25.6 C
Medan
Thursday, May 16, 2024

Wartawan Diminta Empati terhadap Korban Kejahatan Susila

Foto: Dame/SUMUTPOS.CO
Sekjen PWI Pusat, Hendry CH Bangun, memberi materi kepada peserta Pelatihan Pengarusutamaan Gender (PUG) serta Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak, di Medan, Selasa (12/9/2017)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Wartawan diminta sungguh-sungguh melindungi korban kejahatan susila, apalagi yang masih tergolong anak-anak/belum dewasa, dengan menutup rapat identitasnya.

“Prinsip hati-hati, empati, dan sikap bijaksana sangat dituntut dalam setiap pemberitaan tentang kejahatan susila. Semua itu perlu dilakukan, agar pers dapat berkontribusi melindungi korban, sekaligus tidak kehilangan peran mendorong penegakan hukum, serta bersama dengan seluruh  elemen masyarakat mencegah terjadinya kejahatan susila,” kata Sekjen Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Hendry CH Bangun, kepada peserta Pelatihan Pengarusutamaan Gender (PUG) serta pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, di Medan, Selasa (12/9/2017)

Dalam acara pelatihan yang digelar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) bekerja sama dengan PWI Sumut itu, Hendry mengungkapkan,sesuai Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik,  Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila, dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

“Apa itu identitas? Yakni semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang, yang memudahkan orang lain untuk melacak. Sedangkan anak adalah orang yang belum berusia 16 tahun dan belum menikah,” kata Hendry.

Pemuatan nama inisial korban, lanjutnya, sebaiknya dihindari. Bahkan menggantinya dengan nama lain, misalnya “Bunga”, “Melati” atau “Mawar”, pun sebaiknya dihindari. Diganti dengan penyebutkan “seorang perempuan”, “seorang anak”, atau “korban” saja. Alasannya, orang-orang yang benar-benar memiliki nama “Bunga”, “Melati” atau “Mawar, juga tak ingin nama mereka menjadi nama samaran para korban kejahatan susila.

Pemuatan gambar korban dan keluarganya, gambar tempat tinggal atau tempat kerjanya, juga sebaiknya dihindari. Karena walau disamarkan atau diburamkan, masih berpotensi mengarah pada terungkapnya identitas korban. “Berita yang terlalu vulgar saat pelaku melakukan kejahatan susila dapat menambah trauma dan penderitaan korban dan menimbulkan copy cat. Bahkan, pelaku kejahatan baru bisa terinspirasi lewat pemberitaan itu,” ujar Hendry.

Agar korban tidak mengalami dua kali peristiwa traumatis, pengelola media sangat diharapkan untuk bersikap empati, dengan menempatkan diri di posisi korban untuk mengetahui perasaan apa yang ada di dalam hati mereka. “Pasti tidak akan nyaman apabila kita disorot, disiarkan, diekpos, sehingga seperti dikuliti oleh media. Padahal itu bukan sesuatu yang kita kehendaki terjadi,” sebutnya.

Wartawan diminta bekerja secara profesional, dengan keberpihakan pada yang lemah, yang kalah, yang tak punya akses pada kekuasaan, yakni anak. “Anak adalah masa depan bangsa yang masih rentan karena dalam masa transisi menuju kedewasaan. Anak juga perlu perlindungan di tengah masyarakat yang terkadang tidak ramah anak, dan semakin banyaknya predator. Perlu keberpihakan pers agar potensi anak dapat berkembang maksimal dengan karya jurnalistik dan ruang untuk kreasi anak,” cetusnya.

KEKERASAN BERBASIS GENDER

Selain melindungi anak, perusahaan media juga diminta berhenti membuat berita yang memicu kekerasan berbasis gender, yang dapat memicu kesenangan untuk menimbulkan kerusakan. “Media jangan mempromosikan pornografi atau kekerasan terhadap perempuan dan anak. Hindari menempatkan perempuan sebagai sosok yang pantas menjadi target kekerasan atau perlakuan kasar, kecuali kekerasan itu bagian tidak terpisahkan dari berita,” jelasnya.

Diskriminasi dalam bentuk nyata adalah berita yang menempatkan perempuan semata sebagai obyek, dan dianggap wajar sebagai ‘korban’ karena gendernya.  “Misalnya perlakuan terhadap politisi perempuan atau pejabat perempuan secara berbeda dengan tokoh laki-laki, padahal mereka itu praktisi. Membedakan mereka ya dari kinerja,” katanya.

Terkadang perempuan dibedakan dengan maksud ‘menghormati’, tetapi justru mengecilkan kemampuan sesungguhnya dari perempuan sebagai manusia yang memiliki kompetensi. (dame)

Foto: Dame/SUMUTPOS.CO
Sekjen PWI Pusat, Hendry CH Bangun, memberi materi kepada peserta Pelatihan Pengarusutamaan Gender (PUG) serta Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak, di Medan, Selasa (12/9/2017)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Wartawan diminta sungguh-sungguh melindungi korban kejahatan susila, apalagi yang masih tergolong anak-anak/belum dewasa, dengan menutup rapat identitasnya.

“Prinsip hati-hati, empati, dan sikap bijaksana sangat dituntut dalam setiap pemberitaan tentang kejahatan susila. Semua itu perlu dilakukan, agar pers dapat berkontribusi melindungi korban, sekaligus tidak kehilangan peran mendorong penegakan hukum, serta bersama dengan seluruh  elemen masyarakat mencegah terjadinya kejahatan susila,” kata Sekjen Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Hendry CH Bangun, kepada peserta Pelatihan Pengarusutamaan Gender (PUG) serta pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, di Medan, Selasa (12/9/2017)

Dalam acara pelatihan yang digelar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) bekerja sama dengan PWI Sumut itu, Hendry mengungkapkan,sesuai Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik,  Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila, dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

“Apa itu identitas? Yakni semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang, yang memudahkan orang lain untuk melacak. Sedangkan anak adalah orang yang belum berusia 16 tahun dan belum menikah,” kata Hendry.

Pemuatan nama inisial korban, lanjutnya, sebaiknya dihindari. Bahkan menggantinya dengan nama lain, misalnya “Bunga”, “Melati” atau “Mawar”, pun sebaiknya dihindari. Diganti dengan penyebutkan “seorang perempuan”, “seorang anak”, atau “korban” saja. Alasannya, orang-orang yang benar-benar memiliki nama “Bunga”, “Melati” atau “Mawar, juga tak ingin nama mereka menjadi nama samaran para korban kejahatan susila.

Pemuatan gambar korban dan keluarganya, gambar tempat tinggal atau tempat kerjanya, juga sebaiknya dihindari. Karena walau disamarkan atau diburamkan, masih berpotensi mengarah pada terungkapnya identitas korban. “Berita yang terlalu vulgar saat pelaku melakukan kejahatan susila dapat menambah trauma dan penderitaan korban dan menimbulkan copy cat. Bahkan, pelaku kejahatan baru bisa terinspirasi lewat pemberitaan itu,” ujar Hendry.

Agar korban tidak mengalami dua kali peristiwa traumatis, pengelola media sangat diharapkan untuk bersikap empati, dengan menempatkan diri di posisi korban untuk mengetahui perasaan apa yang ada di dalam hati mereka. “Pasti tidak akan nyaman apabila kita disorot, disiarkan, diekpos, sehingga seperti dikuliti oleh media. Padahal itu bukan sesuatu yang kita kehendaki terjadi,” sebutnya.

Wartawan diminta bekerja secara profesional, dengan keberpihakan pada yang lemah, yang kalah, yang tak punya akses pada kekuasaan, yakni anak. “Anak adalah masa depan bangsa yang masih rentan karena dalam masa transisi menuju kedewasaan. Anak juga perlu perlindungan di tengah masyarakat yang terkadang tidak ramah anak, dan semakin banyaknya predator. Perlu keberpihakan pers agar potensi anak dapat berkembang maksimal dengan karya jurnalistik dan ruang untuk kreasi anak,” cetusnya.

KEKERASAN BERBASIS GENDER

Selain melindungi anak, perusahaan media juga diminta berhenti membuat berita yang memicu kekerasan berbasis gender, yang dapat memicu kesenangan untuk menimbulkan kerusakan. “Media jangan mempromosikan pornografi atau kekerasan terhadap perempuan dan anak. Hindari menempatkan perempuan sebagai sosok yang pantas menjadi target kekerasan atau perlakuan kasar, kecuali kekerasan itu bagian tidak terpisahkan dari berita,” jelasnya.

Diskriminasi dalam bentuk nyata adalah berita yang menempatkan perempuan semata sebagai obyek, dan dianggap wajar sebagai ‘korban’ karena gendernya.  “Misalnya perlakuan terhadap politisi perempuan atau pejabat perempuan secara berbeda dengan tokoh laki-laki, padahal mereka itu praktisi. Membedakan mereka ya dari kinerja,” katanya.

Terkadang perempuan dibedakan dengan maksud ‘menghormati’, tetapi justru mengecilkan kemampuan sesungguhnya dari perempuan sebagai manusia yang memiliki kompetensi. (dame)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/