25.6 C
Medan
Friday, May 10, 2024

M Aka Gugup, Kesaksian Berbelit

Sidang Kasus Kredit BNI SKM Medan

MEDAN-Akhirnya, tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Yuni Hariaman, Hendri dan Rehulina Purba menghadirkan M. Aka (M. Abdul Karim), Direktur PT Atakana Company sebagai saksi dalam persidangan perkara jaminan kredit tidak terpasang di BNI Sentra Kecil Menengah (SKM) Medan.

SIDANG: M Aka saat sidang BNI SKM Medan, Selasa (22/1).//Farida/Sumut pos
SIDANG: M Aka saat sidang BNI SKM Medan, Selasa (22/1).//Farida/Sumut pos

Nama M. Aka kerap terdengar di setiap persidangan perkara yang bermula dari macetnya kredit pinjaman PT Atakana Company pada Juli 2010.

Dalam kesaksiannya di ruang utama Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Medan, Senin (22/1), M. Aka sering berbelit-belit. Hal ini tampak saat Baso Fakhruddin, kuasa hukum dari tiga karyawan BNI SKM Medan, menanyakan kembali apakah saksi yang mempertemukan Boy Hermansyah dengan pihak BNI. Saksi mengaku dialah yang mengurus semuanya.

Padahal saat menjawab pertanyaan yang sama dari jaksa beberapa saat sebelumnya, M. Aka mengaku tidak mengetahui mengenai kredit yang diajukan Boy Hermansyah di BNI SKM Medan.

M. Aka juga terlihat gugup saat mengaku dirinya pernah menerima uang Rp11 miliar lebih dari Boy Hermansyah. Karena sebelumnya, M. Aka mengaku tidak pernah menerima dana apapun dari Boy Hermansyah.

“Memang saya yang membawa dia (Boy Hermansyah) ke BNI. Saya memperkenalkan dia sebagai calon pembeli SHGU No.102 yang potensial. Iya memang ada saya terima Rp11 miliar lebih. Tapi uang itu adalah hasil penjualan TBS (Tandan Buah Segar),” ungkapnya gugup, sembari membolak-balik berkas di tangannya.

Selanjutnya, tim penasehat hukum ketiga karyawan BNI Medan ini membacakan sejumlah bukti-bukti berupa dokumen dan kuitansi penerimaan uang yang telah ditandatangani M. Aka.

Namun, M. Aka kembali menyangkal bukti-bukti penerimaan uang itu. Selain itu, M. Aka mengaku pernah pula melaporkan ke Mabes Polri tentang tindak pidana penyerobotan tanah dan penggunaan lahan milik PT Atakana yang dilakukan Boy Hermansyah. Namun, laporan itu mentah disebabkan tidak cukup bukti.

Saat Baso menanyakan apakah dana Rp61 miliar masuk ke rekening PT BDKL, saksi mengaku tidak mengetahuinya. Kata saksi, tiap bulannya kebun seluas 3.445 hektare sesuai dalam SHGU No.102 itu menghasilkan Rp8 miliar. Sedangkan kredit yang harus dibayarkan PT Atakana Company tiap bulannya ke BNI SKM Medan sebesar Rp400 juta.

“Melihat besaran pendapatan PT Atakana sebesar Rp8 miliar per bulan dan cicilan hanya 400 juta,  lalu kenapa kok macet?” sergah Baso.
Dalam sidang ini, M. Aka mengaku sudah lama mengenal Boy Hermansyah, Direktur PT Bahari Dwi Kencana Lestari (BDKL). Pihaknya juga pernah melakukan kontrak pengalihan SHGU (Sertifikat Hak Guna Usaha) No.102 yang terletak di Desa Berandang Kecamatan Rantau Peurelak Kabupaten Aceh Timur dengan Boy Hermansyah.

“Memang saya pernah membuat kesepakatan dengan Boy Hermansyah terkait pengalihan SHGU No.102 itu. Dalam perjanjian itu terjalin kerja sama operasional sampai selesainya proses jual beli antara pihak pertama dengan pihak kedua. Pihak kedua (Boy Hermansyah) pun melakukan pembayaran langsung bukan melalui rekening PT Atakana. Mulai tanggal 20 September 2010 dilakukan penjualan kepihak kedua,” ujar M. Aka.

Menurut M. Aka, PT Atakana Company telah menjadi debitur sejak Tahun 2003 di BNI SKM Medan. Pembayaran kredit lancar hingga Tahun 2009. Namun selanjutnya pembayaran kredit itu macet sehingga pihak BNI SKM Medan menyampaikan agar jaminan SHGU No.102 dilelang.

Tapi dirinya mengaku saat itu ada calon pembeli dalam hal ini Boy Hermansyah. Kemudian dilakukanlah RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) antara empat pemilik saham di PT Atakana Company yang intinya menyetujui penjualan SHGU No.102 kepada Boy Hermansyah.

“Memang sempat tertunggak. Tapi bisa diselesaikan. Tindakan dari BNI saat itu agar jaminan SHGU No102 dijual. Karena tunggakan di BNI SKM harus dibayar, maka untuk menyelesaikannya SHGU No.102 harus dijual. Saat itu, Boy Hermansyah menawarkan ke saya Rp115 milyar. Pemegang saham lainnya pun menyetujui penjualan saham itu,” ujar saksi di hadapan majelis hakim yang diketuai Erwin Mangatas Malau.

Tapi selanjutnya, kata M. Aka yang terkesan berbelit, Boy Hermansyah membuat akta perjanjian jual beli yang berbeda pada notaris Lila Mutia. Dalam akta itu, perjanjian jual beli dilakukan antara Boy Hermansyah (pihak I) dengan Boy Hermansyah (pihak II). Selain itu ditetapkan penjualan SHGU No. 102 sebesar Rp115 milyar. Selanjutnya Boy Hermansyah mengajukan permohonan kredit ke BNI SKM Medan.

“Saya juga mengetahuinya saat pemeriksaan BAP di Polda Aceh. Bahwasanya Boy Hermansyah yang dibantu notaris Lila membuat surat perjanjian penjualan SHGU No.102 dengan nilai Rp58 miliar. Dan ini berbeda dari kesepakatan awal yakni Rp115 milyar. Saya pun tak pernah menerima uang itu dari Boy Hermansyah. Bahkan pengajuan kredit ke BNI dengan memakai jaminan SHGU No.102 juga tanpa sepengetahuan saya. Kredit saya memang belum selesai di BNI. Saat itu, SHGU No. 102 masih menjadi agunan di BNI,” jelasnya.

Dikatakan M.Aka, pada saat Boy Hermansyah mengajukan kredit ke BNI SKM Medan dengan jaminan SHGU No.102, pihak BNI sama sekali tidak mengonfirmasinya. Padahal, SHGU No.102 belum dibalik nama dan masih atas nama PT Atakana Company.

“SHGU No.102 juga dijadikan Hak Tanggungan di BNI atas nama PT BDKL. Lalu saya tahu dari orang dalam BNI, bahwa kredit saya yang tertunggak dilunasi oleh Boy Hermansyah. Tapi saat saya tanyakan kepada Boy Hermansyah, dia tidak menjawab. Padahal saya tidak pernah minta dia untuk membayarkan kredit saya yang tertunggak itu,” katanya lagi.

Selanjutnya, karena merasa dirinya tidak pernah menjual SHGU kepada Boy Hermansyah, M. Aka langsung mengajukan blokir atas SHGU No.102 ke BPN (Badan Pertanahan Nasional) Pusat.

“Memang hasil RUPS menyepakati bahwa Boy Hermanyah diberikan kuasa atas SHGU No.102 itu. Tapi tiba-tiba dia pasang plang di kebun itu. Karena Boy Hermansyah menyalahgunakan kuasa, makanya langsung saya blokir ke BPN Pusat,” urai saksi.

Sementara, saksi I Gde Aryuda selaku Deputi Bidang Hak Tanah pada BPN RI mengatakan, pihaknya tidak meneruskan proses pengalihan SHGU No.102 oleh Boy Hermasnyah semata-mata disebabkan adanya surat permohonan blokir dari M Aka tersebut.

“SHGU No.102 tidak dibalik nama didasari adanya surat permohonan blokir dari M Aka. Karena itu berkasnya kami kembalikan ke Kanwil Aceh. Peralihan izin itu sendiri harus melalui BPN Pusat. Karena izin itu sebelumnya diberikan oleh lembaga yang menerbitkan SK SHGU dalam hal ini BPN Pusat,” jelas saksi.

Selanjutnya, saksi mengatakan bahwa M.Aka mengajukan agar BPN Pusat memblokir permohonan pengalihan SHGU 102 dan mencabut kuasa atas Boy Hermansyah. Kalau masalah surat kuasa itu bukan domain BPN. Saksi mengaku tidak tahu tentang pengumuman di koran bahwa para pemegang saham berkeberatan dengan permohonan blokir yang diajukan M.Aka. (far)

Sidang Kasus Kredit BNI SKM Medan

MEDAN-Akhirnya, tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Yuni Hariaman, Hendri dan Rehulina Purba menghadirkan M. Aka (M. Abdul Karim), Direktur PT Atakana Company sebagai saksi dalam persidangan perkara jaminan kredit tidak terpasang di BNI Sentra Kecil Menengah (SKM) Medan.

SIDANG: M Aka saat sidang BNI SKM Medan, Selasa (22/1).//Farida/Sumut pos
SIDANG: M Aka saat sidang BNI SKM Medan, Selasa (22/1).//Farida/Sumut pos

Nama M. Aka kerap terdengar di setiap persidangan perkara yang bermula dari macetnya kredit pinjaman PT Atakana Company pada Juli 2010.

Dalam kesaksiannya di ruang utama Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Medan, Senin (22/1), M. Aka sering berbelit-belit. Hal ini tampak saat Baso Fakhruddin, kuasa hukum dari tiga karyawan BNI SKM Medan, menanyakan kembali apakah saksi yang mempertemukan Boy Hermansyah dengan pihak BNI. Saksi mengaku dialah yang mengurus semuanya.

Padahal saat menjawab pertanyaan yang sama dari jaksa beberapa saat sebelumnya, M. Aka mengaku tidak mengetahui mengenai kredit yang diajukan Boy Hermansyah di BNI SKM Medan.

M. Aka juga terlihat gugup saat mengaku dirinya pernah menerima uang Rp11 miliar lebih dari Boy Hermansyah. Karena sebelumnya, M. Aka mengaku tidak pernah menerima dana apapun dari Boy Hermansyah.

“Memang saya yang membawa dia (Boy Hermansyah) ke BNI. Saya memperkenalkan dia sebagai calon pembeli SHGU No.102 yang potensial. Iya memang ada saya terima Rp11 miliar lebih. Tapi uang itu adalah hasil penjualan TBS (Tandan Buah Segar),” ungkapnya gugup, sembari membolak-balik berkas di tangannya.

Selanjutnya, tim penasehat hukum ketiga karyawan BNI Medan ini membacakan sejumlah bukti-bukti berupa dokumen dan kuitansi penerimaan uang yang telah ditandatangani M. Aka.

Namun, M. Aka kembali menyangkal bukti-bukti penerimaan uang itu. Selain itu, M. Aka mengaku pernah pula melaporkan ke Mabes Polri tentang tindak pidana penyerobotan tanah dan penggunaan lahan milik PT Atakana yang dilakukan Boy Hermansyah. Namun, laporan itu mentah disebabkan tidak cukup bukti.

Saat Baso menanyakan apakah dana Rp61 miliar masuk ke rekening PT BDKL, saksi mengaku tidak mengetahuinya. Kata saksi, tiap bulannya kebun seluas 3.445 hektare sesuai dalam SHGU No.102 itu menghasilkan Rp8 miliar. Sedangkan kredit yang harus dibayarkan PT Atakana Company tiap bulannya ke BNI SKM Medan sebesar Rp400 juta.

“Melihat besaran pendapatan PT Atakana sebesar Rp8 miliar per bulan dan cicilan hanya 400 juta,  lalu kenapa kok macet?” sergah Baso.
Dalam sidang ini, M. Aka mengaku sudah lama mengenal Boy Hermansyah, Direktur PT Bahari Dwi Kencana Lestari (BDKL). Pihaknya juga pernah melakukan kontrak pengalihan SHGU (Sertifikat Hak Guna Usaha) No.102 yang terletak di Desa Berandang Kecamatan Rantau Peurelak Kabupaten Aceh Timur dengan Boy Hermansyah.

“Memang saya pernah membuat kesepakatan dengan Boy Hermansyah terkait pengalihan SHGU No.102 itu. Dalam perjanjian itu terjalin kerja sama operasional sampai selesainya proses jual beli antara pihak pertama dengan pihak kedua. Pihak kedua (Boy Hermansyah) pun melakukan pembayaran langsung bukan melalui rekening PT Atakana. Mulai tanggal 20 September 2010 dilakukan penjualan kepihak kedua,” ujar M. Aka.

Menurut M. Aka, PT Atakana Company telah menjadi debitur sejak Tahun 2003 di BNI SKM Medan. Pembayaran kredit lancar hingga Tahun 2009. Namun selanjutnya pembayaran kredit itu macet sehingga pihak BNI SKM Medan menyampaikan agar jaminan SHGU No.102 dilelang.

Tapi dirinya mengaku saat itu ada calon pembeli dalam hal ini Boy Hermansyah. Kemudian dilakukanlah RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) antara empat pemilik saham di PT Atakana Company yang intinya menyetujui penjualan SHGU No.102 kepada Boy Hermansyah.

“Memang sempat tertunggak. Tapi bisa diselesaikan. Tindakan dari BNI saat itu agar jaminan SHGU No102 dijual. Karena tunggakan di BNI SKM harus dibayar, maka untuk menyelesaikannya SHGU No.102 harus dijual. Saat itu, Boy Hermansyah menawarkan ke saya Rp115 milyar. Pemegang saham lainnya pun menyetujui penjualan saham itu,” ujar saksi di hadapan majelis hakim yang diketuai Erwin Mangatas Malau.

Tapi selanjutnya, kata M. Aka yang terkesan berbelit, Boy Hermansyah membuat akta perjanjian jual beli yang berbeda pada notaris Lila Mutia. Dalam akta itu, perjanjian jual beli dilakukan antara Boy Hermansyah (pihak I) dengan Boy Hermansyah (pihak II). Selain itu ditetapkan penjualan SHGU No. 102 sebesar Rp115 milyar. Selanjutnya Boy Hermansyah mengajukan permohonan kredit ke BNI SKM Medan.

“Saya juga mengetahuinya saat pemeriksaan BAP di Polda Aceh. Bahwasanya Boy Hermansyah yang dibantu notaris Lila membuat surat perjanjian penjualan SHGU No.102 dengan nilai Rp58 miliar. Dan ini berbeda dari kesepakatan awal yakni Rp115 milyar. Saya pun tak pernah menerima uang itu dari Boy Hermansyah. Bahkan pengajuan kredit ke BNI dengan memakai jaminan SHGU No.102 juga tanpa sepengetahuan saya. Kredit saya memang belum selesai di BNI. Saat itu, SHGU No. 102 masih menjadi agunan di BNI,” jelasnya.

Dikatakan M.Aka, pada saat Boy Hermansyah mengajukan kredit ke BNI SKM Medan dengan jaminan SHGU No.102, pihak BNI sama sekali tidak mengonfirmasinya. Padahal, SHGU No.102 belum dibalik nama dan masih atas nama PT Atakana Company.

“SHGU No.102 juga dijadikan Hak Tanggungan di BNI atas nama PT BDKL. Lalu saya tahu dari orang dalam BNI, bahwa kredit saya yang tertunggak dilunasi oleh Boy Hermansyah. Tapi saat saya tanyakan kepada Boy Hermansyah, dia tidak menjawab. Padahal saya tidak pernah minta dia untuk membayarkan kredit saya yang tertunggak itu,” katanya lagi.

Selanjutnya, karena merasa dirinya tidak pernah menjual SHGU kepada Boy Hermansyah, M. Aka langsung mengajukan blokir atas SHGU No.102 ke BPN (Badan Pertanahan Nasional) Pusat.

“Memang hasil RUPS menyepakati bahwa Boy Hermanyah diberikan kuasa atas SHGU No.102 itu. Tapi tiba-tiba dia pasang plang di kebun itu. Karena Boy Hermansyah menyalahgunakan kuasa, makanya langsung saya blokir ke BPN Pusat,” urai saksi.

Sementara, saksi I Gde Aryuda selaku Deputi Bidang Hak Tanah pada BPN RI mengatakan, pihaknya tidak meneruskan proses pengalihan SHGU No.102 oleh Boy Hermasnyah semata-mata disebabkan adanya surat permohonan blokir dari M Aka tersebut.

“SHGU No.102 tidak dibalik nama didasari adanya surat permohonan blokir dari M Aka. Karena itu berkasnya kami kembalikan ke Kanwil Aceh. Peralihan izin itu sendiri harus melalui BPN Pusat. Karena izin itu sebelumnya diberikan oleh lembaga yang menerbitkan SK SHGU dalam hal ini BPN Pusat,” jelas saksi.

Selanjutnya, saksi mengatakan bahwa M.Aka mengajukan agar BPN Pusat memblokir permohonan pengalihan SHGU 102 dan mencabut kuasa atas Boy Hermansyah. Kalau masalah surat kuasa itu bukan domain BPN. Saksi mengaku tidak tahu tentang pengumuman di koran bahwa para pemegang saham berkeberatan dengan permohonan blokir yang diajukan M.Aka. (far)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/