27 C
Medan
Monday, June 24, 2024

Golput Medan Pecahkan Rekor

Pj Walikota Medan Drs H Randiman Tarigan Mencoblos di TPS 16 Pilkada Kota Medan, Rabu (9/12/2015).
Pj Walikota Medan Drs H Randiman Tarigan Mencoblos di TPS 16 Pilkada Kota Medan, Rabu (9/12/2015).

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Tingkat partisipasi pemilih di pilkada serentak 9 Desember 2015 jauh dari target yang dicanangkan KPU yakni 77,5 persen. Secara nasional, jumlah pemilih yang menggunakan hak suaranya kurang dari 50 persen.

Yang mengagetkan, berdasar data yang dihimpun Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) yang paling jeblok adalah pilkada Kota Medan, yakni sekitar 24 persen. Sisanya, sekitar 76 persen tidak menggunakan hak pilihnya alias golput.

“Medan rekor. Yang tidak menggunakan hak suaranya hampir 76 persen. Kalau dari pernyataan Penjabat Walikota Medan 75,8 persen. Ini luar biasa fatal,” ujar anggota caretaker KIPP Girindra Sandino kepada koran ini di Jakarta, kemarin (10/12).

Diberitakan sebelumnya, Penjabat Wali Kota Medan Randiman Tarigan menyebut angka angka partisipasi pemilih hanya 24,02 persen persen. Sedangkan yang tidak menggunakan hak pilihnya mencapai 75,8 persen. Randiman mengaku mendapatkan data itu dari Desk Pilkada.

Girindra Sandino mengatakan, di atas Medan, yang partisipasi pemilihnya rendah antara lain pilkada Kota Tangerang Selatan (Tangsel), yang dalam kisaran 25-40 persen. Klaten, Sukoharjo, Sragen, dan Kota Solo, tingkat partisipasi hanya berkisar 30-40 persen. Kabupaten Semarang 50-60 persen. Sementara di Boyolali 60-65 persen dan tertinggi di ‎ Kabupaten Demak 80-90 persen.

Girindra menduga ada beberapa faktor yang menyebabkan jebloknya tingkat partisipasi pemilih di pilkada 2015. Pertama, regulasi yang membatasi para pasangan calon untuk menyosialisasikan diri. “Gerakan paslon dibatasi sangat ketat oleh aturan, tidak boleh sembarangan pasang baliho,” ujarnya.

Kedua, kurangnya sosialisasi dari penyelenggara. Situasi ini menguntungkan calon incumbent alias petahana. Ditambah faktor pertama tadi. “Karena petahana sudah lima tahun berinvestasi politik, sedang calon lain belum dikenal. Ambil saja contoh di Medan, petahana menang telak,” kata Girindra.

Ketiga, sosok paslon tidak ada yang menarik minat pemilih datang ke TPS. “Tak ada yang menarik, buat apa memilih?” ujarnya.

Keempat, distribusi surat undangan alias C6 tidak merata. KIPP menemukan kasus di Surabaya dan Semarang, banyak warga yang punya hak pilih tidak menerima C6.

Kelima, maraknya kasus pejabat terlibat korupsi, rakyat menjadi sangat apatis dengan urusan-urusan pilkada. “Apalagi di Medan, belakangan marak pemberitaan kasus korupsi pejabat Sumut. Ini juga sangat berpengaruh,” kata Girindra.

Dia mengatakan, rendahkan tingkat partisipasi pemilih ini sangat berbahaya bagi upaya menjaga sistem demokrasi.

“Karena esensi demokrasi itu sejauh mana tingkat partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan. Ngeri, ini bisa menjadi gejala distrust system demokrasi,” pungkasnya. (sam)

Pj Walikota Medan Drs H Randiman Tarigan Mencoblos di TPS 16 Pilkada Kota Medan, Rabu (9/12/2015).
Pj Walikota Medan Drs H Randiman Tarigan Mencoblos di TPS 16 Pilkada Kota Medan, Rabu (9/12/2015).

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Tingkat partisipasi pemilih di pilkada serentak 9 Desember 2015 jauh dari target yang dicanangkan KPU yakni 77,5 persen. Secara nasional, jumlah pemilih yang menggunakan hak suaranya kurang dari 50 persen.

Yang mengagetkan, berdasar data yang dihimpun Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) yang paling jeblok adalah pilkada Kota Medan, yakni sekitar 24 persen. Sisanya, sekitar 76 persen tidak menggunakan hak pilihnya alias golput.

“Medan rekor. Yang tidak menggunakan hak suaranya hampir 76 persen. Kalau dari pernyataan Penjabat Walikota Medan 75,8 persen. Ini luar biasa fatal,” ujar anggota caretaker KIPP Girindra Sandino kepada koran ini di Jakarta, kemarin (10/12).

Diberitakan sebelumnya, Penjabat Wali Kota Medan Randiman Tarigan menyebut angka angka partisipasi pemilih hanya 24,02 persen persen. Sedangkan yang tidak menggunakan hak pilihnya mencapai 75,8 persen. Randiman mengaku mendapatkan data itu dari Desk Pilkada.

Girindra Sandino mengatakan, di atas Medan, yang partisipasi pemilihnya rendah antara lain pilkada Kota Tangerang Selatan (Tangsel), yang dalam kisaran 25-40 persen. Klaten, Sukoharjo, Sragen, dan Kota Solo, tingkat partisipasi hanya berkisar 30-40 persen. Kabupaten Semarang 50-60 persen. Sementara di Boyolali 60-65 persen dan tertinggi di ‎ Kabupaten Demak 80-90 persen.

Girindra menduga ada beberapa faktor yang menyebabkan jebloknya tingkat partisipasi pemilih di pilkada 2015. Pertama, regulasi yang membatasi para pasangan calon untuk menyosialisasikan diri. “Gerakan paslon dibatasi sangat ketat oleh aturan, tidak boleh sembarangan pasang baliho,” ujarnya.

Kedua, kurangnya sosialisasi dari penyelenggara. Situasi ini menguntungkan calon incumbent alias petahana. Ditambah faktor pertama tadi. “Karena petahana sudah lima tahun berinvestasi politik, sedang calon lain belum dikenal. Ambil saja contoh di Medan, petahana menang telak,” kata Girindra.

Ketiga, sosok paslon tidak ada yang menarik minat pemilih datang ke TPS. “Tak ada yang menarik, buat apa memilih?” ujarnya.

Keempat, distribusi surat undangan alias C6 tidak merata. KIPP menemukan kasus di Surabaya dan Semarang, banyak warga yang punya hak pilih tidak menerima C6.

Kelima, maraknya kasus pejabat terlibat korupsi, rakyat menjadi sangat apatis dengan urusan-urusan pilkada. “Apalagi di Medan, belakangan marak pemberitaan kasus korupsi pejabat Sumut. Ini juga sangat berpengaruh,” kata Girindra.

Dia mengatakan, rendahkan tingkat partisipasi pemilih ini sangat berbahaya bagi upaya menjaga sistem demokrasi.

“Karena esensi demokrasi itu sejauh mana tingkat partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan. Ngeri, ini bisa menjadi gejala distrust system demokrasi,” pungkasnya. (sam)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/