26 C
Medan
Monday, October 21, 2024
spot_img

Kelompok Pro dan Kontra Jokowi Aksi Bersamaan

SUTAN SIREGAR/SUMUT POS
Ribuan massa dari kelompok #2019GantiPresiden memadati ruas Jalan Sisingamangaraja Medan, Minggu (22/7).

Berkali-kali Erry meneriakkan kata Jokowi. Kemudian disambut dengan jawaban serempak “Dua Periode” dari 50 kelompok relawan, seperti Bara JP, Solidaritas Merah Putih, Almisbat hingga Seknas.

Saat bersamaan, kelompok #2019GantiPresiden dipimpin anggota DPR RI Muhammad Raden Syafei yang akrab disapa Romo dan Neno Warisman, menggelar aksi di depan Masjid Raya Al Mahsum. Aksi ini dimulai dengan menyanyikan lagu Indomesia Raya. Turut hadir dalam kesempatan itu sejumlah anggota DPRD Medan, yakni Ihwan Ritonga dan Ahmad Arif.

Dalam orasinya, Romo membandingkan pemerintahan Presiden Soehato dan pemerintahan Presiden Jokowi. Menurutnya, selama 32 tahun Soeharto memimpin, utang Indonesia berjumlah Rp2.300 triliun. “Jokowi belum 5 tahun memimpin, utangnya sudah mencapai Rp5.000 triliun,” kata Romo.

Politisi dari Partai Gerindra ini menyebut, pemerintahan saat ini juga terlalu semena-mena kepada umat Islam. Salah satu contohnya, pembubaran HTI karena dianggap mendirikan khilafah. “Padahal kalau boleh jujur, agama lain juga ada yang melakukan seperti itu, bahkan dilakukan di rumah ibadah, tapi dibiarkan saja,” sindirnya.

Romo menegaskan, gerakan #2019GantiPresiden diakui oleh undang-undang. Sebab, setiap 5 tahun sekali ada pesta demokrasi pergantian presiden. “Jangankan 5 tahun sekali, di tengah jalan juga bisa ganti presiden. Kalau kita mau datang beramai-ramai ke DPR mendesak agar dilakukan sidang paripurna istimewa pergantian presiden, bisa. Jadi kalau ada yang menakut-nakuti, jangan takut. Ini kegiatan yang dilindungi UU,” tegasnya.

Dalam aksi ini, panitia deklarasi relawan #2019GantiPresiden juga menyebar kotak infaq untuk penggalangan dana. Selama kegiatan berlangsung beberapa relawan berkeliling untuk menyebarkan kotak infaq itu kepada seluruh relawan yang hadir. Aksi ini mengumpulkan infaq sebesar Rp22 juta.

Pengamat Sosial Politik dari Universitas Sumatera Utara (USU), Agus Suriadi memberi apresiasi kepada masing-masing kelompok massa. Dia menilai, dalam politik dan iklim demokrasi dewasa ini, aksi yang dilakukan kedua kelompok relawan, baik yang pro ataupun kontra pemerintah, adalah hal wajar. Karena menurutnya, politik itu sarat dengan muatan kepentingan. “Yang penting antar-kedua kelompok yang saling berseberangan, masih bisa berargumentasi dengan nalar dan bukan dengan fisik,” katanya.

Fenomena seperti ini, kata Agus, juga jarang terjadi sejak Indonesia menganut paham demokrasi. Namun ia mengamini bahwa setiap rezim akan membentuk kedewasaan rakyat seiring perkembangan zaman yang terjadi. “Ini semua bisa terjadi karna kedewasaan politik masyarakat yang cukup tinggi dan ditambah tipologi masyarakat Sumut yang heterogen sehingga dominan kultur menjadi tiada,” katanya.

Bahkan ia menegaskan, melalui aksi yang dilakukan seperti ini di Medan, Sumatera Utara, sangat baik bagi perkembangan demokrasi Indonesia. Terlebih ada aksi penggalangan infak, yang seolah jadi simbol rakyat turut prihatin atas utang negara yang semakin banyak sejak dipimpin Jokowi-Jusuf Kalla. “Saya pikir (dari aksi tersebut) Sumut bisa jadi model atau percontohan ke depan,” katanya.

SUTAN SIREGAR/SUMUT POS
Ribuan massa dari kelompok #2019GantiPresiden memadati ruas Jalan Sisingamangaraja Medan, Minggu (22/7).

Berkali-kali Erry meneriakkan kata Jokowi. Kemudian disambut dengan jawaban serempak “Dua Periode” dari 50 kelompok relawan, seperti Bara JP, Solidaritas Merah Putih, Almisbat hingga Seknas.

Saat bersamaan, kelompok #2019GantiPresiden dipimpin anggota DPR RI Muhammad Raden Syafei yang akrab disapa Romo dan Neno Warisman, menggelar aksi di depan Masjid Raya Al Mahsum. Aksi ini dimulai dengan menyanyikan lagu Indomesia Raya. Turut hadir dalam kesempatan itu sejumlah anggota DPRD Medan, yakni Ihwan Ritonga dan Ahmad Arif.

Dalam orasinya, Romo membandingkan pemerintahan Presiden Soehato dan pemerintahan Presiden Jokowi. Menurutnya, selama 32 tahun Soeharto memimpin, utang Indonesia berjumlah Rp2.300 triliun. “Jokowi belum 5 tahun memimpin, utangnya sudah mencapai Rp5.000 triliun,” kata Romo.

Politisi dari Partai Gerindra ini menyebut, pemerintahan saat ini juga terlalu semena-mena kepada umat Islam. Salah satu contohnya, pembubaran HTI karena dianggap mendirikan khilafah. “Padahal kalau boleh jujur, agama lain juga ada yang melakukan seperti itu, bahkan dilakukan di rumah ibadah, tapi dibiarkan saja,” sindirnya.

Romo menegaskan, gerakan #2019GantiPresiden diakui oleh undang-undang. Sebab, setiap 5 tahun sekali ada pesta demokrasi pergantian presiden. “Jangankan 5 tahun sekali, di tengah jalan juga bisa ganti presiden. Kalau kita mau datang beramai-ramai ke DPR mendesak agar dilakukan sidang paripurna istimewa pergantian presiden, bisa. Jadi kalau ada yang menakut-nakuti, jangan takut. Ini kegiatan yang dilindungi UU,” tegasnya.

Dalam aksi ini, panitia deklarasi relawan #2019GantiPresiden juga menyebar kotak infaq untuk penggalangan dana. Selama kegiatan berlangsung beberapa relawan berkeliling untuk menyebarkan kotak infaq itu kepada seluruh relawan yang hadir. Aksi ini mengumpulkan infaq sebesar Rp22 juta.

Pengamat Sosial Politik dari Universitas Sumatera Utara (USU), Agus Suriadi memberi apresiasi kepada masing-masing kelompok massa. Dia menilai, dalam politik dan iklim demokrasi dewasa ini, aksi yang dilakukan kedua kelompok relawan, baik yang pro ataupun kontra pemerintah, adalah hal wajar. Karena menurutnya, politik itu sarat dengan muatan kepentingan. “Yang penting antar-kedua kelompok yang saling berseberangan, masih bisa berargumentasi dengan nalar dan bukan dengan fisik,” katanya.

Fenomena seperti ini, kata Agus, juga jarang terjadi sejak Indonesia menganut paham demokrasi. Namun ia mengamini bahwa setiap rezim akan membentuk kedewasaan rakyat seiring perkembangan zaman yang terjadi. “Ini semua bisa terjadi karna kedewasaan politik masyarakat yang cukup tinggi dan ditambah tipologi masyarakat Sumut yang heterogen sehingga dominan kultur menjadi tiada,” katanya.

Bahkan ia menegaskan, melalui aksi yang dilakukan seperti ini di Medan, Sumatera Utara, sangat baik bagi perkembangan demokrasi Indonesia. Terlebih ada aksi penggalangan infak, yang seolah jadi simbol rakyat turut prihatin atas utang negara yang semakin banyak sejak dipimpin Jokowi-Jusuf Kalla. “Saya pikir (dari aksi tersebut) Sumut bisa jadi model atau percontohan ke depan,” katanya.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/