25.6 C
Medan
Thursday, May 9, 2024

Peranan Perempuan dalam Dominasi Patriarkhi

Untuk apa perempuan menggelar rapat dan bertemu? Apa yang ingin dibahas dalam pertemuan itu? Pastilah mereka akan menceritakan aib suaminya, bercicit tentang gosip-gosip hangat artis idola, membahas peralatan make-up terkini, atau memamerkan model baju terbaru.

Farida Noris Ritonga, Medan

Tak jarang komentar miring seperti itu kerap kali terdengar di telinga. Seperti alunan melodi pada sebuah lagu, sering mereka rewind alias diputar ulang. Juga adanya anggapan pemerintah dan masyarakat, mengenai stereotipe kegiatan perempuan dan organisasi perempuan yang bersifat sosial dan hobi.
Organisasi perempuan dianggap tidak politis. Fakta, bahwa masih banyak pandangan sinis dan meragukan terhadap kemampuan perempuan, terutama pernyataan tersebut lahir dari laki-laki, dimana mereka merupakan makluk dominan di sebagian negara yang menganut paham pathriarkhi. Lemah, plin-plan, terlalu berperasaan dan penakut.

Entah darimana asal mula suara-suara sumbang tersebut, yang jelas sangat tidak mengenakkan ketika mendengarnya. Ditambah pula anekdot yang mengemuka perempuan hanya pantas berada di tiga tempat yaitu, sumur, dapur, dan kasur. Sisanya, biar lelaki yang menyelesaikannya. Anekdot primitif yang tak jelas sumbernya ini hampir selalu diagung-agungkan di lingkungan masyarakat. Hanya segelintir yang dengan vokal menyangkal, sisanya melawan dalam hati seraya berharap ada dewi penolong seperti RA Kartini reinkarnasi untuk berorasi.

Memang tak dipungkiri, dewasa ini kaum perempuan Indonesia boleh dibilang sudah banyak kemajuan dalam berbagai hal. Tak hanya turut serta dalam kontes ratu-ratuan atau miss-miss-an, namun kiprah perempuan Indonesia sudah menggejala. Mereka terlibat langsung pada pembangunan bangsa di berbagai bidang seperti dunia politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, hukum, militer dan lain sebagainya.

Perlu diingat, perjuangan mengangkat harkat derajat perempuan bukanlah proses singkat. Namun merupakan proses perjuangan yang panjang dan berliku. Diawali satu figur, berganti dengan figur berikutnya, dengan misi yang sama, bahwa perempuan tak hanya berdiri di belakang panggung, akan tetapi setara dengan laki-laki, berdiri di barisan depan memimpin.

Sejarah mencatat, bahwa telah hadir suatu perkumpulan yaitu gerakan Perempuan Indonesia yang mencoba menggenjot lahirnya perempuan-perempuan kritis dan berani. Perempuan aktif dalam kegiatan organisasi pemuda organisasi berlatar belakang kedaerahan seperti Jong Java, Jong Sumatra atau Jong Ambon.

Perempuan Indonesia juga aktivis pergerakan nasional, meski nama dan kerjanya tidak dicatat sejarah. Faktanya perempuan ikut mendeklarasikan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Saat itu pada organisasi umum juga ada divisi perempuan seperti Wanito Tomo dari Boedi Oetomo, Poetri Indonesia dari Poetra Indonesia dan Wanita Taman Siswa dari Taman Siswa. Organisasi perempuan yang berdiri diawal gerakan di antaranya adalah Putri Mardika, 1916.
Perempuan pelopor yang menjadi panitia pelaksana Kongres Perempuan Indonesia I 928 dan ikut dalam deklarasi Sumpah Pemuda 1928 antara lain Soejatin, Nyi Hajar Dewantoro, Sitti Sundari dan lain-lain. Merekalah inisiator dan penggerak Kongres Perempuan Pertama 22 Desember 1928.

Berbagai isu utama masalah perempuan dibahas pada rapat terbuka. Topiknya antara lain: kedudukan perempuan dalam perkawinan; perempuan ditunjuk, dikawin dan diceraikan di luar kemauannya; poligami; dan pendidikan bagi anak perempuan. Pembahasan melahirkan debat dan perbedaan pendapat dari berbagai organisasi perempuan. Walaupun begitu tak menghalangi kenyataan yang diyakini bersama, yaitu perempuan perlu lebih maju.
Hingga sampai saat ini, untuk memberi ruang gerak bagi perempuan, pemerintah telah mengatur kuota 30 persen perempuan bagi partai politik (parpol) dalam menempatkan calonnya untuk duduk di legislatif. Undang-Undang (UU) Nomor 10/2008 tentang Pemilu Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (pemilu legislatif) serta UU Nomor 2/2008 tentang Partai Politik telah memberikan mandat kepada parpol untuk memenuhi kuota 30% bagi perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat.

Pasal 8 butir di UU Nomor 10/2008, misalnya, menyebutkan penyertaan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat sebagai salah satu persyaratan parpol untuk dapat menjadi peserta pemilu. Selain itu, Pasal 53 UU Pemilu Legislatif tersebut juga menyatakan daftar bakal calon juga memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan. Lebih jauh lagi, Pasal 66 ayat 2 UU Nomor 10/2008 juga menyebutkan KPU, KPU provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap parpol pada media massa cetak harian dan elektronik nasional. Sementara di Pasal 2 ayat 3 UU Parpol disebutkan bahwa pendirian dan pembentukan parpol menyertakan 30% keterwakilan perempuan.

Kampanye kuota ini adalah bentuk perjuangan politik lanjutan perempuan setelah tuntutan hak pilih bagi perempuan di awal abad 20 tercapai. Kampanye kuota bertujuan untuk melawan domestifikasi, perempuan (melawan politik patriarki), karena domestifikasi dan dominasi laki-laki atas perempuan dalam budaya patriarki bukanlah takdir. Untuk itu kampanye kuota tidak selesai dalam wujud keterwakilan perempuan dalam partai politik dan parlemen.

Tentu saja pokok perjuangan para pendahulu tidak terletak pada keterwakilan atau seberapa besar kuota saja. Akan tetapi, bagaimana perempuan itu sendiri untuk bangkit mengisi kesempatan tadi dengan menciptakan perbaikan serta manfaat bagi bangsa. Perempuan dituntut untuk aktif dan kritis di setiap aspek kehidupan. Perempuan juga harus bisa membuat kebijakan bermanfaat yang dapat mengangkat derajat kaumnya.  Tidak sekadar menjadi bunga atau penggembira dalam suatu acara, bukan juga tenggelam ke dalam ‘euforia gender’ hingga lupa bahwa kemajuan pesat yang dialami kaum wanita Indonesia saat ini adalah bagian dari rintisan para pejuang sebelumnya.

Seperti pribahasa China mengatakan, ‘Man is the head of the family, woman the neck that turns the head’ (Laki-laki adalah kepala keluarga,  wanita adalah leher yang menggerakkan kepala itu).  Maka sesungguhnya perlu disadari, bahwa peran perempuan merupakan alat vital bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Majulah perempuan Indonesia! (*)

Tulisan ini diikutsertakan dalam perlombaan memperingati Hari Kartini yang diadakan oleh Kaukus Perempuan DPRD Provinsi Sumatera Utara.

Untuk apa perempuan menggelar rapat dan bertemu? Apa yang ingin dibahas dalam pertemuan itu? Pastilah mereka akan menceritakan aib suaminya, bercicit tentang gosip-gosip hangat artis idola, membahas peralatan make-up terkini, atau memamerkan model baju terbaru.

Farida Noris Ritonga, Medan

Tak jarang komentar miring seperti itu kerap kali terdengar di telinga. Seperti alunan melodi pada sebuah lagu, sering mereka rewind alias diputar ulang. Juga adanya anggapan pemerintah dan masyarakat, mengenai stereotipe kegiatan perempuan dan organisasi perempuan yang bersifat sosial dan hobi.
Organisasi perempuan dianggap tidak politis. Fakta, bahwa masih banyak pandangan sinis dan meragukan terhadap kemampuan perempuan, terutama pernyataan tersebut lahir dari laki-laki, dimana mereka merupakan makluk dominan di sebagian negara yang menganut paham pathriarkhi. Lemah, plin-plan, terlalu berperasaan dan penakut.

Entah darimana asal mula suara-suara sumbang tersebut, yang jelas sangat tidak mengenakkan ketika mendengarnya. Ditambah pula anekdot yang mengemuka perempuan hanya pantas berada di tiga tempat yaitu, sumur, dapur, dan kasur. Sisanya, biar lelaki yang menyelesaikannya. Anekdot primitif yang tak jelas sumbernya ini hampir selalu diagung-agungkan di lingkungan masyarakat. Hanya segelintir yang dengan vokal menyangkal, sisanya melawan dalam hati seraya berharap ada dewi penolong seperti RA Kartini reinkarnasi untuk berorasi.

Memang tak dipungkiri, dewasa ini kaum perempuan Indonesia boleh dibilang sudah banyak kemajuan dalam berbagai hal. Tak hanya turut serta dalam kontes ratu-ratuan atau miss-miss-an, namun kiprah perempuan Indonesia sudah menggejala. Mereka terlibat langsung pada pembangunan bangsa di berbagai bidang seperti dunia politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, hukum, militer dan lain sebagainya.

Perlu diingat, perjuangan mengangkat harkat derajat perempuan bukanlah proses singkat. Namun merupakan proses perjuangan yang panjang dan berliku. Diawali satu figur, berganti dengan figur berikutnya, dengan misi yang sama, bahwa perempuan tak hanya berdiri di belakang panggung, akan tetapi setara dengan laki-laki, berdiri di barisan depan memimpin.

Sejarah mencatat, bahwa telah hadir suatu perkumpulan yaitu gerakan Perempuan Indonesia yang mencoba menggenjot lahirnya perempuan-perempuan kritis dan berani. Perempuan aktif dalam kegiatan organisasi pemuda organisasi berlatar belakang kedaerahan seperti Jong Java, Jong Sumatra atau Jong Ambon.

Perempuan Indonesia juga aktivis pergerakan nasional, meski nama dan kerjanya tidak dicatat sejarah. Faktanya perempuan ikut mendeklarasikan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Saat itu pada organisasi umum juga ada divisi perempuan seperti Wanito Tomo dari Boedi Oetomo, Poetri Indonesia dari Poetra Indonesia dan Wanita Taman Siswa dari Taman Siswa. Organisasi perempuan yang berdiri diawal gerakan di antaranya adalah Putri Mardika, 1916.
Perempuan pelopor yang menjadi panitia pelaksana Kongres Perempuan Indonesia I 928 dan ikut dalam deklarasi Sumpah Pemuda 1928 antara lain Soejatin, Nyi Hajar Dewantoro, Sitti Sundari dan lain-lain. Merekalah inisiator dan penggerak Kongres Perempuan Pertama 22 Desember 1928.

Berbagai isu utama masalah perempuan dibahas pada rapat terbuka. Topiknya antara lain: kedudukan perempuan dalam perkawinan; perempuan ditunjuk, dikawin dan diceraikan di luar kemauannya; poligami; dan pendidikan bagi anak perempuan. Pembahasan melahirkan debat dan perbedaan pendapat dari berbagai organisasi perempuan. Walaupun begitu tak menghalangi kenyataan yang diyakini bersama, yaitu perempuan perlu lebih maju.
Hingga sampai saat ini, untuk memberi ruang gerak bagi perempuan, pemerintah telah mengatur kuota 30 persen perempuan bagi partai politik (parpol) dalam menempatkan calonnya untuk duduk di legislatif. Undang-Undang (UU) Nomor 10/2008 tentang Pemilu Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (pemilu legislatif) serta UU Nomor 2/2008 tentang Partai Politik telah memberikan mandat kepada parpol untuk memenuhi kuota 30% bagi perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat.

Pasal 8 butir di UU Nomor 10/2008, misalnya, menyebutkan penyertaan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat sebagai salah satu persyaratan parpol untuk dapat menjadi peserta pemilu. Selain itu, Pasal 53 UU Pemilu Legislatif tersebut juga menyatakan daftar bakal calon juga memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan. Lebih jauh lagi, Pasal 66 ayat 2 UU Nomor 10/2008 juga menyebutkan KPU, KPU provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap parpol pada media massa cetak harian dan elektronik nasional. Sementara di Pasal 2 ayat 3 UU Parpol disebutkan bahwa pendirian dan pembentukan parpol menyertakan 30% keterwakilan perempuan.

Kampanye kuota ini adalah bentuk perjuangan politik lanjutan perempuan setelah tuntutan hak pilih bagi perempuan di awal abad 20 tercapai. Kampanye kuota bertujuan untuk melawan domestifikasi, perempuan (melawan politik patriarki), karena domestifikasi dan dominasi laki-laki atas perempuan dalam budaya patriarki bukanlah takdir. Untuk itu kampanye kuota tidak selesai dalam wujud keterwakilan perempuan dalam partai politik dan parlemen.

Tentu saja pokok perjuangan para pendahulu tidak terletak pada keterwakilan atau seberapa besar kuota saja. Akan tetapi, bagaimana perempuan itu sendiri untuk bangkit mengisi kesempatan tadi dengan menciptakan perbaikan serta manfaat bagi bangsa. Perempuan dituntut untuk aktif dan kritis di setiap aspek kehidupan. Perempuan juga harus bisa membuat kebijakan bermanfaat yang dapat mengangkat derajat kaumnya.  Tidak sekadar menjadi bunga atau penggembira dalam suatu acara, bukan juga tenggelam ke dalam ‘euforia gender’ hingga lupa bahwa kemajuan pesat yang dialami kaum wanita Indonesia saat ini adalah bagian dari rintisan para pejuang sebelumnya.

Seperti pribahasa China mengatakan, ‘Man is the head of the family, woman the neck that turns the head’ (Laki-laki adalah kepala keluarga,  wanita adalah leher yang menggerakkan kepala itu).  Maka sesungguhnya perlu disadari, bahwa peran perempuan merupakan alat vital bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Majulah perempuan Indonesia! (*)

Tulisan ini diikutsertakan dalam perlombaan memperingati Hari Kartini yang diadakan oleh Kaukus Perempuan DPRD Provinsi Sumatera Utara.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/