27.8 C
Medan
Sunday, May 26, 2024

Bolak-balik Lihat Posisi Terjun, Polisi Pastikan Edo Bunuh Diri

Terpisah, teman SD korban Alexander Sitepu (26) juga tak yakin korban bunuh diri. Menurutnya, hal itu tidak sesuai dengan sosok korban yang selama ini dikenalnya. “Tidak mungkin dia berani bunuh diri seperti anggapan yang beredar, sama jarum suntik dan gelap saja dia takut bang. Makanya, tak wajar saya rasa kalau kematian korban disebut bunuh diri, seperti yang diberitakan. Untuk itu, kami berharap polisi mampu memastikan penyebab kematian korban yang sebenarnya,” tegasnya.

Sementara Ahli Forensik dr Reinhard Hatahaean SH SpF mengatakan, untuk menentukan penyebab kematian korban, penyidik harus melakukan olah TKP secara teliti, digabungkan dengan hasil otopsi dan keterangan saksi-saksi, serta hal lainnya. Meski mengakui otopsi tak bisa menentukan korban bunuh diri atau dibunuh, namun melalui otopsi dapat diketahui luka-luka dan pendarahan pada korban dialami pada saat masih hidup atau sesudah meninggal.

“Contoh, luka yang dialami orang yang melompat bunuh diri atau dibuang tentu berbeda. Kalau dibuang cenderung posisi mayat terlentang di lantai dan dapat diperkirakan bagaimana patahan-patahan pada tulangnya. Sementara, kalau bunuh diri dengan cara melompat, kemungkinan besar kaki duluan yang mendarat di bawah. Walau posisi mayat bunuh diri bisa terlentang atau terlungkup,” jelasnya.

Masih kata Rainhard, distribusi patah-patah pada tulang dan pendarahan yang dialami akan dapat menjelaskan bagaimana sebenarnya posisi mekanisme benturan (trauma) yang dialami korban saat terjatuh.

Dari otopsi itu juga nantinya, sebutnya dapat diketahui apakah patah tulang dan pendarahan pada korban dialami sebelum atau sesudah kematian. Namun, untuk dapat memastikan patah tulang yang dialami korban, harus dilakukan foto rontgen secara menyeluruh pada tiap bagian tubuh korban.

“Meski otopsi dan foto rontgen menyeluruh masih dapat dilakukan setelah korban dikubur, namun masalahnya adalah apakah ada instalasi yang mau melakukan foto rontgen itu pada mayat yang telah dikubur. Kalau untuk kepentingan penyelidikan, bisa saja dilakukan lagi otopsi dan foto rontgen secara menyeluruh, dengan dibantu dokter forensik yang menangani korban, dibantu ahli forensik yang independent sebagai pembanding,” tegasnya. (mag-1/deo)

Terpisah, teman SD korban Alexander Sitepu (26) juga tak yakin korban bunuh diri. Menurutnya, hal itu tidak sesuai dengan sosok korban yang selama ini dikenalnya. “Tidak mungkin dia berani bunuh diri seperti anggapan yang beredar, sama jarum suntik dan gelap saja dia takut bang. Makanya, tak wajar saya rasa kalau kematian korban disebut bunuh diri, seperti yang diberitakan. Untuk itu, kami berharap polisi mampu memastikan penyebab kematian korban yang sebenarnya,” tegasnya.

Sementara Ahli Forensik dr Reinhard Hatahaean SH SpF mengatakan, untuk menentukan penyebab kematian korban, penyidik harus melakukan olah TKP secara teliti, digabungkan dengan hasil otopsi dan keterangan saksi-saksi, serta hal lainnya. Meski mengakui otopsi tak bisa menentukan korban bunuh diri atau dibunuh, namun melalui otopsi dapat diketahui luka-luka dan pendarahan pada korban dialami pada saat masih hidup atau sesudah meninggal.

“Contoh, luka yang dialami orang yang melompat bunuh diri atau dibuang tentu berbeda. Kalau dibuang cenderung posisi mayat terlentang di lantai dan dapat diperkirakan bagaimana patahan-patahan pada tulangnya. Sementara, kalau bunuh diri dengan cara melompat, kemungkinan besar kaki duluan yang mendarat di bawah. Walau posisi mayat bunuh diri bisa terlentang atau terlungkup,” jelasnya.

Masih kata Rainhard, distribusi patah-patah pada tulang dan pendarahan yang dialami akan dapat menjelaskan bagaimana sebenarnya posisi mekanisme benturan (trauma) yang dialami korban saat terjatuh.

Dari otopsi itu juga nantinya, sebutnya dapat diketahui apakah patah tulang dan pendarahan pada korban dialami sebelum atau sesudah kematian. Namun, untuk dapat memastikan patah tulang yang dialami korban, harus dilakukan foto rontgen secara menyeluruh pada tiap bagian tubuh korban.

“Meski otopsi dan foto rontgen menyeluruh masih dapat dilakukan setelah korban dikubur, namun masalahnya adalah apakah ada instalasi yang mau melakukan foto rontgen itu pada mayat yang telah dikubur. Kalau untuk kepentingan penyelidikan, bisa saja dilakukan lagi otopsi dan foto rontgen secara menyeluruh, dengan dibantu dokter forensik yang menangani korban, dibantu ahli forensik yang independent sebagai pembanding,” tegasnya. (mag-1/deo)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/