25.6 C
Medan
Tuesday, May 14, 2024

Cacing Pita 2,8 Meter di Perut Warga Simalungun

Kasi P2PM Dinkes Sumut, dr Yulia Mariani MKes yang hadir dalam seminar itu mengatakan, pihaknya juga mendukung penelitian itu karena dilakukan ahlinya. Untuk itu, pihaknya  harus kordinasi dengan pusat untuk pengobatan. Dikatakannya, selama ini tidak ada dianggarkan obat taeniasis ke Sumatera Utara karena tidak pernah ditemukan dan paling sering ditemukan di daerah Sulawesi.

“Sudah ada penemuan ini, sudah bisa kita menganggarkan dengan obat. Jadi tidak ada lagi terkendala untuk pengobatan untuk cacing pita. Selain itu, kita akan mintakan nanti Dinas Peternakan juga karena ini berkaitan dengan hewan, untuk ditinjau mulai dari kebersihan sampai layak atau tidak dikonsumsi,” ujar dr Yulia.

Selain itu, Yulia juga mengimbau masyarakat Desa Nagari Dolok, Silau Kahaean, Simalungun untuk menjaga kesehatan dan kebersihan lingkungan. Dikatakannya, hal itu juga untuk mengantisipasi penularan, mengingat penyakit itu berasal dari hewan yang dapat bergerak dan berpindah. Bahkan, dengan kondisi itu, dikatakannya bisa saja kasus itu akan meningkat di Sumatera Utara.

“Kalau kita sebut ini kejadian luar biasa atau KLB, saya tidak berani bilang. Itu yang boleh menyatakan bupati, walikota atau gubernur. Nggak sembarang untuk menetapkan KLB,” tandasnya.

Sementara Kasi Survelen dan Imunisasi Dinkes Simalungun, Jandre Perman Sipayung mengaku, pihaknya menunggu arahan Dinkes Sumut. Namun, dengan ditemukannya kasus ini, diakuinya pihaknya akan menggalakkan penyuluhan hidup bersih dan sehat.

Dijelaskannya, di Simalungun memang ada kebiasaan masyarakat mengkonsumsi Nani Holat semacam dari kulit kayu dibuat untuk pematangan daging atau daging tidak dimasak sempurna lalu dikonsumsi masyarakat. Begitu juga dengan mengkonsumsi Hinasumba yang menggunakan kulit kayu juga yang nama kulit kayunya Sikkam yang pemasakannya kurang sempurna juga lalu dikonsumsi masyarakat. Diakuinya, secara teoritis, hal itu  memang bisa menimbulkan penyakit.

“Kita sebatas mengimbau, karena itu kultur yang sudah melekat di masayarakat. Itu katanya terutama dari Babi. Jadi akan kita imbau agar babi dikandangkan, agar tidak menularkan, “ ujarnya singkat. (ain/adz)

Kasi P2PM Dinkes Sumut, dr Yulia Mariani MKes yang hadir dalam seminar itu mengatakan, pihaknya juga mendukung penelitian itu karena dilakukan ahlinya. Untuk itu, pihaknya  harus kordinasi dengan pusat untuk pengobatan. Dikatakannya, selama ini tidak ada dianggarkan obat taeniasis ke Sumatera Utara karena tidak pernah ditemukan dan paling sering ditemukan di daerah Sulawesi.

“Sudah ada penemuan ini, sudah bisa kita menganggarkan dengan obat. Jadi tidak ada lagi terkendala untuk pengobatan untuk cacing pita. Selain itu, kita akan mintakan nanti Dinas Peternakan juga karena ini berkaitan dengan hewan, untuk ditinjau mulai dari kebersihan sampai layak atau tidak dikonsumsi,” ujar dr Yulia.

Selain itu, Yulia juga mengimbau masyarakat Desa Nagari Dolok, Silau Kahaean, Simalungun untuk menjaga kesehatan dan kebersihan lingkungan. Dikatakannya, hal itu juga untuk mengantisipasi penularan, mengingat penyakit itu berasal dari hewan yang dapat bergerak dan berpindah. Bahkan, dengan kondisi itu, dikatakannya bisa saja kasus itu akan meningkat di Sumatera Utara.

“Kalau kita sebut ini kejadian luar biasa atau KLB, saya tidak berani bilang. Itu yang boleh menyatakan bupati, walikota atau gubernur. Nggak sembarang untuk menetapkan KLB,” tandasnya.

Sementara Kasi Survelen dan Imunisasi Dinkes Simalungun, Jandre Perman Sipayung mengaku, pihaknya menunggu arahan Dinkes Sumut. Namun, dengan ditemukannya kasus ini, diakuinya pihaknya akan menggalakkan penyuluhan hidup bersih dan sehat.

Dijelaskannya, di Simalungun memang ada kebiasaan masyarakat mengkonsumsi Nani Holat semacam dari kulit kayu dibuat untuk pematangan daging atau daging tidak dimasak sempurna lalu dikonsumsi masyarakat. Begitu juga dengan mengkonsumsi Hinasumba yang menggunakan kulit kayu juga yang nama kulit kayunya Sikkam yang pemasakannya kurang sempurna juga lalu dikonsumsi masyarakat. Diakuinya, secara teoritis, hal itu  memang bisa menimbulkan penyakit.

“Kita sebatas mengimbau, karena itu kultur yang sudah melekat di masayarakat. Itu katanya terutama dari Babi. Jadi akan kita imbau agar babi dikandangkan, agar tidak menularkan, “ ujarnya singkat. (ain/adz)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/