23.9 C
Medan
Sunday, June 23, 2024

Marelan Pusat Perkulakan Terbaru

FOTO: AMINOER RASYID/SUMUT POS Sejumlah kios penjualan sperpart mobil dan sepeda motor terpampang di Jalan Tritura Medan, Senin (24/3). Lokasi tersebut diduga tempat penampungan penjualan barang-barang hasil curian dan selundupan.
FOTO: AMINOER RASYID/SUMUT POS
Sejumlah kios penjualan sperpart mobil dan sepeda motor terpampang di Jalan Tritura Medan, Senin (24/3). Lokasi tersebut diduga tempat penampungan penjualan barang-barang hasil curian dan selundupan.

KAMIS (27/2) pukul 13.30 WIB. Sinar matahari begitu terik tatkala wartawan koran ini menghampiri salah satu pedagang loak sparepart motor di kawasan Jalan Tritura, Medan, tidak jauh dari persimpangan traffic light Jalan STM. Beberapa pedagang langsung menyambut kedatangan Sumut Pos.

 

“Cari apa, Bang? Coba lihat-lihat saja dulu,” ajak seorang pedagang. Tapi wartawan media ini tak menghiraukan dan lebih memilih pedagang yang berada persis di sebelahnya.

 

Setelah memarkirkan motor di pinggir jalan, Sumut Pos menghampiri seorang perempuan berusia sekitar 50-an tahun. Ia tengah duduk di kursi ditemani seorang lelaki setengah tua yang belakangan diketahui sebagai suaminya.

 

“Cari apa ya, Dek?” tanyanya. Seketika Sumut Pos menawarkan sepeda motor tarikan untuk ‘dicincang’. “Motor apa? Ada STNK-nya nggak?  Kalau tak ada, kami nggak berani. Ada penjual yang pernah dijebak polisi,” tukasnya.

 

Saat ditanya siapa penjual yang berurusan dengan polisi itu, perempuan bertubuh gemuk itu tak menjawab. Ia meminta Sumut Pos membawa motor dimaksud. “Bawa dulu lah motor, sekalian STNK-nya,” dia mengalihkan topik pembicaraan.

 

Gagal mengorek informasi dari si ibu, Sumut Pos mendatangi penjual lain yang berjarak tiga kios. Tak lama seorang lelaki bertopi menghampiri. “Cari apa ya, Bang?” tanyanya. Sejurus Sumut Pos berlagak hendak membuka kios jual-beli onderdil motor bekas.

 

“Kalau di sini sewa kiosnya mahal, Bos! Kalau mau sekitar Rp15 juta. Ada juga sampai Rp20 juta setahun. Kebetulan ada yang kosong, cuma pemiliknya sedang keluar kota. Kalau tempat ini punya sendiri, kebetulan rumah peninggalan orangtua,” katanya.

 

Setelah berbasa-basi sebentar, si penjual memberitahu barang-barang jualannya diperoleh dari daerah Marelan. “Kebanyakan dari Marelan, tapi ada yang kami beli dari orang yang  menjual eceran,” jawabnya. Dipancing apa menampung motor yang hendak ‘dicincang’, dia tak menolak.

 

“Kalau ada STNK kami berani, Bang! Kalau nggak ada, kami nggak berani. Soalnya ada yang pernah ditangkap,” elaknya. Saat ditanya-tanya lebih jauh, si penjual malah memilih menghindar. Dia langsung masuk ke dalam kios. Setelah ditunggu beberapa menit, si lelaki bertopi tak kunjung keluar.

 

Toh, wartawan koran ini cukup beruntung bertemu seseorang yang sempat berjualan onderdil motor bekas di kawasan Jalan Tritura. Sebut saja Rinto (bukan nama asli, Red), warga Medan Johor. Lelaki 40-an tahun itu cerita panjang-lebar soal bisnis onderdil bekas saat didatangi di kediamannya akhir Februari lalu.

 

Dia mengaku awalnya menjadi pekerja di salah satu kios. Setelah tiga tahun, dia memberanikan diri membuka kios sparepart sendiri bermodal seadanya. Kios miliknya itu dibangun dengan kayu dan bambu. Barang-barang digantung dengan tali, sebagian yang tak muat diletakkan di bawah. Gara-gara tak punya modal yang cukup kuat, setelah berjualan tujuh tahun dari tahun 2000 hingga 2007, akhirnya usaha itu terpaksa gulung-tikar.

 

Selain di kawasan Jalan Tritura, dia menyebutkan, lokasi serupa ada di daerah Pasar III Tembung. Ada lagi sejumlah kios dadakan yang berlokasi di daerah Jalan Menteng (di bawah jalan layang) dan areal Ringroad di Pondok Kelapa. Belakangan muncul pula penjaja barang serupa di Jalan Gaperta dengan memanfaatkan becak motor. Alasan penjualnya biar mudah kabur saat ada razia Satpol PP.

 

“Kebanyakan para pedagang mengambil barang di Marelan. Kalau mau lebih murah ada di Jalan Salak, Tanjung Balai. Di sana pasarnya sepi, nggak kayak di Medan,” sebut bapak satu anak ini.

 

Barang-barang jualan itu tak cuma diburu sendiri. Hunting istilahnya. Cukup banyak yang datang menawarkan per item. Misalnya ada yang cuma menjual shock depan atau belakang, knalpot, velg, sayap, dan komponen lainnya. Si penjual mencontohkan, shock belakang dihargai Rp50 ribu dari penjual, tapi bisa dijual Rp100 ribu hingga Rp120 ribu.

 

‘’Satu barang bisa untung dua kali lipat. Apalagi kalau kondisinya masih tergolong sangat bagus. Bisa-bisa lebih,’’ jelasnya. Pengalaman lain adalah tawaran borongan.

 

Ada saja pihak leasing atau pemilik motor yang dikejar-kejar leasing untuk mengembalikan motor yang menunggak kredit. Jika begitu, si penunggak kredit akan menawarkan motornya kepada pemilik kios untuk ‘dicincang’. Setelah negosiasi dan cocok harga, motor lalu ‘dicincang’ di suatu tempat tersembunyi. Biasanya kerja ini dilakukan malam hari.

 

“Syaratnya harus tunjukkan STNK dan fotokopi KTP. Motor curian pun ada juga dari awal dikasih tahu. Kalau pemakai biasanya mereka minta pengganti uang muka sekitar Rp500 ribu sampai Rp1 juta,” bebernya sembari berjanji menghubungkan Sumut Pos dengan seseorang di kawasan Marelan yang tahu betul pernak-pernik ‘operasi’ tersembunyi tersebut.

 

Seperti hari-hari sebelumnya, aktivitas pedagang onderdil sepeda motor bekas di Jalan Marelan Raya/ Jalan Veteran Pasar VI Desa Manunggal, Helvetia, ramai dikunjungi pembeli. Hilir-mudik pemburu sparepart bekas pakai itu silih berganti.

 

Di sepanjang kawasan itu, selain penjual suku cadang bekas ada juga sejumlah toko yang menjual barang baru. Ada juga 2-3 bengkel motor di sana. Penyalur (dealer) motor resmi dan motor bekas juga berdiri di daerah tersebut. Mulai dari Jalan Marelan Raya hingga Jalan Veteran.

 

Cuaca cukup bersahabat saat Sumut Pos menyambangi kawasan Marelan pada Sabtu (1/3).  Baru saja memarkirkan motor, seorang lelaki paruh baya bertopi hitam hingga separuh dahi bergegas menghampiri. Melihat ada celah mengorek informasi, wartawan koran ini bertanya soal harga sewa kios di tempat itu.

 

“Nggak tahu persis, Bang! Saya cuma penjaga. Tapi yang saya dengar-dengar sekitar Rp5-8 juta setahun,” ucapnya dengan wajah yang terlihat letih.

 

“Kalau yang punya (kios) ini sudah 10 tahun lebih di sini. Memang tempat ini yang paling jelek, tapi saya rasa yang pertama berdiri begitu pengaspalan selesai. Dulu di seberang kios ini cuma kebun-kebun. Tak ada rumah atau kios,” ungkap lelaki yang mengaku tinggal di Tembung ini.

 

Konon, kata dia, jika ada yang menekuni bisnis ini, dalam tiga tahun saja bisa membeli tanah sekitar 100 meter persegi di daerah itu. Kalau bertahan lima tahun bisa membangun rumah, asalkan tekun dan sabar. Begitupun, dia menambahkan, bisnis seperti itu mengandung risiko cukup besar. Salah-salah langkah bisa dituduh penadah.

 

Lelaki ini berterus-terang onderdil yang dilegonya tak melulu barang legal. Ada banyak barang ‘panas’ alias onderdil yang tak jelas asal-muasalnya. Begitupun dia tak bersedia membuka mulut dimana tempat mendapatkan onderdil berharga miring tersebut.

 

“Jangan tanya itu lah. Lagi pula nggak usah dicari, ada saja orang yang menawarkan ‘barang panas’. Entah itu motor curian atau onderdil yang digelapkan oleh orang dealer. Bisa saja,” jelasnya. Untuk motor curian, kata dia, umumnya dilego dalam satu paket. Misalnya knalpot, speedometer, velg, shockbreaker, cakram, tangki, dan lainnya.

 

Benar saja. Saat asyik berbincang mendadak dua remaja menghampiri kios tersebut. Remaja yang dibonceng menenteng sayap sepeda motor merek Yamaha Jupiter biru. “Wak, aku mau jual sayap nih, mau nggak? ” tanya pemuda itu kepada penjaga kios sembari memperlihatkan bawaannya. Spontan, lelaki paruh baya ini menolaknya mentah-mentah.

 

“Nggak,” jawabnya dengan air muka curiga. “Ya kayak itu tadi. Cukup sering yang menawarkan ke sini. Lihat saja barangnya masih terlihat baru. Kalau bukan hasil curian dari mana dia dapat?” katanya.

 

Si penjual mengaku pernah tergiur juga mengingat laba menjual kembali lumayan besar. Hanya saja nafsu meraup untung banyak itu kandas di tengah jalan lantaran teringat risiko hukum yang dihadapinya kelak. Biasanya barang-barang itu

dijual separuh dari harga onderdil baru. ‘’Sudah ya, saya mau tutup. Saya mau istirahat dulu,” ucapnya sembari berjalan ke dalam kios.

 

Pengakuan terbuka justru didapatkan Sumut Pos saat bertandang ke kios lain yang berjarak delapan kios dari tempat sebelumnya. Di kios itu seorang perempuan berusia sekitar 40-an tahun dan pemuda 20-an tahun tengah duduk menjaga kiosnya yang luamyan lengkap. Saat ditanyai, si pemuda malah tak menampik sebagian besar barang yang diperoleh berasal dari motor ‘kokangan’.

 

Dia mengaku ekstra hati-hari membeli barang ‘kokangan’ untuk dijual kembali lantaran takut dijebak polisi. Kendati begitu, katanya, bulan-bulan belakangan ini mulai jarang yang menawarkan barang sejenis. ‘’Saya terima kok kalau ada motor yang mau dikokang. Bisa di kios ini kokangnya atau di tempat lain. Terserah saja,” katanya sembari menyebutkan sejumlah pedagang onderdil seken di Jalan Tritura yang   sering menjadi pelanggannya. (tim/bersambung)

FOTO: AMINOER RASYID/SUMUT POS Sejumlah kios penjualan sperpart mobil dan sepeda motor terpampang di Jalan Tritura Medan, Senin (24/3). Lokasi tersebut diduga tempat penampungan penjualan barang-barang hasil curian dan selundupan.
FOTO: AMINOER RASYID/SUMUT POS
Sejumlah kios penjualan sperpart mobil dan sepeda motor terpampang di Jalan Tritura Medan, Senin (24/3). Lokasi tersebut diduga tempat penampungan penjualan barang-barang hasil curian dan selundupan.

KAMIS (27/2) pukul 13.30 WIB. Sinar matahari begitu terik tatkala wartawan koran ini menghampiri salah satu pedagang loak sparepart motor di kawasan Jalan Tritura, Medan, tidak jauh dari persimpangan traffic light Jalan STM. Beberapa pedagang langsung menyambut kedatangan Sumut Pos.

 

“Cari apa, Bang? Coba lihat-lihat saja dulu,” ajak seorang pedagang. Tapi wartawan media ini tak menghiraukan dan lebih memilih pedagang yang berada persis di sebelahnya.

 

Setelah memarkirkan motor di pinggir jalan, Sumut Pos menghampiri seorang perempuan berusia sekitar 50-an tahun. Ia tengah duduk di kursi ditemani seorang lelaki setengah tua yang belakangan diketahui sebagai suaminya.

 

“Cari apa ya, Dek?” tanyanya. Seketika Sumut Pos menawarkan sepeda motor tarikan untuk ‘dicincang’. “Motor apa? Ada STNK-nya nggak?  Kalau tak ada, kami nggak berani. Ada penjual yang pernah dijebak polisi,” tukasnya.

 

Saat ditanya siapa penjual yang berurusan dengan polisi itu, perempuan bertubuh gemuk itu tak menjawab. Ia meminta Sumut Pos membawa motor dimaksud. “Bawa dulu lah motor, sekalian STNK-nya,” dia mengalihkan topik pembicaraan.

 

Gagal mengorek informasi dari si ibu, Sumut Pos mendatangi penjual lain yang berjarak tiga kios. Tak lama seorang lelaki bertopi menghampiri. “Cari apa ya, Bang?” tanyanya. Sejurus Sumut Pos berlagak hendak membuka kios jual-beli onderdil motor bekas.

 

“Kalau di sini sewa kiosnya mahal, Bos! Kalau mau sekitar Rp15 juta. Ada juga sampai Rp20 juta setahun. Kebetulan ada yang kosong, cuma pemiliknya sedang keluar kota. Kalau tempat ini punya sendiri, kebetulan rumah peninggalan orangtua,” katanya.

 

Setelah berbasa-basi sebentar, si penjual memberitahu barang-barang jualannya diperoleh dari daerah Marelan. “Kebanyakan dari Marelan, tapi ada yang kami beli dari orang yang  menjual eceran,” jawabnya. Dipancing apa menampung motor yang hendak ‘dicincang’, dia tak menolak.

 

“Kalau ada STNK kami berani, Bang! Kalau nggak ada, kami nggak berani. Soalnya ada yang pernah ditangkap,” elaknya. Saat ditanya-tanya lebih jauh, si penjual malah memilih menghindar. Dia langsung masuk ke dalam kios. Setelah ditunggu beberapa menit, si lelaki bertopi tak kunjung keluar.

 

Toh, wartawan koran ini cukup beruntung bertemu seseorang yang sempat berjualan onderdil motor bekas di kawasan Jalan Tritura. Sebut saja Rinto (bukan nama asli, Red), warga Medan Johor. Lelaki 40-an tahun itu cerita panjang-lebar soal bisnis onderdil bekas saat didatangi di kediamannya akhir Februari lalu.

 

Dia mengaku awalnya menjadi pekerja di salah satu kios. Setelah tiga tahun, dia memberanikan diri membuka kios sparepart sendiri bermodal seadanya. Kios miliknya itu dibangun dengan kayu dan bambu. Barang-barang digantung dengan tali, sebagian yang tak muat diletakkan di bawah. Gara-gara tak punya modal yang cukup kuat, setelah berjualan tujuh tahun dari tahun 2000 hingga 2007, akhirnya usaha itu terpaksa gulung-tikar.

 

Selain di kawasan Jalan Tritura, dia menyebutkan, lokasi serupa ada di daerah Pasar III Tembung. Ada lagi sejumlah kios dadakan yang berlokasi di daerah Jalan Menteng (di bawah jalan layang) dan areal Ringroad di Pondok Kelapa. Belakangan muncul pula penjaja barang serupa di Jalan Gaperta dengan memanfaatkan becak motor. Alasan penjualnya biar mudah kabur saat ada razia Satpol PP.

 

“Kebanyakan para pedagang mengambil barang di Marelan. Kalau mau lebih murah ada di Jalan Salak, Tanjung Balai. Di sana pasarnya sepi, nggak kayak di Medan,” sebut bapak satu anak ini.

 

Barang-barang jualan itu tak cuma diburu sendiri. Hunting istilahnya. Cukup banyak yang datang menawarkan per item. Misalnya ada yang cuma menjual shock depan atau belakang, knalpot, velg, sayap, dan komponen lainnya. Si penjual mencontohkan, shock belakang dihargai Rp50 ribu dari penjual, tapi bisa dijual Rp100 ribu hingga Rp120 ribu.

 

‘’Satu barang bisa untung dua kali lipat. Apalagi kalau kondisinya masih tergolong sangat bagus. Bisa-bisa lebih,’’ jelasnya. Pengalaman lain adalah tawaran borongan.

 

Ada saja pihak leasing atau pemilik motor yang dikejar-kejar leasing untuk mengembalikan motor yang menunggak kredit. Jika begitu, si penunggak kredit akan menawarkan motornya kepada pemilik kios untuk ‘dicincang’. Setelah negosiasi dan cocok harga, motor lalu ‘dicincang’ di suatu tempat tersembunyi. Biasanya kerja ini dilakukan malam hari.

 

“Syaratnya harus tunjukkan STNK dan fotokopi KTP. Motor curian pun ada juga dari awal dikasih tahu. Kalau pemakai biasanya mereka minta pengganti uang muka sekitar Rp500 ribu sampai Rp1 juta,” bebernya sembari berjanji menghubungkan Sumut Pos dengan seseorang di kawasan Marelan yang tahu betul pernak-pernik ‘operasi’ tersembunyi tersebut.

 

Seperti hari-hari sebelumnya, aktivitas pedagang onderdil sepeda motor bekas di Jalan Marelan Raya/ Jalan Veteran Pasar VI Desa Manunggal, Helvetia, ramai dikunjungi pembeli. Hilir-mudik pemburu sparepart bekas pakai itu silih berganti.

 

Di sepanjang kawasan itu, selain penjual suku cadang bekas ada juga sejumlah toko yang menjual barang baru. Ada juga 2-3 bengkel motor di sana. Penyalur (dealer) motor resmi dan motor bekas juga berdiri di daerah tersebut. Mulai dari Jalan Marelan Raya hingga Jalan Veteran.

 

Cuaca cukup bersahabat saat Sumut Pos menyambangi kawasan Marelan pada Sabtu (1/3).  Baru saja memarkirkan motor, seorang lelaki paruh baya bertopi hitam hingga separuh dahi bergegas menghampiri. Melihat ada celah mengorek informasi, wartawan koran ini bertanya soal harga sewa kios di tempat itu.

 

“Nggak tahu persis, Bang! Saya cuma penjaga. Tapi yang saya dengar-dengar sekitar Rp5-8 juta setahun,” ucapnya dengan wajah yang terlihat letih.

 

“Kalau yang punya (kios) ini sudah 10 tahun lebih di sini. Memang tempat ini yang paling jelek, tapi saya rasa yang pertama berdiri begitu pengaspalan selesai. Dulu di seberang kios ini cuma kebun-kebun. Tak ada rumah atau kios,” ungkap lelaki yang mengaku tinggal di Tembung ini.

 

Konon, kata dia, jika ada yang menekuni bisnis ini, dalam tiga tahun saja bisa membeli tanah sekitar 100 meter persegi di daerah itu. Kalau bertahan lima tahun bisa membangun rumah, asalkan tekun dan sabar. Begitupun, dia menambahkan, bisnis seperti itu mengandung risiko cukup besar. Salah-salah langkah bisa dituduh penadah.

 

Lelaki ini berterus-terang onderdil yang dilegonya tak melulu barang legal. Ada banyak barang ‘panas’ alias onderdil yang tak jelas asal-muasalnya. Begitupun dia tak bersedia membuka mulut dimana tempat mendapatkan onderdil berharga miring tersebut.

 

“Jangan tanya itu lah. Lagi pula nggak usah dicari, ada saja orang yang menawarkan ‘barang panas’. Entah itu motor curian atau onderdil yang digelapkan oleh orang dealer. Bisa saja,” jelasnya. Untuk motor curian, kata dia, umumnya dilego dalam satu paket. Misalnya knalpot, speedometer, velg, shockbreaker, cakram, tangki, dan lainnya.

 

Benar saja. Saat asyik berbincang mendadak dua remaja menghampiri kios tersebut. Remaja yang dibonceng menenteng sayap sepeda motor merek Yamaha Jupiter biru. “Wak, aku mau jual sayap nih, mau nggak? ” tanya pemuda itu kepada penjaga kios sembari memperlihatkan bawaannya. Spontan, lelaki paruh baya ini menolaknya mentah-mentah.

 

“Nggak,” jawabnya dengan air muka curiga. “Ya kayak itu tadi. Cukup sering yang menawarkan ke sini. Lihat saja barangnya masih terlihat baru. Kalau bukan hasil curian dari mana dia dapat?” katanya.

 

Si penjual mengaku pernah tergiur juga mengingat laba menjual kembali lumayan besar. Hanya saja nafsu meraup untung banyak itu kandas di tengah jalan lantaran teringat risiko hukum yang dihadapinya kelak. Biasanya barang-barang itu

dijual separuh dari harga onderdil baru. ‘’Sudah ya, saya mau tutup. Saya mau istirahat dulu,” ucapnya sembari berjalan ke dalam kios.

 

Pengakuan terbuka justru didapatkan Sumut Pos saat bertandang ke kios lain yang berjarak delapan kios dari tempat sebelumnya. Di kios itu seorang perempuan berusia sekitar 40-an tahun dan pemuda 20-an tahun tengah duduk menjaga kiosnya yang luamyan lengkap. Saat ditanyai, si pemuda malah tak menampik sebagian besar barang yang diperoleh berasal dari motor ‘kokangan’.

 

Dia mengaku ekstra hati-hari membeli barang ‘kokangan’ untuk dijual kembali lantaran takut dijebak polisi. Kendati begitu, katanya, bulan-bulan belakangan ini mulai jarang yang menawarkan barang sejenis. ‘’Saya terima kok kalau ada motor yang mau dikokang. Bisa di kios ini kokangnya atau di tempat lain. Terserah saja,” katanya sembari menyebutkan sejumlah pedagang onderdil seken di Jalan Tritura yang   sering menjadi pelanggannya. (tim/bersambung)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/