26.7 C
Medan
Tuesday, May 7, 2024

Kerap Dituding Buang Limbah Ternak Babi ke Danau Toba, PT Allegrindo Siap Angkat Kaki

ilustrasi

Manajemen PT Allegrindo Nusantara mengikuti rapat dengan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (LH) Provinsi Sumut, Binsar Situmorang terkait limbah ternak babi, di Kantor Dinas LH Sumut, Jalan Teuku Daud, Medan, Selasa (16/7). Pada rapat itu, pihak Allegrindo yang merupakan perusahaan ternak babi itu, menegaskan kesiapan mereka angkat kaki atau pindah dari lokasi perusahaan saat ini di pinggir Danau Toba, Kabupaten Simalungun.

“KAMI siap pindah dari pinggir Danau Toba asalkan pemerintah menyediakan lahan baru,” ujar General Manajer PT Allegrindo Nusantara, Budi Simbolon didampingi Abu Kasim, pada rapat yang dipimpin Kadis LH Sumut Binsar Situmorang itu.

Namun begitu, Budi Simbolon menampik alasan mau pindah karena telah mencemari perairan Danau Toba. Menurutnya, perusahaan yang menempati lahan seluas 46,38 ha di Desa Urung Pane, Kecamatan Purba, Simalungun itu, jauh dari pinggir Danau Toba.

Kata Simbolon, pihaknya mau pindah semata-mata untuk upaya bersama menjaga kualitas dan mutu perairan Danau Toba. “Kami meminta dukungan penuh kepada pemerintah untuk memperhatikan PT Allegrindo Nusantara yang kerap dituding membuang limbah ternak babi ke Danau Toba, walaupun sebenarnya usaha kami ini masih jauh dari pinggiran Danau Toba,” sebutnya.

Sebenarnya lagi, kata Simbolon, PT Allegrindo Nusantara berada dalam kondisi terpuruk dan menjadi sorotan pemerintah karena kondisi sebagian lahan ternaknya diketahui berada di lokasi hutan register 44.

Disebutkannya, Allegrindo Nusantara mempunyai kapasitas produksi ternak 50.000 ekor per tahun. Produksi itu diklaim telah memenuhi standar tentang tata pengelolaan sesuai peraturan pemerintah, termasuk pengelolaan limbah cair mempunyai izin lengkap dengan Nomor 188.45/1355/Sekrt-2016.

tanggal 30 Desember 2016. Bahkan atas izin limbah B3, pihaknya memegang izin dengan Nomor 188.45/1289/Sekrt-2016 tanggal 15 Desember 2016.

Dari semua persyaratan yang ditujukan ke Allegrindo, termasuk membangun IPAL dan Amdal sudah memenuhi standar, termasuk penggunaan air minum ternak sebanyak 200 m3 yang tentunya meliputi pembersihan ternak (mandi), kandang dan peralatan utilitas sebanyak 300 m3.

Dengan mengantongi semua perizinan tersebut, kata dia, Allegrindo yang sebelum di-take over tahun 1995, sepenuhnya adalah milik Pemkab Simalungun pada tahun 1982 oleh Dinas Pertanian dan Peternakan.

“Terkait persoalan limbah dan bau yang disebarkan dari aroma limbah ternak babi, kami sudah melakukan penanaman 150 batang pohon, seperti serai, kayu putih dan mahoni di sekitar Desa Urung Pane untuk menghilangkan bau tak sedap,” paparnya.

Sebelumnya, kata dia, tahun 2001-2002, Pemkab Dairi pernah menawarkan kepada Allegrindo agar pindah ke daerahnya. Tapi relokasi ini tak kunjung juga final, makanya Allegrindo tetap bertahan di Simalungun.

Menyinggung keberadaan sebagian lahan Allegrindo berada di kawasan hutan register 44, Budi mengatakan, pihaknya sudah mendatangi dan berkonsultasi kepada Kementerian Kehutanan, Dinas Kehutanan Sumut dan Kabupaten Simalungun. Bahkan proses konsultasi ini sudah berlangsung empat tahun dan belum ada kata kesepakatan, seperti untuk membebaskan lahan register 44 di lokasi peternakan Allegrindo.

“Memang SK Menhut No 44 tahun 2004 tentang perencanaan hutan itu baru diketahui lima tahun terakhir ini. Kalau konsultasi ini tak membuahkan hasil, maka izin PT Allegrindo yang akan berakhir 2024 itu, tentu akan menimbulkan 1.000 pengangguran baru di Simalungun ,” ujarnya, seraya meminta dukungan kepada pemerintah untuk bisa jembatani persoalan ini dengan Kemeterian Kehutanan.

Menanggapi PT Allerindo, Kadis LH Sumut, Binsar Situmorang, mengatakan seyogianya pihak PT Allegrindo Nusantara mematuhi aturan yang sudah ditetapkan pemerintah pusat dan Pemprov Sumut. Termasuk persoalan limbah yang selama ini menjadi dilema di Simalungun dan kawasan Danau Toba sekitarnya.

“Kami sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat, seharusnya PT Allegrindo mematuhi aturan main yang sudah ditetapkan pemerintah. Hal ini dilakukan untuk mendukung agar Danau Toba yang diprogramkan menjadi salah satu distinasi dunia itu bisa berjalan dengan baik,” kata Binsar.

Dia juga menguatkan, bahwa program pemerintah sekarang ini akan membangun jalan lingkar di kawasan Danau Toba. Artinya dengan kawasan bebas sampah dan lingkungan yang bersih, maka PT Allegrindo bisa mencari atau merolaksi lahan di mana tak menimbulkan bau dari usaha mereka.

Jika selama ini pihak PT Allegrindo sudah melakukan studi banding ke luar negeri, kata Binsar, maka mungkin ada kiat-kiat untuk menghilangkan aroma atau limbah B3 yang dihasilkan oleh peternakan.

“Pada prinsipnya kita mendukung PT Allegrindo untuk mengembangkan usahanya, akan tetapi aturan pemerintah juga harus dipenuhi. Bahkan persoalan register 44, kita bisa konsultasi kepada pihak kementerian kehutanan dan tentunya hal ini akan disampaikan kepada Gubernur dan Wakil Gubernur Sumut nanti,” ujar Binsar. (mbc)

ilustrasi

Manajemen PT Allegrindo Nusantara mengikuti rapat dengan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (LH) Provinsi Sumut, Binsar Situmorang terkait limbah ternak babi, di Kantor Dinas LH Sumut, Jalan Teuku Daud, Medan, Selasa (16/7). Pada rapat itu, pihak Allegrindo yang merupakan perusahaan ternak babi itu, menegaskan kesiapan mereka angkat kaki atau pindah dari lokasi perusahaan saat ini di pinggir Danau Toba, Kabupaten Simalungun.

“KAMI siap pindah dari pinggir Danau Toba asalkan pemerintah menyediakan lahan baru,” ujar General Manajer PT Allegrindo Nusantara, Budi Simbolon didampingi Abu Kasim, pada rapat yang dipimpin Kadis LH Sumut Binsar Situmorang itu.

Namun begitu, Budi Simbolon menampik alasan mau pindah karena telah mencemari perairan Danau Toba. Menurutnya, perusahaan yang menempati lahan seluas 46,38 ha di Desa Urung Pane, Kecamatan Purba, Simalungun itu, jauh dari pinggir Danau Toba.

Kata Simbolon, pihaknya mau pindah semata-mata untuk upaya bersama menjaga kualitas dan mutu perairan Danau Toba. “Kami meminta dukungan penuh kepada pemerintah untuk memperhatikan PT Allegrindo Nusantara yang kerap dituding membuang limbah ternak babi ke Danau Toba, walaupun sebenarnya usaha kami ini masih jauh dari pinggiran Danau Toba,” sebutnya.

Sebenarnya lagi, kata Simbolon, PT Allegrindo Nusantara berada dalam kondisi terpuruk dan menjadi sorotan pemerintah karena kondisi sebagian lahan ternaknya diketahui berada di lokasi hutan register 44.

Disebutkannya, Allegrindo Nusantara mempunyai kapasitas produksi ternak 50.000 ekor per tahun. Produksi itu diklaim telah memenuhi standar tentang tata pengelolaan sesuai peraturan pemerintah, termasuk pengelolaan limbah cair mempunyai izin lengkap dengan Nomor 188.45/1355/Sekrt-2016.

tanggal 30 Desember 2016. Bahkan atas izin limbah B3, pihaknya memegang izin dengan Nomor 188.45/1289/Sekrt-2016 tanggal 15 Desember 2016.

Dari semua persyaratan yang ditujukan ke Allegrindo, termasuk membangun IPAL dan Amdal sudah memenuhi standar, termasuk penggunaan air minum ternak sebanyak 200 m3 yang tentunya meliputi pembersihan ternak (mandi), kandang dan peralatan utilitas sebanyak 300 m3.

Dengan mengantongi semua perizinan tersebut, kata dia, Allegrindo yang sebelum di-take over tahun 1995, sepenuhnya adalah milik Pemkab Simalungun pada tahun 1982 oleh Dinas Pertanian dan Peternakan.

“Terkait persoalan limbah dan bau yang disebarkan dari aroma limbah ternak babi, kami sudah melakukan penanaman 150 batang pohon, seperti serai, kayu putih dan mahoni di sekitar Desa Urung Pane untuk menghilangkan bau tak sedap,” paparnya.

Sebelumnya, kata dia, tahun 2001-2002, Pemkab Dairi pernah menawarkan kepada Allegrindo agar pindah ke daerahnya. Tapi relokasi ini tak kunjung juga final, makanya Allegrindo tetap bertahan di Simalungun.

Menyinggung keberadaan sebagian lahan Allegrindo berada di kawasan hutan register 44, Budi mengatakan, pihaknya sudah mendatangi dan berkonsultasi kepada Kementerian Kehutanan, Dinas Kehutanan Sumut dan Kabupaten Simalungun. Bahkan proses konsultasi ini sudah berlangsung empat tahun dan belum ada kata kesepakatan, seperti untuk membebaskan lahan register 44 di lokasi peternakan Allegrindo.

“Memang SK Menhut No 44 tahun 2004 tentang perencanaan hutan itu baru diketahui lima tahun terakhir ini. Kalau konsultasi ini tak membuahkan hasil, maka izin PT Allegrindo yang akan berakhir 2024 itu, tentu akan menimbulkan 1.000 pengangguran baru di Simalungun ,” ujarnya, seraya meminta dukungan kepada pemerintah untuk bisa jembatani persoalan ini dengan Kemeterian Kehutanan.

Menanggapi PT Allerindo, Kadis LH Sumut, Binsar Situmorang, mengatakan seyogianya pihak PT Allegrindo Nusantara mematuhi aturan yang sudah ditetapkan pemerintah pusat dan Pemprov Sumut. Termasuk persoalan limbah yang selama ini menjadi dilema di Simalungun dan kawasan Danau Toba sekitarnya.

“Kami sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat, seharusnya PT Allegrindo mematuhi aturan main yang sudah ditetapkan pemerintah. Hal ini dilakukan untuk mendukung agar Danau Toba yang diprogramkan menjadi salah satu distinasi dunia itu bisa berjalan dengan baik,” kata Binsar.

Dia juga menguatkan, bahwa program pemerintah sekarang ini akan membangun jalan lingkar di kawasan Danau Toba. Artinya dengan kawasan bebas sampah dan lingkungan yang bersih, maka PT Allegrindo bisa mencari atau merolaksi lahan di mana tak menimbulkan bau dari usaha mereka.

Jika selama ini pihak PT Allegrindo sudah melakukan studi banding ke luar negeri, kata Binsar, maka mungkin ada kiat-kiat untuk menghilangkan aroma atau limbah B3 yang dihasilkan oleh peternakan.

“Pada prinsipnya kita mendukung PT Allegrindo untuk mengembangkan usahanya, akan tetapi aturan pemerintah juga harus dipenuhi. Bahkan persoalan register 44, kita bisa konsultasi kepada pihak kementerian kehutanan dan tentunya hal ini akan disampaikan kepada Gubernur dan Wakil Gubernur Sumut nanti,” ujar Binsar. (mbc)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/