28 C
Medan
Thursday, May 2, 2024

Pertuni Rindu Sosok Peduli Penyandang Disabilitas

MENYAMPAIKAN HARAPAN: Saat menghadiri acara Pelatihan Panduan Media Untuk Pemberitaan Pemilu Akses oleh JPPR, Pengurus Pertuni Medan menyampaikan harapan sosok yang peduli penyandang disabilitas.
DIKA/SUMUT POS

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Penyandang disabilitas saat ini dinilai belum mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Oleh karena itu, pengurus persatuan tuna netra Indonesia (Pertuni) merindukan pemimpin di Sumut yang lahir pada Pilkada 2018 dapat lebih memikirkan nasib para penyandang disabilitas.

Pengurus Pertuni Medan Norman Ritonga mengaku punya pertimbangan khusus sebelum menentukan calon setelah melalui proses kampanye pada ajang Pilkada. “Harapan utamanya pemimpin kedepan dapat lebih memikirkan nasib penyandang disabilitas,” ujarnya saat menghadiri acara Pelatihan Panduan Media Untuk Pemberitaan Pemilu Akses oleh Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) di Hotel Santika, kemarin.

Kata dia, tahapan kampanye pada pemilihan umum (Pemilu) atau pemilihan kepala daerah (Pilkada) menjadi momen bagi kelompok disabilitas untuk menilai mana calon yang layak untuk dipilih sesuai pertimbangan masing-masing. Disebutkannya, dikalangan internal penyandang disabilitas sering terjadi perdebatan-perdebatan mengenai sosok calon kepala daerah yang akan dipilih. Sebab, tidak semua penyandang disabilitas memiliki kemampuan menganalisis calon kepala daerah.

Sehingga dengan perdebatan tersebut, tercipta kelompok-kelompok kecil dari perkumpulan mereka, yang berbeda pilihan. Bahkan, dirinya menjadi salah satu yang bisa memberikan pengaruh kepada rekan lainnya termasuk keluarganya.

“Banyak pertimbangan kita, seperti programnya apa saja, bagaimana seorang calon (peserta pemilu/pilkada) yang kita ketahui, dan beberapa lagi. Tetapi saya juga tidak bisa memaksakan, hanya menyarankan,” sebutnya.

Dari pilihan itu, Norman sedikit mengkritik penyelenggaraan pemilu/pilkada yang masih kurang efisien dari segi waktu. Pasalnya, pengalaman yang ia jalani selama mengikuti pesta demokrasi, daftar tunggu yang terlalu lama dan syarat pencoblosan menggunakan template khusus bagi penyandang tuna netra, dinilai kurang tepat bahkan pemborosan.

“Daftar tunggu itu yang lama kalau di TPS, apalagi seperti saya kan ada orang yang saya percayai, anak saya, tetapi malah jadi lambat, katanya sudah ada petugas yang mendampingi. Maunya untuk kita itu pakai pendamping saja, jadi lagi lama-lama untuk mencoblos,” pungkasnya.

Muhammad Zaid, Program Officer JPPR/Agenda mengatakan bahwa ada sebuah aturan yang mendeskriditkan penyandang tuna mental. Dimana, penyandang tuna mental baru bisa menggunakan hak suara ketika mendapat rekomendasi dari dokter.

“Aturan itu sudah digugat ke MK dan dibatalkan, aturannya menjadi penyandang mental tidak bisa menggunakan hak pilih ketika ada surat rekomendasi dari dokter,” sebutnya.

Ketika aturan itu diberlakukan, maka hak suara penyandang tuna mental itu dirampas. “Pertanyaannya apakah penyandang mental secara keseluruhan tidak bisa menggunakan hak pilihnya, kan tidak. Makanya aturan itu dibatalkan dan dirubah oleh MK,” sebutnya.

Melalui kegiatan ini, dia mengaku ingin memberikan pencerahan kepada pada jurnalis agar lebih menggunakan perspektif lain ketika menulis tentang penyandang disabilitas ketika ada agenda pemilu dan Pilkada. (dik/yaa)

MENYAMPAIKAN HARAPAN: Saat menghadiri acara Pelatihan Panduan Media Untuk Pemberitaan Pemilu Akses oleh JPPR, Pengurus Pertuni Medan menyampaikan harapan sosok yang peduli penyandang disabilitas.
DIKA/SUMUT POS

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Penyandang disabilitas saat ini dinilai belum mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Oleh karena itu, pengurus persatuan tuna netra Indonesia (Pertuni) merindukan pemimpin di Sumut yang lahir pada Pilkada 2018 dapat lebih memikirkan nasib para penyandang disabilitas.

Pengurus Pertuni Medan Norman Ritonga mengaku punya pertimbangan khusus sebelum menentukan calon setelah melalui proses kampanye pada ajang Pilkada. “Harapan utamanya pemimpin kedepan dapat lebih memikirkan nasib penyandang disabilitas,” ujarnya saat menghadiri acara Pelatihan Panduan Media Untuk Pemberitaan Pemilu Akses oleh Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) di Hotel Santika, kemarin.

Kata dia, tahapan kampanye pada pemilihan umum (Pemilu) atau pemilihan kepala daerah (Pilkada) menjadi momen bagi kelompok disabilitas untuk menilai mana calon yang layak untuk dipilih sesuai pertimbangan masing-masing. Disebutkannya, dikalangan internal penyandang disabilitas sering terjadi perdebatan-perdebatan mengenai sosok calon kepala daerah yang akan dipilih. Sebab, tidak semua penyandang disabilitas memiliki kemampuan menganalisis calon kepala daerah.

Sehingga dengan perdebatan tersebut, tercipta kelompok-kelompok kecil dari perkumpulan mereka, yang berbeda pilihan. Bahkan, dirinya menjadi salah satu yang bisa memberikan pengaruh kepada rekan lainnya termasuk keluarganya.

“Banyak pertimbangan kita, seperti programnya apa saja, bagaimana seorang calon (peserta pemilu/pilkada) yang kita ketahui, dan beberapa lagi. Tetapi saya juga tidak bisa memaksakan, hanya menyarankan,” sebutnya.

Dari pilihan itu, Norman sedikit mengkritik penyelenggaraan pemilu/pilkada yang masih kurang efisien dari segi waktu. Pasalnya, pengalaman yang ia jalani selama mengikuti pesta demokrasi, daftar tunggu yang terlalu lama dan syarat pencoblosan menggunakan template khusus bagi penyandang tuna netra, dinilai kurang tepat bahkan pemborosan.

“Daftar tunggu itu yang lama kalau di TPS, apalagi seperti saya kan ada orang yang saya percayai, anak saya, tetapi malah jadi lambat, katanya sudah ada petugas yang mendampingi. Maunya untuk kita itu pakai pendamping saja, jadi lagi lama-lama untuk mencoblos,” pungkasnya.

Muhammad Zaid, Program Officer JPPR/Agenda mengatakan bahwa ada sebuah aturan yang mendeskriditkan penyandang tuna mental. Dimana, penyandang tuna mental baru bisa menggunakan hak suara ketika mendapat rekomendasi dari dokter.

“Aturan itu sudah digugat ke MK dan dibatalkan, aturannya menjadi penyandang mental tidak bisa menggunakan hak pilih ketika ada surat rekomendasi dari dokter,” sebutnya.

Ketika aturan itu diberlakukan, maka hak suara penyandang tuna mental itu dirampas. “Pertanyaannya apakah penyandang mental secara keseluruhan tidak bisa menggunakan hak pilihnya, kan tidak. Makanya aturan itu dibatalkan dan dirubah oleh MK,” sebutnya.

Melalui kegiatan ini, dia mengaku ingin memberikan pencerahan kepada pada jurnalis agar lebih menggunakan perspektif lain ketika menulis tentang penyandang disabilitas ketika ada agenda pemilu dan Pilkada. (dik/yaa)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/