25.6 C
Medan
Thursday, May 16, 2024

Terkesan saat ‘Menggarap’ Korban Dukun AS

Raut wajah dokter Surjit Singh SpF, DFM (61) tampak santai, padahal ia bersama timnya baru saja melakukan pembedahan pada jenazah Saparu, warga Langkat yang diduga dianiaya, Minggu (12/5) kemarin. Berhadapan dengan mayat yang membusuk dan potongan tubuh manusia yang dimutilasi sudah menjadi rutinitasnya.

DITEMUI: Surjit Singh saat ditemui, kemarin.//PUPUT JULIANTI DAMANIK/SUMUT POS
DITEMUI: Surjit Singh saat ditemui, kemarin.//PUPUT JULIANTI DAMANIK/SUMUT POS

PUPUT JULIANTI DAMANIK, Medan

YANG dilakukan Surjit bukanlah pekerjaan yang ringan, bagi orang biasa, tindakan tersebut pastilah sangat berat dan bertentangan dengan hati nurani.
Ditambah lagi dengan perasaan dibayang-bayangi oleh mayat tersebut. Tidak heran kalau di setiap mengawali pekerjaannya, Surjit tampak tenang sembari sesekali mulutnya berkomat-kamit, membaca doa sebelum membedah tubuh manusia yang sudah tak bernyawa lagi.

Doa yang ia lakukan sesuai kepercayaannya, adalah satu kebiasaan yang ia lakukan untuk menghargai pasien yang akan dibedahnya. Juga untuk memohon agar proses yang ia lakukan dapat berjalan lancar dan tidak menjadi dosa.

“Yah tentunya saya selalu berdoa saat akan melakukan otopsi, kalau ajaran agama yah pasti ada pertentangannya, tapi karena ini demi penegakan hukum maka sudah seharusnya dilakukan,” katanya Surjit.

Pekerjaan yang ia tekuni ini berawal pada tahun 1993, ia memutuskan untuk mengambil spesialis sentra pendidikan forensik di USU, awalnya ia hanya ingin menjadi seorang dokter umum, sebelumnya ia juga pernah kuliah di Punjab University, India tahun 1985.

“Tidak pernah terpikirkan untuk menjadi seorang dokter forensik, saya hanya ingin menjadi dokter umum saja. Namun karena saat itu pelajaran tentang dunia forensik membuat saya penasaran, maka saya putuskan untuk mengambil spesialis sentra pendidikan forensik di USU. Apalagi saat ini Dokter Spesialis Forensik tak banyak seperti bidang lainya,” katanya.

Pilihannya ternyata berbuah hasil, setelah berhasil menamatkan kuliahnya, Surjit pun mengawali karirnya setelah ia diterima menjadi pegawai negeri tahun 1997 di Jakarta. Setelah diterima menjadi PNS, ia langsung ditempatkan di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. “Setiap PNS harus mau ditempatkan di mana saja, dan saya ditempatkan di Sanggau di Kalbar, kondisi daerah disana sangat minim fasilitas.

Saya di sana ditunjuk menjadi kepala puskesmas juga kepala sekolah swasta. Karena kebutuhan air tidak sesuai dengan yang tersedia, saya bersama istri, saat itu harus menggunakan air hujan untuk minum,” katanya.

Air hujan memang menjadi pilihan alternatif terbaik, karena di daerah yang terpencil tersebut tidak tersedia air bersih. “Desanya jauh harus naik pesawat ke Pontianak dulu, lalu naik bis dan naik perahu satu harian. Air bersih sangat minim disana,” katanya.

Meskipun begitu, Surjit tetap bertahan, ia merasa puas karena dapat membantu dan mengabdikan disiplin ilmu dalam kesehatan untuk masyarakat yang membutuhkan sampai ke daerah terpencil,” ujar ayah 3 orang anak ini.

Namun, akhirnya Tahun 1990, ia merasa sedikit lega karena ditugaskan menjadi Kepala Seksi Dinas Kesehatan Tingkat I di Pontianak dan akhirnya tahun 1992, ia juga diangkat menjadi Kepala Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Pontianak. “Petualangannya usai saat tahun 1993, setelah itu saya memilih untuk mengabdi di Medan dan memperdalam ilmu forensiknya.

“Sejak saat itu, saja terus berada di USU mengambil spesialis, dan setelah tamat baru diangkat jadi Kepala Instalasi Forensik di RSUD dr Pirngadi Medan pada tahun 2002 sampai saat ini,” kata Dosen Luar Biasa USU ini.

11 tahun lamanya menjadi Kepala Instalasi Kedokteran Forensik ia pun mengaku sudah banyak membantu petugas dalam pengidentifikasian jenazah di beberapa kejadian yang ada di Sumut bahkan sampai luar kota. Bahkan jumlahnya sudah tak terhitung. Surjit sudah hampir membedah dan memotong ribuan tubuh manusia yang sudah meninggal. Sungguh pekerjaan yang mengerikan.

Di antaranya kasus Dukun AS. Surjit mangaku mendapat jatah 3 jenazah dari 42 korban menakjubkan Dukun AS. “Salah satu kasus yang cukup berkesan adalah saat ikut membantu pengidentifikasian 3 mayat korban Dukun AS.

Apalagi kejadian itu juga merupakan berita nasional yang cukup fenomenal,” katanya kepada Sumut Pos diruang kerjanya.

Tidak hanya itu, ia juga ikut membantu mengidentifikasi jenazah-jenazah korban gempa di Padang, Sumbar, tahun 2009. Tak jarang hal ini membuat dia sebagai ahli forensik yang dikenal tegaan juga ikut iba dan mengeluarkan air mata.

“Yah, apalagi melihat anak-anak korban gempa itu, kadang sedih juga, terbayang juga,” katanya.

Saat ditanyai tentang rasa iba yang ia berikan, ia juga mengaku kalau awalnya mendalami ilmu forensik dan untuk pertama kalinya masuk ke ruang mayat, ia takut. “Saya dulunya saat menjadi co-asst, juga sering merasa takut, terbawa-bawa dan teringat sama mayat-mayat itu sampai di rumah. Tapi lama-lama saya sangat menyatu dengan dunia forensik ini,” katanya.

Uniknya, ia juga mengaku keberaniannya diperkuat dengan kebiasaan Surjit yang suka melihat film horor. “Saya penggemar crime scene investigation. Film yang mengungkap tentang kejahatan. Ini juga yang membuat saja semakin berani,” katanya.

Lanjutnya, sekarang ia sudah terbiasa bekerja dengan ditemani puluhan jenazah. Beberapa korban dalam kasus-kasus besar, di antaranya pesawat sukhoi yang jatuh di Gunung Salak, bentrok imigran Mynmar di Rudenim Belawan, Kecelakaan Pesawat Mandala dan beberapa kasus besar lainnya.

Lanjutnya, ia bahkan terus dipercaya untuk menjadi perwakilan Konfrensi Internasional Forensik dengan negara-negara Islam yang diadakan di Semarang. “Kemarin pesertanya ada dari Arab Saudi, Lebanon, Iran, Irak, Afganistan, Uni Arab dan negara islam lainnya. Disana kita diskusikan tentang ilmu forensik,” ujarnya Ketua Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI) Sumut ini.

Tambahnya, ia sudah sangat nyaman menjalani pekerjaan tersebut, terlebih pekerjaan forensik adalah pekerjaan yang luhur. “Saya sudah nyaman. Pekerjaan ini saya rasa sangat mulia, mengidentifikasi mayat. Kita juga membantu dalam penegakan hukum. Apalagi saat ini jumlah ahli forensik sangat kecil. Orang banyak tanya, apa ada hal gaib yang terjadi, tapi sampai saat ini tidak ada. Saya percaya saja dan selalu beribadah, sembayang,” katanya.

Bapak dari 3 orang anak yang juga mengambil pendidikan kedokteran ini, juga mengaku menjadi dokter forensik bukannya tak memiliki kendala.

Sederet masalah kerap dia temui. Satu diantaranya, ketidakpercayaan dari pihak keluarga.

“Kendala kita adalah izin dari keluarga, banyak keluarga yang menolak anggota keluarganya yang jadi korban itu diotopsi. Padahal inikan kepentingan penyidikan, tapi begitupun kita selalu memberi motivasi kepada keluarga tentang hal ini,” kata Surjit sembari menyatakan kepercayaan keluarga korban itu suatu perhargaan bagi pihaknya. (*)

Raut wajah dokter Surjit Singh SpF, DFM (61) tampak santai, padahal ia bersama timnya baru saja melakukan pembedahan pada jenazah Saparu, warga Langkat yang diduga dianiaya, Minggu (12/5) kemarin. Berhadapan dengan mayat yang membusuk dan potongan tubuh manusia yang dimutilasi sudah menjadi rutinitasnya.

DITEMUI: Surjit Singh saat ditemui, kemarin.//PUPUT JULIANTI DAMANIK/SUMUT POS
DITEMUI: Surjit Singh saat ditemui, kemarin.//PUPUT JULIANTI DAMANIK/SUMUT POS

PUPUT JULIANTI DAMANIK, Medan

YANG dilakukan Surjit bukanlah pekerjaan yang ringan, bagi orang biasa, tindakan tersebut pastilah sangat berat dan bertentangan dengan hati nurani.
Ditambah lagi dengan perasaan dibayang-bayangi oleh mayat tersebut. Tidak heran kalau di setiap mengawali pekerjaannya, Surjit tampak tenang sembari sesekali mulutnya berkomat-kamit, membaca doa sebelum membedah tubuh manusia yang sudah tak bernyawa lagi.

Doa yang ia lakukan sesuai kepercayaannya, adalah satu kebiasaan yang ia lakukan untuk menghargai pasien yang akan dibedahnya. Juga untuk memohon agar proses yang ia lakukan dapat berjalan lancar dan tidak menjadi dosa.

“Yah tentunya saya selalu berdoa saat akan melakukan otopsi, kalau ajaran agama yah pasti ada pertentangannya, tapi karena ini demi penegakan hukum maka sudah seharusnya dilakukan,” katanya Surjit.

Pekerjaan yang ia tekuni ini berawal pada tahun 1993, ia memutuskan untuk mengambil spesialis sentra pendidikan forensik di USU, awalnya ia hanya ingin menjadi seorang dokter umum, sebelumnya ia juga pernah kuliah di Punjab University, India tahun 1985.

“Tidak pernah terpikirkan untuk menjadi seorang dokter forensik, saya hanya ingin menjadi dokter umum saja. Namun karena saat itu pelajaran tentang dunia forensik membuat saya penasaran, maka saya putuskan untuk mengambil spesialis sentra pendidikan forensik di USU. Apalagi saat ini Dokter Spesialis Forensik tak banyak seperti bidang lainya,” katanya.

Pilihannya ternyata berbuah hasil, setelah berhasil menamatkan kuliahnya, Surjit pun mengawali karirnya setelah ia diterima menjadi pegawai negeri tahun 1997 di Jakarta. Setelah diterima menjadi PNS, ia langsung ditempatkan di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. “Setiap PNS harus mau ditempatkan di mana saja, dan saya ditempatkan di Sanggau di Kalbar, kondisi daerah disana sangat minim fasilitas.

Saya di sana ditunjuk menjadi kepala puskesmas juga kepala sekolah swasta. Karena kebutuhan air tidak sesuai dengan yang tersedia, saya bersama istri, saat itu harus menggunakan air hujan untuk minum,” katanya.

Air hujan memang menjadi pilihan alternatif terbaik, karena di daerah yang terpencil tersebut tidak tersedia air bersih. “Desanya jauh harus naik pesawat ke Pontianak dulu, lalu naik bis dan naik perahu satu harian. Air bersih sangat minim disana,” katanya.

Meskipun begitu, Surjit tetap bertahan, ia merasa puas karena dapat membantu dan mengabdikan disiplin ilmu dalam kesehatan untuk masyarakat yang membutuhkan sampai ke daerah terpencil,” ujar ayah 3 orang anak ini.

Namun, akhirnya Tahun 1990, ia merasa sedikit lega karena ditugaskan menjadi Kepala Seksi Dinas Kesehatan Tingkat I di Pontianak dan akhirnya tahun 1992, ia juga diangkat menjadi Kepala Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Pontianak. “Petualangannya usai saat tahun 1993, setelah itu saya memilih untuk mengabdi di Medan dan memperdalam ilmu forensiknya.

“Sejak saat itu, saja terus berada di USU mengambil spesialis, dan setelah tamat baru diangkat jadi Kepala Instalasi Forensik di RSUD dr Pirngadi Medan pada tahun 2002 sampai saat ini,” kata Dosen Luar Biasa USU ini.

11 tahun lamanya menjadi Kepala Instalasi Kedokteran Forensik ia pun mengaku sudah banyak membantu petugas dalam pengidentifikasian jenazah di beberapa kejadian yang ada di Sumut bahkan sampai luar kota. Bahkan jumlahnya sudah tak terhitung. Surjit sudah hampir membedah dan memotong ribuan tubuh manusia yang sudah meninggal. Sungguh pekerjaan yang mengerikan.

Di antaranya kasus Dukun AS. Surjit mangaku mendapat jatah 3 jenazah dari 42 korban menakjubkan Dukun AS. “Salah satu kasus yang cukup berkesan adalah saat ikut membantu pengidentifikasian 3 mayat korban Dukun AS.

Apalagi kejadian itu juga merupakan berita nasional yang cukup fenomenal,” katanya kepada Sumut Pos diruang kerjanya.

Tidak hanya itu, ia juga ikut membantu mengidentifikasi jenazah-jenazah korban gempa di Padang, Sumbar, tahun 2009. Tak jarang hal ini membuat dia sebagai ahli forensik yang dikenal tegaan juga ikut iba dan mengeluarkan air mata.

“Yah, apalagi melihat anak-anak korban gempa itu, kadang sedih juga, terbayang juga,” katanya.

Saat ditanyai tentang rasa iba yang ia berikan, ia juga mengaku kalau awalnya mendalami ilmu forensik dan untuk pertama kalinya masuk ke ruang mayat, ia takut. “Saya dulunya saat menjadi co-asst, juga sering merasa takut, terbawa-bawa dan teringat sama mayat-mayat itu sampai di rumah. Tapi lama-lama saya sangat menyatu dengan dunia forensik ini,” katanya.

Uniknya, ia juga mengaku keberaniannya diperkuat dengan kebiasaan Surjit yang suka melihat film horor. “Saya penggemar crime scene investigation. Film yang mengungkap tentang kejahatan. Ini juga yang membuat saja semakin berani,” katanya.

Lanjutnya, sekarang ia sudah terbiasa bekerja dengan ditemani puluhan jenazah. Beberapa korban dalam kasus-kasus besar, di antaranya pesawat sukhoi yang jatuh di Gunung Salak, bentrok imigran Mynmar di Rudenim Belawan, Kecelakaan Pesawat Mandala dan beberapa kasus besar lainnya.

Lanjutnya, ia bahkan terus dipercaya untuk menjadi perwakilan Konfrensi Internasional Forensik dengan negara-negara Islam yang diadakan di Semarang. “Kemarin pesertanya ada dari Arab Saudi, Lebanon, Iran, Irak, Afganistan, Uni Arab dan negara islam lainnya. Disana kita diskusikan tentang ilmu forensik,” ujarnya Ketua Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI) Sumut ini.

Tambahnya, ia sudah sangat nyaman menjalani pekerjaan tersebut, terlebih pekerjaan forensik adalah pekerjaan yang luhur. “Saya sudah nyaman. Pekerjaan ini saya rasa sangat mulia, mengidentifikasi mayat. Kita juga membantu dalam penegakan hukum. Apalagi saat ini jumlah ahli forensik sangat kecil. Orang banyak tanya, apa ada hal gaib yang terjadi, tapi sampai saat ini tidak ada. Saya percaya saja dan selalu beribadah, sembayang,” katanya.

Bapak dari 3 orang anak yang juga mengambil pendidikan kedokteran ini, juga mengaku menjadi dokter forensik bukannya tak memiliki kendala.

Sederet masalah kerap dia temui. Satu diantaranya, ketidakpercayaan dari pihak keluarga.

“Kendala kita adalah izin dari keluarga, banyak keluarga yang menolak anggota keluarganya yang jadi korban itu diotopsi. Padahal inikan kepentingan penyidikan, tapi begitupun kita selalu memberi motivasi kepada keluarga tentang hal ini,” kata Surjit sembari menyatakan kepercayaan keluarga korban itu suatu perhargaan bagi pihaknya. (*)

Previous article
Next article

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/