan. Maka ketika lahan seluas 6.000 Ha jatuh ke tangan Belanda di wilayah Pansur Batu, Tapanuliutara (Taput), Sumut, dia melakukan perlawanan lewat pers, ditangkap, dipenjarakan dan dibuang ke Cipinang.

Di dalam penjara ia buat tulisan berjudul, ‘Pimpinan Redaksi Kami Sedang Ditangkap’. Yang artinya, koran tetap jalan terus. Dia merupakan utusan mendirikan Gereja HKB, dia adalah oposisi di Gereja HKB, dengan oposisi dari Gereja HKBP. “Di gereja ini, Manullang melakukan perlawanan lewat Koran Suara Batak terhadap ekspansi kolonial Belanda. Dengan perlawanan itulah kawasan Danau Toba terselamatkan, karena ia juga mengirimkan surat kepada Gubernur Jenderal pada masa itu. Dan uniknya Manullang menggunakan strategi Syarikat Islam,” terangnya.

Ichwan mengungkapkan, Manullang bahkan dijuluki Soekarno Batak, karena memiliki kemampuan orasi, menulis dan melobi. Ia mencari inspirasi dari cara-cara gerakan Syarikat Islam. Makanya dia tidur di rumah tokoh-tokoh Islam di Jawa, termasuk di rumah Tjokroaminoto dan banyak melakukan cara-cara tersebut dan dibawanya ke Tanah Batak dan mengatakan, ‘Kita Harus Meniru Cara-cara Syarikat Islam’.

Sejarah ini dilupakan, Dewan Pers telah mengusulkan menjadi Pahlawan Nasional sebanyak dua kali termasuk Parada Harahap, namun masih tertolak dengan alasan belum lengkap. “Mungkin karena gak masuk ke Ring 1,” katanya sambil tertawa.

Tak sampai disitu, Ichwan juga menceritakan bahwa di Medan jugalah pertama kali munculnya Koran Perempuan Bergerak pada 1919. Termasuk Rohanna salah satu di dalamnya. Ada juga Batak Bergerak, Benih Merdeka, koran pertama yang berani menggunakan kata merdeka sebagai nama koran, gak ada yang lain, di Jawa masih sayup-sayup menggunakan kata merdeka. Sementara di Medan sudah berani menggunakan kata itu.

“Nah, orang Jawa juga buat koran di Medan, namanya Suara Jawa, tetapi berbeda. Hanya berani membuat kata ‘Terus Terang’, ‘Modar Koe’. Di Jawa mana ada istilah kata ini. Koran ini dicetak oleh priyayi-priyayi Jawa yang di Medan, lalu dibagikan ke orang-orang Jawa di Tanjung Pura, Langkat hingga ke Tebingtinggi, dicari dimana ada orang-orang Jawa. Lalu disisipkan tulisan, ‘kembalikan koran ini jika tidak ingin berlangganan dengan tulisan juga, jika tidak suka dengan orang Jawa. Jika tidak dikembalikan dengan tulisan maka dianggap berlangganan’. Tidak mungkin di Jawa itu bisa terjadi, tetapi di Medan itu dilakukan. Luar biasa,” urainya.

Lalu, pada Tahun 1923, orang Padang juga buat koran, namanya Suara Bonjol. Orang Mandailing, Karo hingga orang Melayu juga buat koran, namanya Benih Merdeka, yang mirip seperti Majalah Tempo sekarang. Koran mingguan pertama bergambar yang terbit pada masa itu.

“Setelah itu, Indonesia dijajah Inggris dan sejak saat itu tidak boleh lagi koran berbahasa Belanda digunakan, harus menggunakan Bahasa Inggris dan itu juga ada aslinya yang dipamerkan di Jerman,” pungkasnya. (dwi/adz)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pada masa kolonial Belanda, peran pers sangat luar biasa. Hal ini terlihat dari sejarah perjalanan para pejuang pers pada masa itu. Sayangnya saat ini, satu persatu nama-nama pejuang pers Tanah Air itu mulai terlupakan.

KETUA Pusat Studi Sejarah dan Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan (Unimed) Dr Phil Ichwan Azhari, membeberkan sejarah pers di Sumatera Utara sejak zaman penjajahan kolonial Belanda. “Dulu ada namanya Jalan Parada Harahap di sebelahnya Gedung Balai Wartawan Parada Harahap, yang diresmikan Menteri Penerangan Harmoko pada masa itu. Tetapi, nama itu sudah hilang sekarang. Malah yang ada Jalan Gagak Hitam, panjang lagi jalannya. Apa jasa Gagak Hitam untuk Kota Medan ini rupanya?” kata Ichwan Azhari kepada Sumut Pos, Jumat (10/2).

Ichwan pun mengampresiasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang memberikan penghargaan kepada enam orang ’leluhurnya’, dan ini pertama kali di dalam sejarah, yakni Dja Endar Muda Harahap, Tirto Adhi Soerjo, Tuan Manullang, M Said, Ani Idrus, dan wartawan tiga zaman yang masih hidup Muhammad TWH. “Ini penting untuk pers generasi muda agar mengetahui sejarahnya,” cetusnya.

Dia menilai, peranan pers mencerminkan karakter masyarakatnya. “Kalau dulu pers berani, itu karena masyarakat cerminannya. Jika sekarang pers penakut, juga karena masyarakat cerminannya. Penguasanya lebih kuat,” ungkapnya.

Ichwan pun menngisahkan para pejuang pers pada masa kolonial Belanda. Pada masa itu muncul pahlawan pers, Parada Harahap, pendiri Koran Pewarta Deli. Menurut Ichwan, tidak ada orang yang seberani dia, sehingga dijuluki ‘Raja Deli Pers’. Bahkan, Adi Negoro belajar pers itu di Medan dan menjadi redaktur Pewarta Deli yang ketiga.

Koran Pelopor Pers Perjuangan juga didirikan Parada Harahap, dia juga termasuk orang kaya atau konglomerat pers. “Dia memberontak karena melihat pegawai pekerbunan ditindas di mana-mana. 12 kali terkena delik pers, sehingga digelari Raja Delik Pers. Dia juga merupakan anggota BPUPKI, yang ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan termasuk salah satu perintisnya,” jelasnya.

Ichwan yang juga ahli Filologi Indonesia ini, menyoroti peran seorang Dja Endar Moeda di dunia pers. Menurutnya, Dja Endar lebih layak mendapat gelar Bapak Pers Indonesia ketimbang Tirto Adhi Soerjo. Pasalnya, Tirto itu hadir setelah Dja Endar. “Mohon maaf, Tirto belakangan datang. Lebih dulu, Dja Endar Moeda. Dialah bapak pers yang sesungguhnya. Mungkin jika Tirto bapak pers, nah Dja Endar Moeda adalah kakeknya pers Indonesia, tapi kan kita tidak mengenal istilah itu,” selorohnya.

Dijelaskannya, bila melihat fakta-fakta di dalam pameran ‘3 Abad Pers’ yang digelar di HPN 2023, Dja Endar Moeda lahir tahun 1861, sedangkan Tirto 1880. “Dja Endar Muda sudah menjadi redaktur Koran Pertja Barat pada Tahun 1887 di Sumatera Barat (Sumbar). Dan dia mengakuisisi atau membeli Koran Pertja Barat pada Tahun 1900 serta Koran Insulinder,” imbuhnya.

Kemudian Dja Endar Moeda terkena delik pers, lalu diusir dari Sumbar dan lari ke Sibolga. Di Sibolga, dia menerbitkan koran juga, Surat Kabar Tapian Nauli sekira tahun 1905. Lagi-lagi Dja Endar melakukan delik pers dan terkena hukuman cambuk. Akhirnya dia pergi ke Aceh. Di Aceh Dja Endar juga mendirikan surat kabar bernama Pemberita Atjeh. “Jadi, semua perjalanan itu dilakukannya sebelum Tirto,” ucapnya.

Setelah itu, sambung Ichwan, Dja Endar ke Medan lalu mendirikan Pewarta Deli. Koran tempat Adi Negoro bekerja. Dja Endar Muda juga orang pertama yang membeli mesin cetak, makanya bisa menerbitkan koran di Sibolga dan Aceh. “Selama ini, fisik asli koran yang diterbitkan Dja Endar Muda tidak ditemukan, Tapian Nauli dan Insulinder. Tetapi kerap disebut-sebut. Hingga akhirnya ketemu di Universitas Leiden, Amsterdam. Termasuk Koran Binsar Sinondang Batak milik Tuan Manullang terbit Tahun 1900. Dan rata-rata koran ini dicetak di Padang, Sumbar,” paparnya.

Terkait Koran Binsar Sinondang Batak, sebut Ichwan, Tuan Manullang mensetting koran ini sejak umurnya 19 tahun. Dia adalah pemimpin redaksi (Pimred) termuda. Dia menyettingnya di Tarutung, Sumut, lalu dibawa naik kuda ke Sibolga, lalu naik kapal ke Padang untuk dicetak. Kemudian kembali lagi ke Tarutung untuk diedarkan.

“Tujuannya adalah melawan Belanda lewat pers. Ini luar biasa. Ayahnya Manullang merupakan intel Sisingamangaraja XII. Semasa ia menerbitkan koran tersebut, Sisingamangaraja XII masih hidup. Pantai Barat adalah wilayah sejarah tumbuhnya pers, Padang merupakan kiblat untuk pers di Sumut,” ujarnya.

Dijelaskannya, edisi asli koran milik Tuan Manullang, termasuk Suara Batak Tahun 1919 masih terselematkan dan banyak mengisahkan tentang Sisingamangaraja XII. Untuk Pers bebas ini, kata Ichwan lagi, Manullang melihat Sumatera Timur jatuh ke tangan perkebunan asing, tinggal tunggu waktu saja maka seluruh kawasan Danau Toba juga akan jatuh ke tangan asing, maka diapun bertekad harus melawan. Maka ketika lahan seluas 6.000 Ha jatuh ke tangan Belanda di wilayah Pansur Batu, Tapanuliutara (Taput), Sumut, dia melakukan perlawanan lewat pers, ditangkap, dipenjarakan dan dibuang ke Cipinang.

Di dalam penjara ia buat tulisan berjudul, ‘Pimpinan Redaksi Kami Sedang Ditangkap’. Yang artinya, koran tetap jalan terus. Dia merupakan utusan mendirikan Gereja HKB, dia adalah oposisi di Gereja HKB, dengan oposisi dari Gereja HKBP. “Di gereja ini, Manullang melakukan perlawanan lewat Koran Suara Batak terhadap ekspansi kolonial Belanda. Dengan perlawanan itulah kawasan Danau Toba terselamatkan, karena ia juga mengirimkan surat kepada Gubernur Jenderal pada masa itu. Dan uniknya Manullang menggunakan strategi Syarikat Islam,” terangnya.

Ichwan mengungkapkan, Manullang bahkan dijuluki Soekarno Batak, karena memiliki kemampuan orasi, menulis dan melobi. Ia mencari inspirasi dari cara-cara gerakan Syarikat Islam. Makanya dia tidur di rumah tokoh-tokoh Islam di Jawa, termasuk di rumah Tjokroaminoto dan banyak melakukan cara-cara tersebut dan dibawanya ke Tanah Batak dan mengatakan, ‘Kita Harus Meniru Cara-cara Syarikat Islam’.

Sejarah ini dilupakan, Dewan Pers telah mengusulkan menjadi Pahlawan Nasional sebanyak dua kali termasuk Parada Harahap, namun masih tertolak dengan alasan belum lengkap. “Mungkin karena gak masuk ke Ring 1,” katanya sambil tertawa.

Tak sampai disitu, Ichwan juga menceritakan bahwa di Medan jugalah pertama kali munculnya Koran Perempuan Bergerak pada 1919. Termasuk Rohanna salah satu di dalamnya. Ada juga Batak Bergerak, Benih Merdeka, koran pertama yang berani menggunakan kata merdeka sebagai nama koran, gak ada yang lain, di Jawa masih sayup-sayup menggunakan kata merdeka. Sementara di Medan sudah berani menggunakan kata itu.

“Nah, orang Jawa juga buat koran di Medan, namanya Suara Jawa, tetapi berbeda. Hanya berani membuat kata ‘Terus Terang’, ‘Modar Koe’. Di Jawa mana ada istilah kata ini. Koran ini dicetak oleh priyayi-priyayi Jawa yang di Medan, lalu dibagikan ke orang-orang Jawa di Tanjung Pura, Langkat hingga ke Tebingtinggi, dicari dimana ada orang-orang Jawa. Lalu disisipkan tulisan, ‘kembalikan koran ini jika tidak ingin berlangganan dengan tulisan juga, jika tidak suka dengan orang Jawa. Jika tidak dikembalikan dengan tulisan maka dianggap berlangganan’. Tidak mungkin di Jawa itu bisa terjadi, tetapi di Medan itu dilakukan. Luar biasa,” urainya.

Lalu, pada Tahun 1923, orang Padang juga buat koran, namanya Suara Bonjol. Orang Mandailing, Karo hingga orang Melayu juga buat koran, namanya Benih Merdeka, yang mirip seperti Majalah Tempo sekarang. Koran mingguan pertama bergambar yang terbit pada masa itu.

“Setelah itu, Indonesia dijajah Inggris dan sejak saat itu tidak boleh lagi koran berbahasa Belanda digunakan, harus menggunakan Bahasa Inggris dan itu juga ada aslinya yang dipamerkan di Jerman,” pungkasnya. (dwi/adz)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/