27.8 C
Medan
Monday, May 20, 2024

Khas Tiongkok, Dihuni 80 Dewa-Dewi

Vihara Gunung Timur

Vihara Gunung Timur yang terletak di Jalan Hang Tuah No 16 Medan ini, merupakan salah satu vihara tertua kedua di Medan, setelah Vihara Setia Budi di Jalan Irian Barat. Dengan luas hampir 1 hektar, vihara ini merupakan replika kelenteng dari Tiongkok yang dipindahkan ke Medan.

Juli Rahmadhani Rambe, Medan

TIONGKOK: Bangunan Vihara Gunung Timur  sangat khas Tiongkok.//triadi wibowo/SUMUT POS
TIONGKOK: Bangunan Vihara Gunung Timur yang sangat khas Tiongkok.//triadi wibowo/SUMUT POS

Dengan warna dominan merah, kelenteng yang mulai dibuka untuk umum sejak tahun 1962 ini merupakan hasil gotong-royong seluruh warga Tionghoa di Medan. Penampilan vihara juga dibangun sama seperti asalnya, Tiongkok. Bahkan, nama vihara ini juga melambangkan tradisi suku ini. Dalam tradisi Tiongkok, timur bermakna mencari arah kebijakan, sedangkan gunung timur itu artinya tempat kebijakan.

Hal ini terlihat jelas saat melangkah masuk ke dalam vihara yang memiliki 20 tempat penyembahan. Yakni, 1 tempat penyembahan (yang juga dapat dikatakan kotak) dapat berisi 1 hingga 6 dewa atau dewi yang dipercaya oleh para penganut Buddha. Dan setiap Dewa atau Dewi ini memiliki peran penting dalam hidup manusia. “Kotak nomor 1 merupakan penyembahan untuk Tuhan. Nomor 2 untuk pemilik vihara (master), nomor 3 untuk memberikan keberuntungan dalam usaha. Sedangkan  nomor 6 untuk keluarga, mulai dari jodoh, anak dan lainnya. Begitu juga seterusnya. Jadi bisa dikatakan lebih dari 80 Dewa dan Dewi ada di vihara ini,” ungkap Alex Einthe, seorang karyawan dan pengurus Vihara Gunung Timur.

Untuk menentukan Dewa atau Dewi yang berada di kotak nomor berapa, tidak ada yang dapat mengetahui. “Letak Dewa dan Dewi tersebut seperti kelenteng yang di Tiongkok, tidak ada yang beda, karena itu kita bilang, bahwa kelenteng ini perpindahan kelenteng di Tiongkok,” ujarnya.

Meja-meja bundar berwarna merah juga terdapat di tengah vihara, ada 3 meja yang berfungsi sebagai tempat untuk penyajian berbagai sesaji. Kemudian, di sisi kiri dan kanan terdapat lahan kosong yang sedikit menurun dan terbuat dari papan. Tiang dalam vihara juga terlihat kokoh, sebagian tiang ditulis dengan berbagai kata-kata bijak Buddha dengan aksara Tiongkok.

Selain naga, ornamen yang sangat kental dengan budaya Tiongkok juga dapat dilihat melalui lampion yang bergelantungan di hampir setiap sudut bangunan. “Mulai dari buka hingga saat ini, belum ada perubahan dalam kelenteng, kecuali lampu lampion, yang pada umumnya akan kita ganti setahun sekali. Sedangkan untuk patung dewa dan dewi dibersihkan dari debu setahun sekali dengan kain bersih,” ungkapnya.

Awalnya, rumah ibadah ini hanya memiliki 2 gedung utama (yang saat ini untuk tempat 20 kotak tersebut). Tetapi, pada 1970-an, gedung untuk penyembahan ini mulai ditambah, khususnya untuk aliran Buddhis. Karena termasuk lengkap, tidak heran bila jemaat di vihara ini terus bertambah, hingga akhirnya dibangun berbagai gedung di sisi kiri dan kanan vihara yang berfungsi sebagai gudang.

“Dalam aliran Tao, ribuan Dewa dan Dewi yang dipercaya. Nah, di kelenteng kita lebih dari 80. Tergantung seseorang itu, percaya dan cocok dengan Dewa mana. Sedangkan untuk aliran Buddhis, hanya ada patung Buddha. Tidak ada yang lain,” ungkapnya.

Letak vihara yang tepat di depan Sungai Babura juga memiliki makna, seperti pada masa awal pembangunan vihara ini. “Air sungai selalu mengalir. Kita berharap, bahwa rezeki akan selalu mengalir, dan rasa kekeluargaan bagi para jemaat juga akan semakin kuat. Itu menurut Fengsui ya,” lanjutnya.
Setelah pembangunan gedung-gedung yang berfungsi sebagai gudang, letak vihara yang curam sering banjir bila musim hujan, karena air sungai meluap. Akhirnya diputuskan untuk membangun pagar yang bertujuan untuk mencegah masuknya air.

Walaupun termasuk vihara terbesar di Medan, tetapi di vihara ini minim perayaan. Umumnya, perayaan di kelenteng ini berdasarkan individu atau kelompok. Itupun jarang. “Perayaan paling besar kita saat bulan 7 atau sembahyang hantu. Imlek juga, tetapi itu kan tradisi kita, sisanya siapa yang mau sembahyang silakan kita sediakan tempat” ungkapnya.

Kelenteng ini dibuka untuk umum sejak pukul 08.00 WIB, tetapi kalau tutup tergantung. “Pintu depan vihara akan mulai ditutup pada pukul 17.00 WIB. Tetapi, masih boleh sembahyang hanya saja masuk dari pintu samping, yang ditutup paling lambat pada pukul 23.00 WIB,” lanjutnya.

Saat ini, vihara Gunung Timur ini sudah memiliki yayasan. Yayasan itu didirikan untuk memberikan kemudahan bagi siapa saja yang akan melakukan ibadah. Karena itu, di kelenteng ini menyediakan dupa dan lilin secara gratis. “Uang untuk perawatan vihara, dupa, dan lilin kita peroleh melalui sumbangan dari jemaat yang tidak pernah kita patokkan,” lanjutnya.

Sementara itu, menurut Sekretaris Pusat Penelitian Studi Ilmu Sosial dan Sejarah (PUSSIS) dari Unimed, Erond Damanik, pembangunan vihara ini sebagai bukti bahwa suku Tionghoa sudah lama berada dan eksis di Medan. Terbukti pada masa tersebut salah satu suku minoritas saat itu mampu membangun di daerah aliran sungai, yang pada masa itu sebagai jalur transportasi menuju Medan.

“Sejak Belanda menyatakan memindahkan pusat perdagangan dari Labuhan ke Medan, satu-satunya jalur transportasi adalah sungai. Dan mereka mampu membangun kelenteng yang tidak terpengaruh dengan budaya dari tempatnya berdiri. Padahal pada 1962 itu, budaya Melayu masih sangat kental,” ungkapnya.

Dijelaskannya, bentuk bangunan vihara ini juga sangat identik dengan Tiongkok, dapat dilihat melalui ornamen naga yang berada di atap vihara dan pintu masuk vihara. Bahkan, pada bagian depan tempat sembahyang juga terdapat replika naga yang berwarna emas. Pembagian ruang, warna dan tiang dalam vihara juga mengidentikkan hal tersebut.

Berbeda dengan vihara Setia Budi, dimana salah satu tokoh Tionghoa Medan, Tjong Afie sebagai salah satu penyumbang terbesar, Vihara Gunung Timur tidak memiliki donatur tetap. Ada berbagai jenis penyumbang, mulai dari yang kecil hingga yang besar. “Ini yang sampai saat ini masih mereka pertahankan, mereka tidak mau ada yang terbebani dengan yang namanya ibadah. Karena itu, mereka memberikan fasilitas seperti lilin dan dupa bagi jemaat yang ingin berdoa,” pungkasnya. (*)

Vihara Gunung Timur

Vihara Gunung Timur yang terletak di Jalan Hang Tuah No 16 Medan ini, merupakan salah satu vihara tertua kedua di Medan, setelah Vihara Setia Budi di Jalan Irian Barat. Dengan luas hampir 1 hektar, vihara ini merupakan replika kelenteng dari Tiongkok yang dipindahkan ke Medan.

Juli Rahmadhani Rambe, Medan

TIONGKOK: Bangunan Vihara Gunung Timur  sangat khas Tiongkok.//triadi wibowo/SUMUT POS
TIONGKOK: Bangunan Vihara Gunung Timur yang sangat khas Tiongkok.//triadi wibowo/SUMUT POS

Dengan warna dominan merah, kelenteng yang mulai dibuka untuk umum sejak tahun 1962 ini merupakan hasil gotong-royong seluruh warga Tionghoa di Medan. Penampilan vihara juga dibangun sama seperti asalnya, Tiongkok. Bahkan, nama vihara ini juga melambangkan tradisi suku ini. Dalam tradisi Tiongkok, timur bermakna mencari arah kebijakan, sedangkan gunung timur itu artinya tempat kebijakan.

Hal ini terlihat jelas saat melangkah masuk ke dalam vihara yang memiliki 20 tempat penyembahan. Yakni, 1 tempat penyembahan (yang juga dapat dikatakan kotak) dapat berisi 1 hingga 6 dewa atau dewi yang dipercaya oleh para penganut Buddha. Dan setiap Dewa atau Dewi ini memiliki peran penting dalam hidup manusia. “Kotak nomor 1 merupakan penyembahan untuk Tuhan. Nomor 2 untuk pemilik vihara (master), nomor 3 untuk memberikan keberuntungan dalam usaha. Sedangkan  nomor 6 untuk keluarga, mulai dari jodoh, anak dan lainnya. Begitu juga seterusnya. Jadi bisa dikatakan lebih dari 80 Dewa dan Dewi ada di vihara ini,” ungkap Alex Einthe, seorang karyawan dan pengurus Vihara Gunung Timur.

Untuk menentukan Dewa atau Dewi yang berada di kotak nomor berapa, tidak ada yang dapat mengetahui. “Letak Dewa dan Dewi tersebut seperti kelenteng yang di Tiongkok, tidak ada yang beda, karena itu kita bilang, bahwa kelenteng ini perpindahan kelenteng di Tiongkok,” ujarnya.

Meja-meja bundar berwarna merah juga terdapat di tengah vihara, ada 3 meja yang berfungsi sebagai tempat untuk penyajian berbagai sesaji. Kemudian, di sisi kiri dan kanan terdapat lahan kosong yang sedikit menurun dan terbuat dari papan. Tiang dalam vihara juga terlihat kokoh, sebagian tiang ditulis dengan berbagai kata-kata bijak Buddha dengan aksara Tiongkok.

Selain naga, ornamen yang sangat kental dengan budaya Tiongkok juga dapat dilihat melalui lampion yang bergelantungan di hampir setiap sudut bangunan. “Mulai dari buka hingga saat ini, belum ada perubahan dalam kelenteng, kecuali lampu lampion, yang pada umumnya akan kita ganti setahun sekali. Sedangkan untuk patung dewa dan dewi dibersihkan dari debu setahun sekali dengan kain bersih,” ungkapnya.

Awalnya, rumah ibadah ini hanya memiliki 2 gedung utama (yang saat ini untuk tempat 20 kotak tersebut). Tetapi, pada 1970-an, gedung untuk penyembahan ini mulai ditambah, khususnya untuk aliran Buddhis. Karena termasuk lengkap, tidak heran bila jemaat di vihara ini terus bertambah, hingga akhirnya dibangun berbagai gedung di sisi kiri dan kanan vihara yang berfungsi sebagai gudang.

“Dalam aliran Tao, ribuan Dewa dan Dewi yang dipercaya. Nah, di kelenteng kita lebih dari 80. Tergantung seseorang itu, percaya dan cocok dengan Dewa mana. Sedangkan untuk aliran Buddhis, hanya ada patung Buddha. Tidak ada yang lain,” ungkapnya.

Letak vihara yang tepat di depan Sungai Babura juga memiliki makna, seperti pada masa awal pembangunan vihara ini. “Air sungai selalu mengalir. Kita berharap, bahwa rezeki akan selalu mengalir, dan rasa kekeluargaan bagi para jemaat juga akan semakin kuat. Itu menurut Fengsui ya,” lanjutnya.
Setelah pembangunan gedung-gedung yang berfungsi sebagai gudang, letak vihara yang curam sering banjir bila musim hujan, karena air sungai meluap. Akhirnya diputuskan untuk membangun pagar yang bertujuan untuk mencegah masuknya air.

Walaupun termasuk vihara terbesar di Medan, tetapi di vihara ini minim perayaan. Umumnya, perayaan di kelenteng ini berdasarkan individu atau kelompok. Itupun jarang. “Perayaan paling besar kita saat bulan 7 atau sembahyang hantu. Imlek juga, tetapi itu kan tradisi kita, sisanya siapa yang mau sembahyang silakan kita sediakan tempat” ungkapnya.

Kelenteng ini dibuka untuk umum sejak pukul 08.00 WIB, tetapi kalau tutup tergantung. “Pintu depan vihara akan mulai ditutup pada pukul 17.00 WIB. Tetapi, masih boleh sembahyang hanya saja masuk dari pintu samping, yang ditutup paling lambat pada pukul 23.00 WIB,” lanjutnya.

Saat ini, vihara Gunung Timur ini sudah memiliki yayasan. Yayasan itu didirikan untuk memberikan kemudahan bagi siapa saja yang akan melakukan ibadah. Karena itu, di kelenteng ini menyediakan dupa dan lilin secara gratis. “Uang untuk perawatan vihara, dupa, dan lilin kita peroleh melalui sumbangan dari jemaat yang tidak pernah kita patokkan,” lanjutnya.

Sementara itu, menurut Sekretaris Pusat Penelitian Studi Ilmu Sosial dan Sejarah (PUSSIS) dari Unimed, Erond Damanik, pembangunan vihara ini sebagai bukti bahwa suku Tionghoa sudah lama berada dan eksis di Medan. Terbukti pada masa tersebut salah satu suku minoritas saat itu mampu membangun di daerah aliran sungai, yang pada masa itu sebagai jalur transportasi menuju Medan.

“Sejak Belanda menyatakan memindahkan pusat perdagangan dari Labuhan ke Medan, satu-satunya jalur transportasi adalah sungai. Dan mereka mampu membangun kelenteng yang tidak terpengaruh dengan budaya dari tempatnya berdiri. Padahal pada 1962 itu, budaya Melayu masih sangat kental,” ungkapnya.

Dijelaskannya, bentuk bangunan vihara ini juga sangat identik dengan Tiongkok, dapat dilihat melalui ornamen naga yang berada di atap vihara dan pintu masuk vihara. Bahkan, pada bagian depan tempat sembahyang juga terdapat replika naga yang berwarna emas. Pembagian ruang, warna dan tiang dalam vihara juga mengidentikkan hal tersebut.

Berbeda dengan vihara Setia Budi, dimana salah satu tokoh Tionghoa Medan, Tjong Afie sebagai salah satu penyumbang terbesar, Vihara Gunung Timur tidak memiliki donatur tetap. Ada berbagai jenis penyumbang, mulai dari yang kecil hingga yang besar. “Ini yang sampai saat ini masih mereka pertahankan, mereka tidak mau ada yang terbebani dengan yang namanya ibadah. Karena itu, mereka memberikan fasilitas seperti lilin dan dupa bagi jemaat yang ingin berdoa,” pungkasnya. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/