25.6 C
Medan
Thursday, May 16, 2024

Tolak Isu Negatif Sawit, Siapkan ‘Road Map’ Pangan

MEDAN- Pertemuan Senior Officials Meeting (SOM) III Asia Pacific Economy Cooperation (APEC) yang berlangsung di sejumlah ruang pertemuan hotel di Medan mulai berlangsung sejak Sabtu (22/6) hingga Sabtu (6/7) mendatang.

Dua isu pokok dibawa Indonesia dalam sidang para pihak tersebut yakni isu negatif minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan fluktuasi harga karet, serta strategi membangun ketahanan pangan secara global.

“Karet dan sawit adalah unggulan Indonesia dan termasuk di negara APEC, tetapi masih sering mendapat tekanan sehingga dinilai perlu dibahas mendalam di SOM III APEC di Medan,” kata Staf Ahli Menlu Bidang Ekonomi, Sosial dan Budaya, M Wahid Supriyadi, di Medan, kemarin.

Kalau CPO selalu ditekan dengan isu lingkungan, sebaliknya karet sarat dengan tekanan antara pasokan dan permintaan yang mengacu harga terakhir berada di bawah 3 dolar AS per kilogram. Khusus soal CPO pembahasan akan dilakukan pada 3 Juli mendatang.

“Pemerintah bersama swasta dalam hal ini Gapki (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) dan tentunya ekonom dari negara penghasil lainnya akan membahas permasalahan itu termasuk menerangkan kepada lembaga perlindungan lingkungan Amerika Serikat (AS) atau The US Environmental Protection Agency (EPA) yang akan datang bersamaan dengan SOM III APEC di Medan,” katanya.

Pertemuan APEC dimana 21 ekonom dan berbagai lembaga lainnya datang ke Medan yang merupakan salah satu sentra produsen sawit dan karet terbesar di Indonesia akan dimanfaatkan untuk membuktikan isu negatif terhadap atas komoditas itu tidak benar.

Seperti diketahui, produk CPO asal Indonesia dinyatakan tidak termasuk sebagai produk biofuel yang hijau atau produk yang ramah lingkungan dan itu sudah disanggah pemerintah ke AS.

Sanggahan itu memang sudah direspon EPA yang melakukan kunjungan ke Indonesia pada tahun lalu dengan mengunjungi perkebunan dan sudah melihat kalau produk itu sudah ramah lingkungan dan termasuk “zero waste” (tidak ada sampah).

Tetapi, EPA hingga kini belum menyatakan sikap tegas terkait hal tersebut sehingga Indonesia menilai pertemuan SOM III APEC di Medan merupakan momentum yang tepat untuk kembali menyatakan atau menunjukkan bahwa perkebunanan dan produk sawit nasional ramah lingkungan.
Meski AS tidak negara pembeli terbesar CPO Indonesia, tetapi isu jelek bahkan penolkan negara itu dipastikan punya pengaruh besar juga terhadap perdagangan komoditas itu.

Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Derom Bangun, mengatakan, CPO asal Indonesia dinyatakan tidak ramah lingkungan dengan tudingan emisi dalam industri minyak sawit mulai dari penanaman, pemupukan, pengolahan limbah dan lainnya terlalu besar.
Tetapi, dewasa ini, tudingan itu sudah bisa dibuktikan tidak benar, karena sudah memenuhi bahkan melebihi persyaratan minimum 20 persen dari 17 persen yang diharuskan.

“Upaya menepis isu negatif dengan penunjukkan fakta di lapangan dan termasuk hasil riset memang sangat diperlukan,”katanya.
Di lain  pihak, pembicaraan formal dalam forum ‘para-pihak’ juga akan memecahkan krisis pangan yang membelenggu banyak negara dalam dekade terakhir ke dalam peta jalan (roadmap) ketahanan pangan yang memuat arahan (direction) bagi usaha pengembangan pertanian yang bersifat strategis, berskala besar, dan berdurasi panjang.

Ketua Delegasi Indonesia pada SOM III APEC bertema ‘Policy Partnership on Food Security’ Ahmad Suryana di Hotel Premierre Santika, Sabtu (22/6) menyatakan, cuaca ekstrim menjadi pemicu pangan di dunia. Para delegasi menyampaikan pendapat untuk mengantisipasi kelangkaan pangan yang mulai dialami sejumlha negara.

“Kalau dihitung jumlah lahan dan jumlah penduduk mulai tak seimbang. Salah satu pangkal penyebabnya adalah cuaca ekstrim, dan kesulitan pendistribusian pangan ke berbagai tempat,”ujar Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian tersebut.
Dijelaskan Suryana, ada sebanyak 15 persen negara penghasil pangan di dunia yang sempat mengalami gagal panen akibat cuaca ekstrem, bencana alam, dan lainnya.

Dalam pertemuan itu disimpulkan perlunya melakukan inovasi dan mengoptimalkan teknologi untuk mengatasi kelangkaan pangan. “Ada dua cara yang direkomendasikan. Pertama adalah kemampuan menciptakan varietas yang tahan cuaca ekstrim. Misalnya, diciptakan bibit padi yang tahan cuaca dingin maupun panas. Dan, cara kedua adalah alih-teknologi dengan tujuan kerja sama antar-negara. Contohnya, Singapura yang tak punya lahan pertanian mulai mengagendakan penelitian varietas pangan agar hasilnya bisa dikerjasamakan dengan negara lain yang memiliki lahan pertanian yang luas seperti Indonesia,” ujarnya.

Dalam pertemuan itu, lanjut Suryana, juga banyak menyinggung soal rencana kerja sama bisnis antar-negara di bidang pangan. Rencana itu meliputi gambaran bisnis yang akan dijalankan bersama, siapa yang ditunjuk sebagai penggerak (pioneer), seperti apa peran negara-negara yang lain, dan sebagainya. Seluruh rencana itu akan dituangkan dalam peta jalan (roadmap) yang menjadi panduan baku seluruh negara yang tergabung dalam APEC.
“Rencana ini sangat penting karena menyangkut kebutuhan dasar manusia yakni makanan. Kita tahu keamanan pangan atau security food itu jadi perhatian global saat ini. Jadi, saya berani katakan isu ketahanan pangan yang kami bicarakan di forum ini amat seksi,” dioa meyakinkan.

Dalam roadmap itu kelak diatur pola kerja sama antara pemerintah dan swasta dengan jangkauan pencapaian pada tahun 2020 mendatang. “Rencana ini menjadi keuntungan tersendiri bagi Indonesia sebagai tuan rumah. Kenapa begitu? Karena petani kecil yang hanya memiliki lahan seluas 0,3 hektare akan ikut diajak kerjasama. Ini artinya, tanaman pangan mereka hasilkan akan dicatat juga sebagai cadangan pangan,” tukasnya.

Terkait pertanyaan soal sulitnya rencana ini diterapkan lantaran terbentur peraturan ekspor- impor pangan yang berbeda di setiap negara, Suryana optimistis akan ada peraturan khusus yang disepakati bila roadmap itu terealisasi. “Maka itu salah satu tujuan pertemuan ini. Kami maksimalkan momentum ini untuk mencari solusi. Kami tak mau roadmap yang bagus dan dipikirkan secara matang ini gagal hanya gara-gara peraturan yang terlalu ketat,” pungkasnya. (ram)

MEDAN- Pertemuan Senior Officials Meeting (SOM) III Asia Pacific Economy Cooperation (APEC) yang berlangsung di sejumlah ruang pertemuan hotel di Medan mulai berlangsung sejak Sabtu (22/6) hingga Sabtu (6/7) mendatang.

Dua isu pokok dibawa Indonesia dalam sidang para pihak tersebut yakni isu negatif minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan fluktuasi harga karet, serta strategi membangun ketahanan pangan secara global.

“Karet dan sawit adalah unggulan Indonesia dan termasuk di negara APEC, tetapi masih sering mendapat tekanan sehingga dinilai perlu dibahas mendalam di SOM III APEC di Medan,” kata Staf Ahli Menlu Bidang Ekonomi, Sosial dan Budaya, M Wahid Supriyadi, di Medan, kemarin.

Kalau CPO selalu ditekan dengan isu lingkungan, sebaliknya karet sarat dengan tekanan antara pasokan dan permintaan yang mengacu harga terakhir berada di bawah 3 dolar AS per kilogram. Khusus soal CPO pembahasan akan dilakukan pada 3 Juli mendatang.

“Pemerintah bersama swasta dalam hal ini Gapki (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) dan tentunya ekonom dari negara penghasil lainnya akan membahas permasalahan itu termasuk menerangkan kepada lembaga perlindungan lingkungan Amerika Serikat (AS) atau The US Environmental Protection Agency (EPA) yang akan datang bersamaan dengan SOM III APEC di Medan,” katanya.

Pertemuan APEC dimana 21 ekonom dan berbagai lembaga lainnya datang ke Medan yang merupakan salah satu sentra produsen sawit dan karet terbesar di Indonesia akan dimanfaatkan untuk membuktikan isu negatif terhadap atas komoditas itu tidak benar.

Seperti diketahui, produk CPO asal Indonesia dinyatakan tidak termasuk sebagai produk biofuel yang hijau atau produk yang ramah lingkungan dan itu sudah disanggah pemerintah ke AS.

Sanggahan itu memang sudah direspon EPA yang melakukan kunjungan ke Indonesia pada tahun lalu dengan mengunjungi perkebunan dan sudah melihat kalau produk itu sudah ramah lingkungan dan termasuk “zero waste” (tidak ada sampah).

Tetapi, EPA hingga kini belum menyatakan sikap tegas terkait hal tersebut sehingga Indonesia menilai pertemuan SOM III APEC di Medan merupakan momentum yang tepat untuk kembali menyatakan atau menunjukkan bahwa perkebunanan dan produk sawit nasional ramah lingkungan.
Meski AS tidak negara pembeli terbesar CPO Indonesia, tetapi isu jelek bahkan penolkan negara itu dipastikan punya pengaruh besar juga terhadap perdagangan komoditas itu.

Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Derom Bangun, mengatakan, CPO asal Indonesia dinyatakan tidak ramah lingkungan dengan tudingan emisi dalam industri minyak sawit mulai dari penanaman, pemupukan, pengolahan limbah dan lainnya terlalu besar.
Tetapi, dewasa ini, tudingan itu sudah bisa dibuktikan tidak benar, karena sudah memenuhi bahkan melebihi persyaratan minimum 20 persen dari 17 persen yang diharuskan.

“Upaya menepis isu negatif dengan penunjukkan fakta di lapangan dan termasuk hasil riset memang sangat diperlukan,”katanya.
Di lain  pihak, pembicaraan formal dalam forum ‘para-pihak’ juga akan memecahkan krisis pangan yang membelenggu banyak negara dalam dekade terakhir ke dalam peta jalan (roadmap) ketahanan pangan yang memuat arahan (direction) bagi usaha pengembangan pertanian yang bersifat strategis, berskala besar, dan berdurasi panjang.

Ketua Delegasi Indonesia pada SOM III APEC bertema ‘Policy Partnership on Food Security’ Ahmad Suryana di Hotel Premierre Santika, Sabtu (22/6) menyatakan, cuaca ekstrim menjadi pemicu pangan di dunia. Para delegasi menyampaikan pendapat untuk mengantisipasi kelangkaan pangan yang mulai dialami sejumlha negara.

“Kalau dihitung jumlah lahan dan jumlah penduduk mulai tak seimbang. Salah satu pangkal penyebabnya adalah cuaca ekstrim, dan kesulitan pendistribusian pangan ke berbagai tempat,”ujar Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian tersebut.
Dijelaskan Suryana, ada sebanyak 15 persen negara penghasil pangan di dunia yang sempat mengalami gagal panen akibat cuaca ekstrem, bencana alam, dan lainnya.

Dalam pertemuan itu disimpulkan perlunya melakukan inovasi dan mengoptimalkan teknologi untuk mengatasi kelangkaan pangan. “Ada dua cara yang direkomendasikan. Pertama adalah kemampuan menciptakan varietas yang tahan cuaca ekstrim. Misalnya, diciptakan bibit padi yang tahan cuaca dingin maupun panas. Dan, cara kedua adalah alih-teknologi dengan tujuan kerja sama antar-negara. Contohnya, Singapura yang tak punya lahan pertanian mulai mengagendakan penelitian varietas pangan agar hasilnya bisa dikerjasamakan dengan negara lain yang memiliki lahan pertanian yang luas seperti Indonesia,” ujarnya.

Dalam pertemuan itu, lanjut Suryana, juga banyak menyinggung soal rencana kerja sama bisnis antar-negara di bidang pangan. Rencana itu meliputi gambaran bisnis yang akan dijalankan bersama, siapa yang ditunjuk sebagai penggerak (pioneer), seperti apa peran negara-negara yang lain, dan sebagainya. Seluruh rencana itu akan dituangkan dalam peta jalan (roadmap) yang menjadi panduan baku seluruh negara yang tergabung dalam APEC.
“Rencana ini sangat penting karena menyangkut kebutuhan dasar manusia yakni makanan. Kita tahu keamanan pangan atau security food itu jadi perhatian global saat ini. Jadi, saya berani katakan isu ketahanan pangan yang kami bicarakan di forum ini amat seksi,” dioa meyakinkan.

Dalam roadmap itu kelak diatur pola kerja sama antara pemerintah dan swasta dengan jangkauan pencapaian pada tahun 2020 mendatang. “Rencana ini menjadi keuntungan tersendiri bagi Indonesia sebagai tuan rumah. Kenapa begitu? Karena petani kecil yang hanya memiliki lahan seluas 0,3 hektare akan ikut diajak kerjasama. Ini artinya, tanaman pangan mereka hasilkan akan dicatat juga sebagai cadangan pangan,” tukasnya.

Terkait pertanyaan soal sulitnya rencana ini diterapkan lantaran terbentur peraturan ekspor- impor pangan yang berbeda di setiap negara, Suryana optimistis akan ada peraturan khusus yang disepakati bila roadmap itu terealisasi. “Maka itu salah satu tujuan pertemuan ini. Kami maksimalkan momentum ini untuk mencari solusi. Kami tak mau roadmap yang bagus dan dipikirkan secara matang ini gagal hanya gara-gara peraturan yang terlalu ketat,” pungkasnya. (ram)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/