Hal itupun disesalkan Rifai karena pemerintah dan Balai Konservasi Taman Hutan Raya tak peka menyikapinya. Menurut Rifai, tahun 2006 kali pertama Air Terjun Dua Warna itu boleh diakses oleh masyarakat luas.
“Harusnya kawasan itu boleh dibuka, tapi dengan catatan juga diberikan pelatihan dulu. Supaya itu alam yang lestari tidak menjadi tempat sampah dan hutan pun hancur. Kami berkeras agar tempat itu ditutup dari dulu, karena kalau melihat lokasi medan yang terjal dengan dikelilingi tebing-tebing tinggi. Jika seandainya ada air bah dari atas, pengunjung sama sekali tidak bisa lari,” ungkap Rifai.
Menanggapi ini, Kadis Kebudayaan dan Pariwisata Deliserdang, Faisal Arif Nasution menyatakan, evaluasi tetap akan dilakukan pihaknya. Menurut dia, bukan pengkajian yang akan dilakukan. Melainkan evaluasi karena banjir bandang yang ketiga ini merupakan terbesar.
Kata Faisal, evaluasi yang dilakukan adalah melibatkan pihak terkait. Seperti Balai Konservasi Taman Hutan Raya, Dinas Kehutanan hingga Pemkab Deliserdang. Faisal pun mengamini jika objek wisata Air Terjun Dua Warna itu merupakan kawasan konservasi di bawah naungan Balai Konservasi Taman Hutan Raya Bukit Barisan.
“Memang langkah kami untuk dievaluasi, libatkan instunsi terkait. Kapan dilakukan evaluasi? Setelah tuntas proses evakuasi ini. Bukan cari salah dan benar lagi, tapi bagaimana jika dapat dikelola lagi secara profesional,” kata Faisal.
Faisal menambahkan, jikalau objek wisata Air Terjun Dua Warna itu dikelola secara profesional, tentunya harus ada regulasi yang dilahirkan oleh Kementrian Kehutanan. Pasalnya, Air Terjun Dua Warna berada di bawah Balai Konservasi Taman Hutan Raya Bukit Barisan. (gus/ain/ted/adz)