31.7 C
Medan
Thursday, May 2, 2024

Pembayaran Gaji Honorer Tunggu Regulasi, Sabar Yaa…

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Guru-guru non-PNS SMA/SMK sederajat yang hingga kini masih gigit jari soal honor yang belum diterima. Di tengah beragam usulan pembayaran honor guru non PNS, pemerintrah pusat sudah menjamin dan menyiapkan anggaran Rp 1,4 triliun untuk 61 ribuan orang, tapi pemerintah belum membuat regulasi.

Kesiapan peralihan kewenangan pengelolaan SMA/SMK dari Pemkab/Pemko ke Pemerintah Provinsi (Pemprov) masih setengah hati, Pemprov sebagai pemegang wewenang belum diberikan pegangan aturan kuat.

Buktinya, hampir di seluruh Indonesia tenaga pendidik SMA/SMK belum menerima pembayaran gaji. Para guru SMA/SMK layaknya menunggu nasib. Di tengah kondisi itu, semangat untuk mendidik terus dituntut oleh pemerintah pusat.

Wakil Ketua Umum PGRI Abduhzen mengatakan, gaji guru harus dibayarkan, terkhusus bagi honorer harus bisa ada solusi dan memiliki regulasi yang jelas. Bila gaji PNS sumbernya jelas dan telah memiliki regulasi, teknisnya hanya memindahkan jumlah dana alokasi umum (DAU) dari Pemkab/Pemko ke Pemprov. Sedangkan guru non PNS?

Abduhzen mengusulkan, pemerintah membuat regulasi penggunaan dana BOS yang diberikan ke masing-masing sekolah bisa membayar honor para guru non PNS SMA/SMK. Selama ini dana tersebut ada platform yang membenarkan penggunaannya untuk pembayaran tenaga pendidik non PNS. ”BOS ini kan tetap ada walau sekolah sudah dialihkan ke provinsi. Bisa menggunakan itu,” ujarnya.

Dana BOS sendiri biasa dikucurkan tiga bulan sekali. Untuk awal tahun biasa diturunkan pada Januari. Tahun ini sendiri besar anggaran BOS untuk siswa SMA/SMK mencapai sekitar Rp 13,1 juta.

Menurutnya, persoalan tenaga guru honorer ini harus jadi perhatian pemerintah juga. Karena, sudah banyak tenaga guru PNS yang pensiun. Dalam satu tahun, jumlahnya mencapai 60-70 ribu di seluruh Indonesia.

”Pada 2020 diperkirakan mencapai 316 ribu. Karena ada moratorium, ya terpaksa pakai honorer kan? Honorer ini tak jarang juga diambil dari mereka yang pensiun,” ungkapnya.

Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Widodo Sigit Pudjianto mengatakan, pengalihan urusan SMA/SMK ke provinsi memiliki semangat yang baik. Saat merevisi UU Pemda tiga tahun lalu, upaya tersebut dilakukan atas dasar keprihatinan atas kualitas sekolah tingkat SMA di berbagai daerah.   “Kualitas SMA misalnya di Bogor dengan Mataram itu tidak sama,” ujarnya.

Untuk itu, pemerintah pusat merasa perlu melakukan pembenahan agar terjadi pemerataan. Namun dalam prakteknya, hal itu menjadi berat jika beban memajukan pendidikan dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah kabupaten/kota. Sehingga dirasa perlu untuk dibagi tugas ke pemerintah provinsi.

“SD, SMP Kabupaten, SMA Provinsi, lalu perguruan tinggi pemerintah pusat,” imbuhnya.

Lalu apa jaminan akan lebih baik? Sigit menjelaskan, urusan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi secara teknis lebih mudah dengan pemerintah pusat. Sebab secara jenjang lebih dekat dan jumlahnya yang tidak terlalu banyak. Sehingga diharapkan pembinaan yang dilakukan kementerian pendidikan bisa lebih intensif.

Diakuinya, dalam membangun paradigma tersebut, pemerintah tidak melakukan atas dasar satu dua peristiwa di kota tertentu. Melainkan atas evaluasi di seluruh Indonesia. “Ya Surabaya memang mampu menciptakan pendidikan SMA yang baik. Tapi daerah lain kan belum tentu,” pungkasnya. mia)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Guru-guru non-PNS SMA/SMK sederajat yang hingga kini masih gigit jari soal honor yang belum diterima. Di tengah beragam usulan pembayaran honor guru non PNS, pemerintrah pusat sudah menjamin dan menyiapkan anggaran Rp 1,4 triliun untuk 61 ribuan orang, tapi pemerintah belum membuat regulasi.

Kesiapan peralihan kewenangan pengelolaan SMA/SMK dari Pemkab/Pemko ke Pemerintah Provinsi (Pemprov) masih setengah hati, Pemprov sebagai pemegang wewenang belum diberikan pegangan aturan kuat.

Buktinya, hampir di seluruh Indonesia tenaga pendidik SMA/SMK belum menerima pembayaran gaji. Para guru SMA/SMK layaknya menunggu nasib. Di tengah kondisi itu, semangat untuk mendidik terus dituntut oleh pemerintah pusat.

Wakil Ketua Umum PGRI Abduhzen mengatakan, gaji guru harus dibayarkan, terkhusus bagi honorer harus bisa ada solusi dan memiliki regulasi yang jelas. Bila gaji PNS sumbernya jelas dan telah memiliki regulasi, teknisnya hanya memindahkan jumlah dana alokasi umum (DAU) dari Pemkab/Pemko ke Pemprov. Sedangkan guru non PNS?

Abduhzen mengusulkan, pemerintah membuat regulasi penggunaan dana BOS yang diberikan ke masing-masing sekolah bisa membayar honor para guru non PNS SMA/SMK. Selama ini dana tersebut ada platform yang membenarkan penggunaannya untuk pembayaran tenaga pendidik non PNS. ”BOS ini kan tetap ada walau sekolah sudah dialihkan ke provinsi. Bisa menggunakan itu,” ujarnya.

Dana BOS sendiri biasa dikucurkan tiga bulan sekali. Untuk awal tahun biasa diturunkan pada Januari. Tahun ini sendiri besar anggaran BOS untuk siswa SMA/SMK mencapai sekitar Rp 13,1 juta.

Menurutnya, persoalan tenaga guru honorer ini harus jadi perhatian pemerintah juga. Karena, sudah banyak tenaga guru PNS yang pensiun. Dalam satu tahun, jumlahnya mencapai 60-70 ribu di seluruh Indonesia.

”Pada 2020 diperkirakan mencapai 316 ribu. Karena ada moratorium, ya terpaksa pakai honorer kan? Honorer ini tak jarang juga diambil dari mereka yang pensiun,” ungkapnya.

Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Widodo Sigit Pudjianto mengatakan, pengalihan urusan SMA/SMK ke provinsi memiliki semangat yang baik. Saat merevisi UU Pemda tiga tahun lalu, upaya tersebut dilakukan atas dasar keprihatinan atas kualitas sekolah tingkat SMA di berbagai daerah.   “Kualitas SMA misalnya di Bogor dengan Mataram itu tidak sama,” ujarnya.

Untuk itu, pemerintah pusat merasa perlu melakukan pembenahan agar terjadi pemerataan. Namun dalam prakteknya, hal itu menjadi berat jika beban memajukan pendidikan dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah kabupaten/kota. Sehingga dirasa perlu untuk dibagi tugas ke pemerintah provinsi.

“SD, SMP Kabupaten, SMA Provinsi, lalu perguruan tinggi pemerintah pusat,” imbuhnya.

Lalu apa jaminan akan lebih baik? Sigit menjelaskan, urusan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi secara teknis lebih mudah dengan pemerintah pusat. Sebab secara jenjang lebih dekat dan jumlahnya yang tidak terlalu banyak. Sehingga diharapkan pembinaan yang dilakukan kementerian pendidikan bisa lebih intensif.

Diakuinya, dalam membangun paradigma tersebut, pemerintah tidak melakukan atas dasar satu dua peristiwa di kota tertentu. Melainkan atas evaluasi di seluruh Indonesia. “Ya Surabaya memang mampu menciptakan pendidikan SMA yang baik. Tapi daerah lain kan belum tentu,” pungkasnya. mia)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/