MEDAN, SUMUTPOS.CO – Belum ada kejelasan ganti rugi, warga yang bermukim di lahan pembangunan jalan tol Medan-Binjai Seksi 1 di Kelurahan Tanjungmulia, Medan Deli, akan memilih bertahan dan siap bertumpah darah. Hal ini disampaikan warga menjelang digelarnya sidang lapangan yang akan dilakukan Pengadilan Negeri (PN) Medan hari ini, Jumat (13/10).
Suasana tenang tenang masih terpancar di lokasi pemukiman areal pembangunan tol, dengan adanya masalah baru tentang gugat menggugat, membuat masyarakat gerah. Salah satunya, Sutri merasa risau dengan tidak selesainya ganti rugi yang telah dimediasi di kelurahan. Wanita berusia 42 tahun ini, mengharapkan ganti rugi yang belum ada titik temu dengan pihak pemilik 16 SHM, agar dapat ditempuh dengan pembagian secara berimbang.
“Kalau saya berharap dengan kesepakatan 50 persen pembagian saya terima. Tapi kalau itupun tidak juga ada jalan keluar, kita khawatir dengan adanya gugatan ini bisa-bisa masyarakat tidak dapat,” ungkap ibu anak dua ini.
Harapan ibu rumah tangga ini, pemerintah harus bijaksana dalam menyelesaikan masalah ganti rugi. Apabila masalah ganti rugi tidak juga dapat diselesaikan, akan menimbulkan masalah baru. “Yang jelas kalau tidak ada ganti rugi sesuai yang disepakati, kami masyarakat tetap ingin bertahan. Kami sudah bertahun-tahun tinggal di sini. Jadi, jangan sempat terjadi pertumpahan darah,” tegas Sutri.
Begitu juga dengan warga lainnya. Adi menilai, timbulnya 16 SHM dan gugatan merupakan rekayasa. Pasalnya, sebelum adanya ganti rugi proyek pembangunan tol, tidak ada yang muncul mengaku tanah di lahan yang mereka tempati. “Apapun ceritanya, kami tetap bertahan 70 persen hak kami. Yang jelas kami ingin pemerintah harus berpihak dengan rakyat. Ingat pesan Pak Jokowi, silahkan membangun, tapi jangan sakiti rakyat,” tegas Adi.
Harapan Adi, dengan adanya permasalahan baru tentang gugatan dari Sultan Deli, mereka tetap bertahan di tempat tinggal mereka dan tidak akan melepaskan tanah mereka sebelum ada kesepatakan secara bersama.
“Jangan buat masyarakat di sini marah. Silakan orang mengaku tempat tinggal kami adalah tanah mereka. Yang jelas hak kami jangan dikurangi, dan harus diberikan sesuai hak kami. Bisa jadi, nanti masyarakat akan ribut dan terjadi perumpahan darah,” ungkap Adi di hadapan masyarakat lain.