25 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

BPJS Kesehatan Medan Alami Defisit

Kantor BPJS Kesehatan Medan.

MEDAN, SUMUTPOS.CO -Setiap tahun, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, selalu menghadapi persoalan defisit. Kendati, sejumlah upaya untuk menanggulanginya telah dilakukan, namun angka defisit ini masih saja tetap terjadi.

Kepala BPJS Kesehatan Cabang Medan, Ari Dwi Aryani mengaku, salah satu hal yang dilakukan BPJS Kesehatan adalah dengan melakukan penagihan tunggakan kepada peserta. Meski ia menyebutkan, penagihan yang dilakukan itu tidak menjamin BPJS Kesehatan akan terhindar dari defisit.

“Bicara soal defisit, sejak sebelum BPJS dibentuk pun hal ini sebetulnya sudah diperkirakan. Makanya, seandainya seluruh tunggakan peserta bisa dilunasi, kekurangan dana manfaat BPJS pasti juga tetap bakal terjadi,” ungkapnya di Medan, Senin (11/9).

Dwi menjelaskan, kekurangan dana (defisit-red) BPJS Kesehatan sampai tercipta, dikarenakan iuran yang masuk lebih rendah dari manfaat yang terpakai. Karenanya, untuk menutupi, disebutnya pemerintah memakai dana talangan yang pada 2016 lalu mencapai Rp6,8 Triliun.

“Kemarin ada 3 opsi untuk mengatasinya, yakni mengurangi manfaat, naikkan iuran, dan dana talangan. Namun yang diterima pemerintah hanya memakai dana talangan, ” jelasnya.

Disinggung mengenai adanya indikasi kecurangan klaim BPJS Kesehatan oleh fasilitas kesehatan dalam melakukan klaim, Dwi menampiknya. Menurut dia, verivikasi klaim yang dilakukan oleh verivikator BPJS Kesehatan sudah sesuai prosedur yang telah ditetapkan.

Dwi melanjutkan, seandainya memang ada fasilitas kesehatan melakukan kecurangan dalam klaim pembayaran, BPJS Kesehatan, disebutnya pihaknya tidak segan-segan memberikan sanksi tegas, dengan melakukan pemutusan hubungan kerjasama dengan fasilitas kesehatan yang melakukannya jika terbukti benar.”Jadi bukan soal kecurangan klaim, ataupun tunggakan peserta yang menyebabkan defisit. Tapi memang karena iuran yang masuk lebih rendah dari manfaat yang dipakai,” terangnya.

Dwi menambahkan, saat ini kebutuhan akan biaya kesehatan memang semakin membesar. Misalnya, semakin banyaknya orang yang berobat setelah menggunakan BPJS Kesehatan, fasilitas kesehatan yang semakin banyak, hingga berubahnya bentuk penyakit ke arah degeneratif yang membutuhkan banyak biaya perobatan.”Selain itu pertumbuhan iuran juga tidak berbanding dengan usia masyarakat yang menua. Semakin menua seseorang, kebutuhan kesehatannya semakin besar, ” pungkasnya.

Sebelumnya, Divisi Investigasi Indonesian Corruption Watch (ICW) Febri Hendri mengatakan, hal yang paling krusial dari program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola BPJS Kesehatan tesebut adalah dalam hal pengelolaan klaim BPJS Kesehatan. Sebab, klaim yang dilakukan khususnya oleh rumah sakit sebut dia, tidak transparan, sehingga menimbulkan potensi untuk melakukan manipulasi.”Misalnya pasien tidak diberi obat dan pelayanan atau pasien tidak ada karena sudah dipulangkan, namun klaimnya justru masih tetap ditagih ke BPJS,” ucapnya.

Menurut Febri, praktik inilah yang harusnya bisa dibuka kepada publik (bukan rekam medik). Sehingga, tidak lagi menyalahkan penunggakan peserta sebagai satu-satunya penyebab dari defisit yang dialami BPJS Kesehatan.

“Justru kita khwatir defisit yang dialami BPJS Kesehatan malah berasal dari masalah klaim. Untuk itu, kami berharap tingkat klaim itu bisa dilakukan dengan cermat, bukan lagi verivikasi hanya dilakukan dengan sampling maupun menerima laporan klaim dari rumah sakit saja,” pungkasnya. (ain/ila)

 

Kantor BPJS Kesehatan Medan.

MEDAN, SUMUTPOS.CO -Setiap tahun, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, selalu menghadapi persoalan defisit. Kendati, sejumlah upaya untuk menanggulanginya telah dilakukan, namun angka defisit ini masih saja tetap terjadi.

Kepala BPJS Kesehatan Cabang Medan, Ari Dwi Aryani mengaku, salah satu hal yang dilakukan BPJS Kesehatan adalah dengan melakukan penagihan tunggakan kepada peserta. Meski ia menyebutkan, penagihan yang dilakukan itu tidak menjamin BPJS Kesehatan akan terhindar dari defisit.

“Bicara soal defisit, sejak sebelum BPJS dibentuk pun hal ini sebetulnya sudah diperkirakan. Makanya, seandainya seluruh tunggakan peserta bisa dilunasi, kekurangan dana manfaat BPJS pasti juga tetap bakal terjadi,” ungkapnya di Medan, Senin (11/9).

Dwi menjelaskan, kekurangan dana (defisit-red) BPJS Kesehatan sampai tercipta, dikarenakan iuran yang masuk lebih rendah dari manfaat yang terpakai. Karenanya, untuk menutupi, disebutnya pemerintah memakai dana talangan yang pada 2016 lalu mencapai Rp6,8 Triliun.

“Kemarin ada 3 opsi untuk mengatasinya, yakni mengurangi manfaat, naikkan iuran, dan dana talangan. Namun yang diterima pemerintah hanya memakai dana talangan, ” jelasnya.

Disinggung mengenai adanya indikasi kecurangan klaim BPJS Kesehatan oleh fasilitas kesehatan dalam melakukan klaim, Dwi menampiknya. Menurut dia, verivikasi klaim yang dilakukan oleh verivikator BPJS Kesehatan sudah sesuai prosedur yang telah ditetapkan.

Dwi melanjutkan, seandainya memang ada fasilitas kesehatan melakukan kecurangan dalam klaim pembayaran, BPJS Kesehatan, disebutnya pihaknya tidak segan-segan memberikan sanksi tegas, dengan melakukan pemutusan hubungan kerjasama dengan fasilitas kesehatan yang melakukannya jika terbukti benar.”Jadi bukan soal kecurangan klaim, ataupun tunggakan peserta yang menyebabkan defisit. Tapi memang karena iuran yang masuk lebih rendah dari manfaat yang dipakai,” terangnya.

Dwi menambahkan, saat ini kebutuhan akan biaya kesehatan memang semakin membesar. Misalnya, semakin banyaknya orang yang berobat setelah menggunakan BPJS Kesehatan, fasilitas kesehatan yang semakin banyak, hingga berubahnya bentuk penyakit ke arah degeneratif yang membutuhkan banyak biaya perobatan.”Selain itu pertumbuhan iuran juga tidak berbanding dengan usia masyarakat yang menua. Semakin menua seseorang, kebutuhan kesehatannya semakin besar, ” pungkasnya.

Sebelumnya, Divisi Investigasi Indonesian Corruption Watch (ICW) Febri Hendri mengatakan, hal yang paling krusial dari program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola BPJS Kesehatan tesebut adalah dalam hal pengelolaan klaim BPJS Kesehatan. Sebab, klaim yang dilakukan khususnya oleh rumah sakit sebut dia, tidak transparan, sehingga menimbulkan potensi untuk melakukan manipulasi.”Misalnya pasien tidak diberi obat dan pelayanan atau pasien tidak ada karena sudah dipulangkan, namun klaimnya justru masih tetap ditagih ke BPJS,” ucapnya.

Menurut Febri, praktik inilah yang harusnya bisa dibuka kepada publik (bukan rekam medik). Sehingga, tidak lagi menyalahkan penunggakan peserta sebagai satu-satunya penyebab dari defisit yang dialami BPJS Kesehatan.

“Justru kita khwatir defisit yang dialami BPJS Kesehatan malah berasal dari masalah klaim. Untuk itu, kami berharap tingkat klaim itu bisa dilakukan dengan cermat, bukan lagi verivikasi hanya dilakukan dengan sampling maupun menerima laporan klaim dari rumah sakit saja,” pungkasnya. (ain/ila)

 

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/