26.8 C
Medan
Tuesday, May 21, 2024

Averroes, Ilmuwan Muslim di Balik Kebangkitan Eropa

Mulai 25 Februari hingga 16 Maret lalu penulis buku tasawuf modern AGUS MUSTOFA memimpin jamaahnya berumrah di Tanah Suci Makkah. Pulangnya, bersama sebagian jamaah, dia menapaktilasi sejarah Islam di Spanyol dan Prancis.

TOKOH BESAR: Agus Mustofa saat berada di Kompleks Mezquita-Cathedral de Cordoba yang berinterior gotik, Spanyol.
TOKOH BESAR: Agus Mustofa saat berada di Kompleks Mezquita-Cathedral de Cordoba yang berinterior gotik, Spanyol.

Kamis malam (6/3) rombongan umrah saya berpisah di Bandara Jeddah, Arab Saudi. Lebih dari 70 jamaah pulang ke Indonesia dengan menggunakan pesawat Saudi Arabian Airlines, sedangkan belasan lainnya melanjutkan perjalanan bersama saya ke Eropa dengan menumpang Emirates.

Setiap tahun saya selalu membawa rombongan umrah yang sebagian di antara mereka melanjutkan perjalanan dengan menapaktilasi sejarah Islam. Kadang ke Mesir, di waktu lain ke Jerusalem, tahun kemarin ke Turki, dan sekarang ke Spanyol. Kawasan Andalusia di Spanyol adalah ‘jejak besar’ dalam sejarah peradaban Islam, sinarnya berpendar selama lebih dari 700 tahun, mulai 756 M-1492 M.

Pada zaman itu kawasan Andalusia — sekarang menjadi salah satu provinsi di Kerajaan Spanyol — mengalami kemajuan yang luar biasa di bidang ekonomi, sains, teknologi, dan budaya yang kelak menjadi cikal bakal bangkitnya Eropa. Pusat peradabannya berada di Cordoba, kota tua yang sangat indah dan megah dari sisi arsitektur. Di situlah kita bisa menyaksikan sebuah masjid megah yang kemudian berubah menjadi gereja setelah Cordoba takluk di tangan Kerajaan Spanyol pada abad ke-13.

Jatuhnya Cordoba menjadi pemicu runtuhnya daerah-daerah lain di kawasan Andalusia. Di antaranya, Seville yang runtuh pada 1248 dan Granada pada 1492. Sejak itu umat Islam di kawasan Andalusia ‘dibersihkan’ penguasa Spanyol sehingga peradaban Islam yang bersinar selama ratusan tahun pun meredup. Kini komunitas muslim di sana tinggal sekitar 2 persen dari populasi alias tidak sampai 1 juta orang.

Masjid Cordoba adalah salah satu saksi sejarah zaman keemasan Islam di Andalusia sekaligus sebagai saksi sejarah runtuhnya kekhalifahan Islam oleh Kerajaan Spanyol. Masjid yang didirikan pada 784 M di zaman Khalifah Abdul Rahman I itu terus mengalami pengembangan pada zaman-zaman khalifah sesudahnya sehingga mencapai luas total hampir 2,5 hektare.

Memasuki bangunan bergaya Damaskus, Timur Tengah, saya bisa merasakan kemegahannya. Masjid yang kini terkenal dengan nama Mezquita-Cathedral de Cordoba itu memiliki menara besar setinggi puluhan meter dan bangunan utamanya disokong ratusan pilar yang terbuat dari bebatuan marmer putih. Finishing-nya yang halus memendarkan cahaya yang menerobos dari kubah-kubah di atasnya sehingga ruangan di dalam masjid menjadi cukup terang meskipun tanpa nyala lampu. Desain kubah-kubahnya dibuat sedemikian rupa sehingga bisa memantulkan dan memperkeras suara orang yang berkhutbah di bawahnya tanpa menggunakan pengeras suara. Sebuah desain yang sangat cerdik di zamannya.

Memasuki tengah masjid, saya merasakan suasana yang sudah sangat berubah. Penguasa Spanyol telah mengubah kawasan tengah itu menjadi gereja dengan merobohkan puluhan pilar masjid dan menggantinya dengan ruang bergaya campuran gotik dan renaisans yang sangat mewah. Patung-patung bertebaran di seantero ruangan. Warna-warna keemasan berpendar di ruang misa utama yang bisa menampung ratusan jemaat dan ribuan lainnya di bagian tengah bangunan.

Di sekitarnya terdapat ruang-ruang yang menjadi semacam museum yang menyimpan patung-patung tokoh Katolik, kitab-kitab sejarah perjalanan agama Katolik di Spanyol, dan berbagai atribut lainnya. Semua didesain sangat mewah. Sementara itu, ruang di sekitarnya masih disisakan untuk warisan Islam berupa kaligrafi bertulisan syahadat dan ayat-ayat Alquran.

Keluar dari Mezquita, saya berusaha mencari jejak ilmuwan yang sangat terkenal di zaman keemasan Islam, yakni Averroes. Nama aslinya dalam bahasa Arab adalah Ibnu Rusyd. Dia seorang filsuf sekaligus ilmuwan yang sangat berpengaruh pada zaman itu. Puluhan karyanya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Eropa serta menjadi buku-buku referensi bagi ilmuwan-ilmuwan di zaman kebangkitan Eropa modern. Patungnya berada di luar benteng Mezquita.

Averroes (Ibnu Rusyd) lahir di Cordoba pada 1126 dan meninggal di Maroko pada 1198 dalam usia 72 tahun. Sebagai polymath yang menguasai banyak bidang keilmuan, Ibnu Rusyd menghasilkan puluhan karya di bidang matematika, fisika, geografi, kedokteran, psikologi, astronomi, filsafat, politik, bahkan seni musik. Puluhan bukunya yang menghiasi berbagai perpustakaan Eropa setara dengan 20.000 halaman. Itu jauh di atas karya-karya yang telah saya tulis selama sepuluh tahun terakhir, yakni 48 judul buku yang setara dengan sekitar 12.000 halaman.

Sejumlah karya Ibnu Rusyd yang fenomenal adalah ensiklopedi kedokteran berjudul Kulliyat yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin menjadi Colliget. Juga, tulisan kritisnya terhadap karya Avicenna (Ibnu Sina) Canon of Medicine (Qanun fit-Tibb) sebagai pakar kedokteran pendahulunya.

Di bidang fisika, Ibnu Rusyd mengajukan konsep-konsep kinetika jauh sebelum Isaac Newton lahir (1642-1727 M). Tiga serial bukunya yang telah diterjemahkan dengan judul Short Commentary on the Physics, Middle Commentary on the Physics, dan Long Commentary on the Physics memberikan rumusan gaya terkait dengan massa sebagaimana yang diajukan Newton dengan hukum mekanikanya beberapa ratus tahun kemudian. Ibnu Rusyd adalah fisikawan pertama yang mengajukan konsep inersia dalam kinetika.

Dalam ilmu astronomi, Ibnu Rusyd sudah berpikir tentang perputaran benda-benda langit yang berbentuk bola dan saling berputar di dalam orbit. Dia juga memberikan penjelasan ilmiah tentang fenomena bintik matahari dan warna buram dari permukaan bulan sebagai satelit bumi. Itu jauh sebelum Galileo Galilei (1564-1642 M) yang dianggap sebagai Bapak Astronomi oleh dunia Barat.

Di bidang filsafat, Ibnu Rusyd mengkritisi Al Ghazali (Algazel, 1058-1111 M) lewat karya fenomenalnya, The Incoherence of the Incoherence (Tahafut At Tahafut). Karya Al Ghazali yang dikiritisinya adalah Incoherence of the Philosophers (Tahafut Al Falasifa) yang juga merupakan karya puncak pada zamannya.

Oleh sebagian umat Islam, Ibnu Rusyd dianggap sebagai ulama yang berpikiran sekuler dalam hal pemahaman keislaman. Dia menggunakan pendekatan logika dan rasionalitas yang kelak menjadi dasar bagi berkembangnya sains dan teknologi modern. Itu berbeda dengan Al Ghazali yang lebih bertumpu pada filsafat dan akhlak yang menjurus pada sufisme dan mistisisme. Pemikiran sufistik Al Ghazali itu, antara lain, terlihat dari karyanya yang sangat terkenal di Indonesia, yakni kitab Ihya” “Ulumiddin.

Sebagai ulama berkaliber dunia di zaman keemasan Islam, Ibnu Rusyd dan Al Ghazali memiliki visi yang jauh ke depan sehingga pemikiran-pemikirannya berpengaruh sampai ke abad-abad selanjutnya. Bedanya, Al Ghazali adalah filsuf yang memengaruhi pola pikir peradaban Islam di negara-negara Timur “termasuk Indonesia” ke arah sufisme dan mistisisme, sedangkan Ibnu Rusyd adalah ‘bulan sabit’ yang terbit di Barat yang memicu kebangkitan Eropa dengan kemajuan sains dan teknologi yang menguasai dunia modern dewasa ini. (bersambung/c10/ari)

Mulai 25 Februari hingga 16 Maret lalu penulis buku tasawuf modern AGUS MUSTOFA memimpin jamaahnya berumrah di Tanah Suci Makkah. Pulangnya, bersama sebagian jamaah, dia menapaktilasi sejarah Islam di Spanyol dan Prancis.

TOKOH BESAR: Agus Mustofa saat berada di Kompleks Mezquita-Cathedral de Cordoba yang berinterior gotik, Spanyol.
TOKOH BESAR: Agus Mustofa saat berada di Kompleks Mezquita-Cathedral de Cordoba yang berinterior gotik, Spanyol.

Kamis malam (6/3) rombongan umrah saya berpisah di Bandara Jeddah, Arab Saudi. Lebih dari 70 jamaah pulang ke Indonesia dengan menggunakan pesawat Saudi Arabian Airlines, sedangkan belasan lainnya melanjutkan perjalanan bersama saya ke Eropa dengan menumpang Emirates.

Setiap tahun saya selalu membawa rombongan umrah yang sebagian di antara mereka melanjutkan perjalanan dengan menapaktilasi sejarah Islam. Kadang ke Mesir, di waktu lain ke Jerusalem, tahun kemarin ke Turki, dan sekarang ke Spanyol. Kawasan Andalusia di Spanyol adalah ‘jejak besar’ dalam sejarah peradaban Islam, sinarnya berpendar selama lebih dari 700 tahun, mulai 756 M-1492 M.

Pada zaman itu kawasan Andalusia — sekarang menjadi salah satu provinsi di Kerajaan Spanyol — mengalami kemajuan yang luar biasa di bidang ekonomi, sains, teknologi, dan budaya yang kelak menjadi cikal bakal bangkitnya Eropa. Pusat peradabannya berada di Cordoba, kota tua yang sangat indah dan megah dari sisi arsitektur. Di situlah kita bisa menyaksikan sebuah masjid megah yang kemudian berubah menjadi gereja setelah Cordoba takluk di tangan Kerajaan Spanyol pada abad ke-13.

Jatuhnya Cordoba menjadi pemicu runtuhnya daerah-daerah lain di kawasan Andalusia. Di antaranya, Seville yang runtuh pada 1248 dan Granada pada 1492. Sejak itu umat Islam di kawasan Andalusia ‘dibersihkan’ penguasa Spanyol sehingga peradaban Islam yang bersinar selama ratusan tahun pun meredup. Kini komunitas muslim di sana tinggal sekitar 2 persen dari populasi alias tidak sampai 1 juta orang.

Masjid Cordoba adalah salah satu saksi sejarah zaman keemasan Islam di Andalusia sekaligus sebagai saksi sejarah runtuhnya kekhalifahan Islam oleh Kerajaan Spanyol. Masjid yang didirikan pada 784 M di zaman Khalifah Abdul Rahman I itu terus mengalami pengembangan pada zaman-zaman khalifah sesudahnya sehingga mencapai luas total hampir 2,5 hektare.

Memasuki bangunan bergaya Damaskus, Timur Tengah, saya bisa merasakan kemegahannya. Masjid yang kini terkenal dengan nama Mezquita-Cathedral de Cordoba itu memiliki menara besar setinggi puluhan meter dan bangunan utamanya disokong ratusan pilar yang terbuat dari bebatuan marmer putih. Finishing-nya yang halus memendarkan cahaya yang menerobos dari kubah-kubah di atasnya sehingga ruangan di dalam masjid menjadi cukup terang meskipun tanpa nyala lampu. Desain kubah-kubahnya dibuat sedemikian rupa sehingga bisa memantulkan dan memperkeras suara orang yang berkhutbah di bawahnya tanpa menggunakan pengeras suara. Sebuah desain yang sangat cerdik di zamannya.

Memasuki tengah masjid, saya merasakan suasana yang sudah sangat berubah. Penguasa Spanyol telah mengubah kawasan tengah itu menjadi gereja dengan merobohkan puluhan pilar masjid dan menggantinya dengan ruang bergaya campuran gotik dan renaisans yang sangat mewah. Patung-patung bertebaran di seantero ruangan. Warna-warna keemasan berpendar di ruang misa utama yang bisa menampung ratusan jemaat dan ribuan lainnya di bagian tengah bangunan.

Di sekitarnya terdapat ruang-ruang yang menjadi semacam museum yang menyimpan patung-patung tokoh Katolik, kitab-kitab sejarah perjalanan agama Katolik di Spanyol, dan berbagai atribut lainnya. Semua didesain sangat mewah. Sementara itu, ruang di sekitarnya masih disisakan untuk warisan Islam berupa kaligrafi bertulisan syahadat dan ayat-ayat Alquran.

Keluar dari Mezquita, saya berusaha mencari jejak ilmuwan yang sangat terkenal di zaman keemasan Islam, yakni Averroes. Nama aslinya dalam bahasa Arab adalah Ibnu Rusyd. Dia seorang filsuf sekaligus ilmuwan yang sangat berpengaruh pada zaman itu. Puluhan karyanya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Eropa serta menjadi buku-buku referensi bagi ilmuwan-ilmuwan di zaman kebangkitan Eropa modern. Patungnya berada di luar benteng Mezquita.

Averroes (Ibnu Rusyd) lahir di Cordoba pada 1126 dan meninggal di Maroko pada 1198 dalam usia 72 tahun. Sebagai polymath yang menguasai banyak bidang keilmuan, Ibnu Rusyd menghasilkan puluhan karya di bidang matematika, fisika, geografi, kedokteran, psikologi, astronomi, filsafat, politik, bahkan seni musik. Puluhan bukunya yang menghiasi berbagai perpustakaan Eropa setara dengan 20.000 halaman. Itu jauh di atas karya-karya yang telah saya tulis selama sepuluh tahun terakhir, yakni 48 judul buku yang setara dengan sekitar 12.000 halaman.

Sejumlah karya Ibnu Rusyd yang fenomenal adalah ensiklopedi kedokteran berjudul Kulliyat yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin menjadi Colliget. Juga, tulisan kritisnya terhadap karya Avicenna (Ibnu Sina) Canon of Medicine (Qanun fit-Tibb) sebagai pakar kedokteran pendahulunya.

Di bidang fisika, Ibnu Rusyd mengajukan konsep-konsep kinetika jauh sebelum Isaac Newton lahir (1642-1727 M). Tiga serial bukunya yang telah diterjemahkan dengan judul Short Commentary on the Physics, Middle Commentary on the Physics, dan Long Commentary on the Physics memberikan rumusan gaya terkait dengan massa sebagaimana yang diajukan Newton dengan hukum mekanikanya beberapa ratus tahun kemudian. Ibnu Rusyd adalah fisikawan pertama yang mengajukan konsep inersia dalam kinetika.

Dalam ilmu astronomi, Ibnu Rusyd sudah berpikir tentang perputaran benda-benda langit yang berbentuk bola dan saling berputar di dalam orbit. Dia juga memberikan penjelasan ilmiah tentang fenomena bintik matahari dan warna buram dari permukaan bulan sebagai satelit bumi. Itu jauh sebelum Galileo Galilei (1564-1642 M) yang dianggap sebagai Bapak Astronomi oleh dunia Barat.

Di bidang filsafat, Ibnu Rusyd mengkritisi Al Ghazali (Algazel, 1058-1111 M) lewat karya fenomenalnya, The Incoherence of the Incoherence (Tahafut At Tahafut). Karya Al Ghazali yang dikiritisinya adalah Incoherence of the Philosophers (Tahafut Al Falasifa) yang juga merupakan karya puncak pada zamannya.

Oleh sebagian umat Islam, Ibnu Rusyd dianggap sebagai ulama yang berpikiran sekuler dalam hal pemahaman keislaman. Dia menggunakan pendekatan logika dan rasionalitas yang kelak menjadi dasar bagi berkembangnya sains dan teknologi modern. Itu berbeda dengan Al Ghazali yang lebih bertumpu pada filsafat dan akhlak yang menjurus pada sufisme dan mistisisme. Pemikiran sufistik Al Ghazali itu, antara lain, terlihat dari karyanya yang sangat terkenal di Indonesia, yakni kitab Ihya” “Ulumiddin.

Sebagai ulama berkaliber dunia di zaman keemasan Islam, Ibnu Rusyd dan Al Ghazali memiliki visi yang jauh ke depan sehingga pemikiran-pemikirannya berpengaruh sampai ke abad-abad selanjutnya. Bedanya, Al Ghazali adalah filsuf yang memengaruhi pola pikir peradaban Islam di negara-negara Timur “termasuk Indonesia” ke arah sufisme dan mistisisme, sedangkan Ibnu Rusyd adalah ‘bulan sabit’ yang terbit di Barat yang memicu kebangkitan Eropa dengan kemajuan sains dan teknologi yang menguasai dunia modern dewasa ini. (bersambung/c10/ari)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/