26.7 C
Medan
Saturday, May 18, 2024

Danpuspom TNI Sebut Ada Dugaan Upaya Pengaruhi Proses Hukum Mayor Dedi cs Terancam Sanksi

SUMUTPOS.CO – Mayor Dedi Hasibuan dan 13 prajurit Kodam I/Bukit Barisan yang ikut menggeruduk Markas Polrestabes Medan bakal dijatuhi sanksi disiplin. Hal ini disampaikan Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Marsekal Muda Agung Handoko dalam konferensi pers di Mabes TNI, Jakarta Timur, Kamis (10/8). Agung pun mengklarisfikasi, Mayor Dedi saat ini belum ditahan.

MARSEKAL Muda Agung Handoko menjelaskan, Mayor Dedi baru diklarifikasi oleh Puspom TNI pada Kamis (9/8). Sementara 13 prajurit yang juga turut menggeruduk Polrestabes diperiksa di internal Kodam I/Bukit Barisan. “DFH ini kemarin sifatnya hanya klarifikasi. Jadi tidak ada penahanan terhadap yang bersangkutan. Terhadap 13 rekannya ini, kami tidak mengklarifikasi. Itu mungkin di internal Kodam Bukit Barisan,” kata Agung.

Kini, Agung mengatakan, penanganan kasus Mayor Dedi akan dilimpahkan ke Puspom TNI AD. Ia menjelaskan, alasan pelimpahan itu ke Puspom TNI AD lantaran Panglima TNI merupakan pengguna kekuatan, bukan pembina kekuatan. “Panglima ini kan pengguna kekuatan, proses pembinaan ada di Angkatan. Untuk selanjutnya, permasalahan ini akan kita limpahkan ke Puspom AD. Status masih belum kita tetapkan tersangka, tapi tergantung dari Puspom AD,” katanya.

Namun begitu, Ia memastikan Dedi dan belasan prajurit itu akan dikenai hukuman disiplin, meski nantinya tidak ditemukan unsur pidana dari tindakan itu. “Kita jamin, siapapun yang terlibat di situ, kalau memang dari kejadian itu tidak ada unsur pidana, kita pastikan semua yang ada di situ akan kena hukum disiplin. Itu bisa kita pastikan,” tegasnya.

Dalam kasus ini, Agung menilai, tidak ada urgensi berkaitan dengan kedinasan di balik pemberian bantuan hukum dari Mayor Dedi Hasibuan ke tersangka pemalsuan surat keterangan lahan berinisial ARH yang merupakan keluarganya. Agung menjelaskan, peristiwa tersebut berawal ketika Dedi mengetahui ARH ditahan Polrestabes Medan. Ia lalu melapor ke atasannya yakni Kepala Hukum Kodam (Kakumdam) I Bukit Barisan Kolonel Muhammad Irham Djannatung agar dizinkan memberi bantuan hukum ke ARH yang merupakan anggota keluarganya. “DFH melaporkan kepada atasannya dalam hal ini Kakumdam untuk dapat difasilitasi memberikan bantuan hukum,” kata Agung.

Pada 31 Juli, Dedi lalu mengajukan surat tertulis ke Kakumdam agar ARH diberi bantuan hukum. Permohonan bantuan hukum itu lalu dikabulkan Kakumdam pada 1 Agustus. “Jadi sehari setelah permohonan tersebut, untuk memberikan bantuan hukum kepada ARH yang kami nilai ini waktunya terlalu cepat dan kami nilai juga tidak ada urgensinya dengan dinas,” kata Agung.

Kemudian pada 3 Agustus, Kakumdam mengirim surat permohonan penangguhan penahanan ARH ke Kapolrestabes Medan. Namun, lantaran hingga tanggal 4 Agustus, ARH masih ditahan, Dedi lalu bertanya ke Kasat Reskrim Polrestabes Medan.

“DFH menanyakan jawaban surat permohonan penangguhan penahanan kepada Kasat Reskrim dan dijawab lewat chat WA. Kebertana atas penangguhan penahanan karena ARH ada 3 laporan polisi yang berkaitan dengan yang bersangkutan,” kata Agung.

Dedi kemudian meminta jawaban tertulis atas permohonan itu. Hingga 5 Agustus, tidak ada jawaban lalu Dedi dan sejumlah prajurit berbaju loreng datang ke Mapolrestabes Medan untuk meminta keterangan soal penangguhan penahanan ARH. “Akhirnya bertemu dengan Kasat Reskrim yang sebelumnya sempat ditemui oleh Kasat Intel. Setelah pertemuan dengan Kasat Reskrim di situ sempat terjadi perdebatan keras antara keduanya, di situlah yang sempat viral di medsos,” kata Agung.

Dari kejadian itu, Puspom berkesimpulan tindakan Mayor Dedi yang mendatangi Polrestabes Medan dengan sejumlah prajurit berpakaian loreng dapat dikonotasikan sebagai upaya unjuk kekuatan atau show of force. “Hasil penyelidikan dapat menyimpulkan bahwa kedatangan DFH bersama rekan-rekannya di kantor Polrestabes dengan berpakaian dinas loreng pada hari libur, hari Sabtu, dapat diduga atau dikonotasikan merupakan upaya show of force kepada penyidik Polrestabes untuk berupaya memengaruhi proses hukum yang sedang berjalan,” kata Agung.

Selain dari hasil penyelidikan, kata Agung, kesimpulan itu juga didapat dari video yang viral di media sosial. Dari video yang viral itu terlihat anggota TNI yang hadir justru tidak fokus pada persoalan.

“Tapi ada yang berlalu lalang di sekitar tempat mereka berdebat. Terkait dengan mungkin ada indikasi bahwa tindakan tersebut bisa dikatakan obstruction of justice, kami belum bisa mengarah ke sana,” katanya.

Kepala Badan Pembinaan Hukum (Kababinkum) TNI Laksamana Muda Kresno Buntoro juga mengatakan, ada prosedur yang tidak dilewati Mayor Dedi Hasibuan untuk memberi bantuan hukum kepada keluarganya. “Kalau diteliti, ada yang dilalui, ada yang disekip proseduralnya. Sehingga ini dalam tanda kutip ada kesalahan dari aspek prosedural,” katanya dalam konferensi pers di Mabes TNI, Jakarta Timur, Kamis (10/8).

Dia mengatakan, berdasarkan aturan yang berlaku memang keluarga dari anggota prajurit bisa mendapatkan bantuan hukum dari TNI. “Apakah prajurit dan keluarga itu dapat diberi bantuan hukum? Jawabannya dapat, mari kita tengok terkait dengan aturannya,” kata Kresno

Salah satu aturan yang disinggung Kresno adalah pasal 50 ayat 3 huruf F UU 34 tahun 2004 tentang TNI. Dalam aturan itu, disebutkan keluarga prajurit mendapatkan rawatan kedinasan, salah satunya adalah bantuan hukum. “Sehingga tadi bahwa prajurit dan keluarganya itu punya hak untuk mendapatkan bantuan hukum,” katanya.

Kresno menjelaskan, prosedur pemberian bantuan hukum kemudian diatur di Keputusan Panglima TNI Nomor KEP/1089/XII/2017 tentang Petunjuk Penyelenggaraan Bantuan Hukum di Lingkungan TNI. Ia menjelaskan dalam keputusan itu, secara garis besar dijelaskan prosedur bantuan hukum yang diawali dengan adanya permohonan.

“Kemudian permohonan ini diajukan kepada Satker di mana dia ada. Contohnya ada anggota Puspen maka kemudian yang bersangkutan mengajukan permohonan ke Kapuspen,” katanya. Permohonan lalu akan diproses hingga ada keputusan untuk memberi bantuan hukum kepada pemohon. (bbc/dwi/adz)

SUMUTPOS.CO – Mayor Dedi Hasibuan dan 13 prajurit Kodam I/Bukit Barisan yang ikut menggeruduk Markas Polrestabes Medan bakal dijatuhi sanksi disiplin. Hal ini disampaikan Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Marsekal Muda Agung Handoko dalam konferensi pers di Mabes TNI, Jakarta Timur, Kamis (10/8). Agung pun mengklarisfikasi, Mayor Dedi saat ini belum ditahan.

MARSEKAL Muda Agung Handoko menjelaskan, Mayor Dedi baru diklarifikasi oleh Puspom TNI pada Kamis (9/8). Sementara 13 prajurit yang juga turut menggeruduk Polrestabes diperiksa di internal Kodam I/Bukit Barisan. “DFH ini kemarin sifatnya hanya klarifikasi. Jadi tidak ada penahanan terhadap yang bersangkutan. Terhadap 13 rekannya ini, kami tidak mengklarifikasi. Itu mungkin di internal Kodam Bukit Barisan,” kata Agung.

Kini, Agung mengatakan, penanganan kasus Mayor Dedi akan dilimpahkan ke Puspom TNI AD. Ia menjelaskan, alasan pelimpahan itu ke Puspom TNI AD lantaran Panglima TNI merupakan pengguna kekuatan, bukan pembina kekuatan. “Panglima ini kan pengguna kekuatan, proses pembinaan ada di Angkatan. Untuk selanjutnya, permasalahan ini akan kita limpahkan ke Puspom AD. Status masih belum kita tetapkan tersangka, tapi tergantung dari Puspom AD,” katanya.

Namun begitu, Ia memastikan Dedi dan belasan prajurit itu akan dikenai hukuman disiplin, meski nantinya tidak ditemukan unsur pidana dari tindakan itu. “Kita jamin, siapapun yang terlibat di situ, kalau memang dari kejadian itu tidak ada unsur pidana, kita pastikan semua yang ada di situ akan kena hukum disiplin. Itu bisa kita pastikan,” tegasnya.

Dalam kasus ini, Agung menilai, tidak ada urgensi berkaitan dengan kedinasan di balik pemberian bantuan hukum dari Mayor Dedi Hasibuan ke tersangka pemalsuan surat keterangan lahan berinisial ARH yang merupakan keluarganya. Agung menjelaskan, peristiwa tersebut berawal ketika Dedi mengetahui ARH ditahan Polrestabes Medan. Ia lalu melapor ke atasannya yakni Kepala Hukum Kodam (Kakumdam) I Bukit Barisan Kolonel Muhammad Irham Djannatung agar dizinkan memberi bantuan hukum ke ARH yang merupakan anggota keluarganya. “DFH melaporkan kepada atasannya dalam hal ini Kakumdam untuk dapat difasilitasi memberikan bantuan hukum,” kata Agung.

Pada 31 Juli, Dedi lalu mengajukan surat tertulis ke Kakumdam agar ARH diberi bantuan hukum. Permohonan bantuan hukum itu lalu dikabulkan Kakumdam pada 1 Agustus. “Jadi sehari setelah permohonan tersebut, untuk memberikan bantuan hukum kepada ARH yang kami nilai ini waktunya terlalu cepat dan kami nilai juga tidak ada urgensinya dengan dinas,” kata Agung.

Kemudian pada 3 Agustus, Kakumdam mengirim surat permohonan penangguhan penahanan ARH ke Kapolrestabes Medan. Namun, lantaran hingga tanggal 4 Agustus, ARH masih ditahan, Dedi lalu bertanya ke Kasat Reskrim Polrestabes Medan.

“DFH menanyakan jawaban surat permohonan penangguhan penahanan kepada Kasat Reskrim dan dijawab lewat chat WA. Kebertana atas penangguhan penahanan karena ARH ada 3 laporan polisi yang berkaitan dengan yang bersangkutan,” kata Agung.

Dedi kemudian meminta jawaban tertulis atas permohonan itu. Hingga 5 Agustus, tidak ada jawaban lalu Dedi dan sejumlah prajurit berbaju loreng datang ke Mapolrestabes Medan untuk meminta keterangan soal penangguhan penahanan ARH. “Akhirnya bertemu dengan Kasat Reskrim yang sebelumnya sempat ditemui oleh Kasat Intel. Setelah pertemuan dengan Kasat Reskrim di situ sempat terjadi perdebatan keras antara keduanya, di situlah yang sempat viral di medsos,” kata Agung.

Dari kejadian itu, Puspom berkesimpulan tindakan Mayor Dedi yang mendatangi Polrestabes Medan dengan sejumlah prajurit berpakaian loreng dapat dikonotasikan sebagai upaya unjuk kekuatan atau show of force. “Hasil penyelidikan dapat menyimpulkan bahwa kedatangan DFH bersama rekan-rekannya di kantor Polrestabes dengan berpakaian dinas loreng pada hari libur, hari Sabtu, dapat diduga atau dikonotasikan merupakan upaya show of force kepada penyidik Polrestabes untuk berupaya memengaruhi proses hukum yang sedang berjalan,” kata Agung.

Selain dari hasil penyelidikan, kata Agung, kesimpulan itu juga didapat dari video yang viral di media sosial. Dari video yang viral itu terlihat anggota TNI yang hadir justru tidak fokus pada persoalan.

“Tapi ada yang berlalu lalang di sekitar tempat mereka berdebat. Terkait dengan mungkin ada indikasi bahwa tindakan tersebut bisa dikatakan obstruction of justice, kami belum bisa mengarah ke sana,” katanya.

Kepala Badan Pembinaan Hukum (Kababinkum) TNI Laksamana Muda Kresno Buntoro juga mengatakan, ada prosedur yang tidak dilewati Mayor Dedi Hasibuan untuk memberi bantuan hukum kepada keluarganya. “Kalau diteliti, ada yang dilalui, ada yang disekip proseduralnya. Sehingga ini dalam tanda kutip ada kesalahan dari aspek prosedural,” katanya dalam konferensi pers di Mabes TNI, Jakarta Timur, Kamis (10/8).

Dia mengatakan, berdasarkan aturan yang berlaku memang keluarga dari anggota prajurit bisa mendapatkan bantuan hukum dari TNI. “Apakah prajurit dan keluarga itu dapat diberi bantuan hukum? Jawabannya dapat, mari kita tengok terkait dengan aturannya,” kata Kresno

Salah satu aturan yang disinggung Kresno adalah pasal 50 ayat 3 huruf F UU 34 tahun 2004 tentang TNI. Dalam aturan itu, disebutkan keluarga prajurit mendapatkan rawatan kedinasan, salah satunya adalah bantuan hukum. “Sehingga tadi bahwa prajurit dan keluarganya itu punya hak untuk mendapatkan bantuan hukum,” katanya.

Kresno menjelaskan, prosedur pemberian bantuan hukum kemudian diatur di Keputusan Panglima TNI Nomor KEP/1089/XII/2017 tentang Petunjuk Penyelenggaraan Bantuan Hukum di Lingkungan TNI. Ia menjelaskan dalam keputusan itu, secara garis besar dijelaskan prosedur bantuan hukum yang diawali dengan adanya permohonan.

“Kemudian permohonan ini diajukan kepada Satker di mana dia ada. Contohnya ada anggota Puspen maka kemudian yang bersangkutan mengajukan permohonan ke Kapuspen,” katanya. Permohonan lalu akan diproses hingga ada keputusan untuk memberi bantuan hukum kepada pemohon. (bbc/dwi/adz)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/