26.7 C
Medan
Sunday, May 5, 2024

Parmalim: Anak-anak Kami Sulit Dapat Kerja…

Foto: Repro/Pran Hasibuan/Sumut Pos
Parmalim, penganut agama bangsa Batak.

Menjadi kelompok minoritas dalam kehidupan bermasyarakat memang tak mudah. Banyak diskriminasi yang dirasakan dan terkadang merasa terkucilkan, baik itu di sekolah, dalam mencari pekerjaan bahkan saat ingin menikah.

————————————

PRAN HASIBUAN, Medan

————————————

DI Medan, ada penghayat kepercayaan bernama Ugamo Bangso Batak. Kelompok ini memiliki kantor di Jalan Binjai Km 7,5 Pasar II, Gang Karya, Kelurahan Cinta Damai, Medan Helvetia. Salah seorang Ketua Adat Ugamo Bangso Batak asal Medan, Arnol Purba, merupakan bagian yang ikut memperjuangkan agar kepercayaan ini mendapat legalitas dari pemerintah.

Usaha dan perjuangan selama 20-an tahun pun, tak sia-sia. Kini penghayat kepercayaan Ugamo Bangso Batak, sama seperti agama dan kepercayaan lain yang sebelumnya diakui pemerintah. Hal itu diketahui paska Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan mereka beberapa waktu lalu.

Berbicara kepada Sumut Pos, Arnol mengungkapkan, banyak sekali diskriminasi yang mereka rasakan dalam kehidupan dan sosial masyarakat. Antara lain, sulitnya mendapat pekerjaan lantaran tak tersedia kolom agama atau kepercayaan yang mereka anut.

“Diskriminasi lebih terasa saat anak-anak kami melamar pekerjaan, lalu tidak diterima. Sewaktu di-klik di situs online, tidak ada tercantum kolom agama/kepercayaan, di situ saja anak-anak kami sudah gugur,” katanya membuka cerita saat dihubungi, Minggu (12/11).

Selama ini kata dia, kolom agama/penghayat kepercayaan memang tak tertera alias kosong. Salah satunya pada kolom Kartu Tanda Penduduk (KTP). Hal ini pulalah yang membuat mereka merasa hak-hak seluruh anak bangsa belum disamaratakan.

“Ketika di Medan, anak pertama saya pernah coba melamar di bidang kesehatan, cuma tak lulus. Tapi ketika mencoba di Jakarta, dia justru masuk. Dia diterima di PT Faros milik pengusaha Singapura. Dan sekarang ini anak kita sudah bekerja di PLN Cabang Medan,” akunya bangga.

Sepenggal cerita diskrimasi terhadap kelompok minoritas seperti mereka, dalam hal mendapat pekerjaan diakuinya memang sangat sulit dan berat dihadapi. Tapi dengan kepercayaan kuat terhadap leluhur, dimana Tuhan tak pernah tidur membantu umatnya, Arnol selalu berserah diri saja.

“Sekarang ini anak saya sudah dua orang sarjana, satu sedang kuliah dan anak keempat duduk di kelas 3 SMA. Sedangkan istri saya orang Porsea, lahir di Belawan. Mertua saya keturunan Permalin. Saya awalnya Kristen juga. Tapi saya yakini leluhur itu pasti membantu saya, dan terbukti saya bisa menyekolahkan anak-anak,” ungkap pria kelahiran Humbahas ini.

Foto: Repro/Pran Hasibuan/Sumut Pos
Parmalim, penganut agama bangsa Batak.

Menjadi kelompok minoritas dalam kehidupan bermasyarakat memang tak mudah. Banyak diskriminasi yang dirasakan dan terkadang merasa terkucilkan, baik itu di sekolah, dalam mencari pekerjaan bahkan saat ingin menikah.

————————————

PRAN HASIBUAN, Medan

————————————

DI Medan, ada penghayat kepercayaan bernama Ugamo Bangso Batak. Kelompok ini memiliki kantor di Jalan Binjai Km 7,5 Pasar II, Gang Karya, Kelurahan Cinta Damai, Medan Helvetia. Salah seorang Ketua Adat Ugamo Bangso Batak asal Medan, Arnol Purba, merupakan bagian yang ikut memperjuangkan agar kepercayaan ini mendapat legalitas dari pemerintah.

Usaha dan perjuangan selama 20-an tahun pun, tak sia-sia. Kini penghayat kepercayaan Ugamo Bangso Batak, sama seperti agama dan kepercayaan lain yang sebelumnya diakui pemerintah. Hal itu diketahui paska Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan mereka beberapa waktu lalu.

Berbicara kepada Sumut Pos, Arnol mengungkapkan, banyak sekali diskriminasi yang mereka rasakan dalam kehidupan dan sosial masyarakat. Antara lain, sulitnya mendapat pekerjaan lantaran tak tersedia kolom agama atau kepercayaan yang mereka anut.

“Diskriminasi lebih terasa saat anak-anak kami melamar pekerjaan, lalu tidak diterima. Sewaktu di-klik di situs online, tidak ada tercantum kolom agama/kepercayaan, di situ saja anak-anak kami sudah gugur,” katanya membuka cerita saat dihubungi, Minggu (12/11).

Selama ini kata dia, kolom agama/penghayat kepercayaan memang tak tertera alias kosong. Salah satunya pada kolom Kartu Tanda Penduduk (KTP). Hal ini pulalah yang membuat mereka merasa hak-hak seluruh anak bangsa belum disamaratakan.

“Ketika di Medan, anak pertama saya pernah coba melamar di bidang kesehatan, cuma tak lulus. Tapi ketika mencoba di Jakarta, dia justru masuk. Dia diterima di PT Faros milik pengusaha Singapura. Dan sekarang ini anak kita sudah bekerja di PLN Cabang Medan,” akunya bangga.

Sepenggal cerita diskrimasi terhadap kelompok minoritas seperti mereka, dalam hal mendapat pekerjaan diakuinya memang sangat sulit dan berat dihadapi. Tapi dengan kepercayaan kuat terhadap leluhur, dimana Tuhan tak pernah tidur membantu umatnya, Arnol selalu berserah diri saja.

“Sekarang ini anak saya sudah dua orang sarjana, satu sedang kuliah dan anak keempat duduk di kelas 3 SMA. Sedangkan istri saya orang Porsea, lahir di Belawan. Mertua saya keturunan Permalin. Saya awalnya Kristen juga. Tapi saya yakini leluhur itu pasti membantu saya, dan terbukti saya bisa menyekolahkan anak-anak,” ungkap pria kelahiran Humbahas ini.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/