31.7 C
Medan
Thursday, May 16, 2024

Melihat Tempat Sejarah di Medan, Masjid Al Osmani (4)

Dibangun Menggunakan Batu, Kapur, Garam, dan Putih Telur

Mendengar nama Masjid Labuhan atau Masjid Kuning, teringat kita akan sejarah kejayaan Kesultanan Deli di masa lampau. Ya, Masjid Al Osmani. Masjid bersejarah peninggalan abad ke-19 itu hingga kini masih
berdiri kokoh.

Letak masjid ini sekitar empat kilometer sebelah utara sebelum sampai ke Pelabuhan Belawan, persisnya di Jalan KL Yos Sudarso Km 19,5 Kelurahan Pekan Labuhan Kecamatan Medan Labuhan.

Sejarah masjid Al Osmani itu bermula dari Tuanku Panglima Pasutan memindahkan pusat kerajaannya dari Padang Datar sebutan Kota Medan masa itu, ke Kampung Alai atau Labuhan Deli. Di daerah Labuhan Deli, Tuanku Panglima Pasutan membangun istana Kesultanan Deli dan berkuasa dari tahun 1728-1761.

Kepemimpinan Kesultanan Deli itu pun kemudian dilanjutkan oleh Tuanku Panglima Gandar Wahid hingga tahun 1805. Dari tahun 1805-1850 Kesultanan Deli diteruskan dan dipimpin oleh putranya, Sultan Amaluddin Perkasa Alam (Amaluddin Mangendar). Di masa itu, kerajaan masih belum memiliki bangunan masjid, baik beribadah maupun kegiatan keagamaan dilaksanakan di sekitar lingkungan istana.

Pada masa kesultanan, Osman Perkasa Alam adalah putra dari Sultan Amaluddin Perkasa Alam, pembangunan masjid mulai didirikan pada 1854. Masjid Al Osmani berada di pinggiran jalan raya itu dulunya merupakan masjid pertama dibangun pada masa Kesultanan Deli.

Kala itu, pada masa Sultan Deli VII, Osman Perkasa Alam, pembangunan masjid persis berada di depan istana Kesultanan Deli tersebut menggunakan material bangunan berbahan kayu pilihan. “Nama masjid Al Osmani ini diambil dari nama Sultan Deli VII, Osman Perkasa Alam.

Karena pada masa kepemimpinannyalah masjid ini berdiri,” ujar Ahmad Fahruni pengurus masjid Al Osmani mengawali pembicara, Rabu (10/10) kemarin.

Setelah berdirinya bangunan masjid berlantai panggung, Sultan Osman Perkasa Alam bersama para pengikutnya beribadah dan bahkan melaksanakan salat Jumat di masjid yang berhadapan langsung dengan istananya. “Tapi sekarang keberadaan istana sudah tidak ada dan sekarang telah berdiri bangunan sekolah,” katanya.

Selama delapan belas tahun berdiri, akhirnya pada 1870-1872 masjid yang terbuat dari kayu, kemudian dibangun secara permanen oleh Sultan Mahmud Perkasa Alam (Mahmud Al Rasyid) putra dari Sultan Osman Perkasa Alam yang merupakan Sultan Deli VIII. Pada masa itu, rakyat dan Kesultanan Deli hidup dalam kemakmuran dari hasil menjual rempah-rempah dan tembakau. Bahkan rezeki yang berlimpah ketika itu sebagian digunakan, Sultan Mahmud Perkasa Alam menjadikan Masjid Al Osmani sebagai bangun megah.

“Sultan saat itu mendatangkan tenaga arsitek dari Belanda dan Jerman yang disewanya untuk kembali merenovasi masjid dengan bahan bangunan terbuat dari batu, kapur dan garam yang dicampur putih telur,” lanjutnya.

Untuk warna bangunan masjid, Sultan Mahmud Perkasa Alam kala itu memilih warna kuning dan hijau. Kedua warna tersebut merupakan warna kebesaran Melayu dan Islam. “Kalau warna kuning itu warna kebesaran Melayu, sedang hijau warna kebesaran Islam,” sebut dia.

Beberapa tahun setelah pembangunan masjid, istana pun terpaksa dipindah kembali ke daerah Padang Datar atau Kota Medan, itu terjadi karena Kesultanan Deli dikuasai oleh Belanda. Dan pada 26 Agustus 1888 Istana Maimun dibangun dan selesai pada 18 Mei 1891. Setelah pembangunan istana rampung, pembangunan masjid baru dengan nama Masjid Al Mashun juga dikerjakan pada 1907 dan selesai dibangun pada tahun 1909.

Sedangkan istana di Labuhan dan bangunan masjid Al Osmani ditinggalkan. Seiring waktu istana itu lenyap, berganti dengan bangunan sekolah. Sementara, Masjid Al Osmani tetap dirawat dan dijaga masyarakat setempat.

Pada 1927, bangunan masjid sempat direhab oleh Maatschappij. Dan, pada 1963-1964 masjid yang merupakan bukti dari perjalanan panjang sejarah Kesultanan Deli ini kembali direhab oleh Dirut Tembakau Deli II, T Burhanuddin. Pada 1977 melalui dana bantuan Presiden RI bangunan masjid direhab lagi, serta terakhir atas prakarsa Wali Kota Medan H Bactiar Djafar pada 1991-1992 bangunan masjid Al Osmani kembali dipugar.

Setelah mengalami renovasi dan penambahan bagngunan di bagian belakang, namun Masjid Al Osmani tetap terjaga keaslian bentuknya yang merupakana perpaduan Timur Tengah, India, Spanyol, Melayu, dan China.

Di sekitar masjid juga terdapat tiga pintu utama berukuran besar berada di utara, timur, dan selatan. “Dulunya ketiga pintu itu hanya digunakan oleh para raja. Sedangkan rakyat masuk melalui empat pintu berukuran kecil, dan dua pintu di antaranya mengapit pintu utama,” ujarnya

Pada bagian dalam masjid berkapasitas 500 lebih jamaah itu terdapat empat tiang besar dan kokoh, tiang itu berfungsi sebagai penyangga utama kubah masjid yang tergolong berukuran besar dibandingkan kubah mesjid lainnya.

“Empat penyangga itu juga mempunyai arti yaitu, menjunjung empat sifat kenabian. Pertama sidiq berarti benar, kedua amanah yang artinya dapat dipercaya, ketiga fathonah artinya pintar, dan tabligh artinya menyampaikan,” terangnya.

Hingga kini, selain digunakan sebagai tempat beribadah, masjid itu juga dipakai sebagai tempat peringatan dan perayaan hari besar keagamaan dan sempat digunakan sebagai tempat pemberangkatan menuju pemondokan jamaah haji yang berasal dari Medan Bagian Utara. (bersambung)

Dibangun Menggunakan Batu, Kapur, Garam, dan Putih Telur

Mendengar nama Masjid Labuhan atau Masjid Kuning, teringat kita akan sejarah kejayaan Kesultanan Deli di masa lampau. Ya, Masjid Al Osmani. Masjid bersejarah peninggalan abad ke-19 itu hingga kini masih
berdiri kokoh.

Letak masjid ini sekitar empat kilometer sebelah utara sebelum sampai ke Pelabuhan Belawan, persisnya di Jalan KL Yos Sudarso Km 19,5 Kelurahan Pekan Labuhan Kecamatan Medan Labuhan.

Sejarah masjid Al Osmani itu bermula dari Tuanku Panglima Pasutan memindahkan pusat kerajaannya dari Padang Datar sebutan Kota Medan masa itu, ke Kampung Alai atau Labuhan Deli. Di daerah Labuhan Deli, Tuanku Panglima Pasutan membangun istana Kesultanan Deli dan berkuasa dari tahun 1728-1761.

Kepemimpinan Kesultanan Deli itu pun kemudian dilanjutkan oleh Tuanku Panglima Gandar Wahid hingga tahun 1805. Dari tahun 1805-1850 Kesultanan Deli diteruskan dan dipimpin oleh putranya, Sultan Amaluddin Perkasa Alam (Amaluddin Mangendar). Di masa itu, kerajaan masih belum memiliki bangunan masjid, baik beribadah maupun kegiatan keagamaan dilaksanakan di sekitar lingkungan istana.

Pada masa kesultanan, Osman Perkasa Alam adalah putra dari Sultan Amaluddin Perkasa Alam, pembangunan masjid mulai didirikan pada 1854. Masjid Al Osmani berada di pinggiran jalan raya itu dulunya merupakan masjid pertama dibangun pada masa Kesultanan Deli.

Kala itu, pada masa Sultan Deli VII, Osman Perkasa Alam, pembangunan masjid persis berada di depan istana Kesultanan Deli tersebut menggunakan material bangunan berbahan kayu pilihan. “Nama masjid Al Osmani ini diambil dari nama Sultan Deli VII, Osman Perkasa Alam.

Karena pada masa kepemimpinannyalah masjid ini berdiri,” ujar Ahmad Fahruni pengurus masjid Al Osmani mengawali pembicara, Rabu (10/10) kemarin.

Setelah berdirinya bangunan masjid berlantai panggung, Sultan Osman Perkasa Alam bersama para pengikutnya beribadah dan bahkan melaksanakan salat Jumat di masjid yang berhadapan langsung dengan istananya. “Tapi sekarang keberadaan istana sudah tidak ada dan sekarang telah berdiri bangunan sekolah,” katanya.

Selama delapan belas tahun berdiri, akhirnya pada 1870-1872 masjid yang terbuat dari kayu, kemudian dibangun secara permanen oleh Sultan Mahmud Perkasa Alam (Mahmud Al Rasyid) putra dari Sultan Osman Perkasa Alam yang merupakan Sultan Deli VIII. Pada masa itu, rakyat dan Kesultanan Deli hidup dalam kemakmuran dari hasil menjual rempah-rempah dan tembakau. Bahkan rezeki yang berlimpah ketika itu sebagian digunakan, Sultan Mahmud Perkasa Alam menjadikan Masjid Al Osmani sebagai bangun megah.

“Sultan saat itu mendatangkan tenaga arsitek dari Belanda dan Jerman yang disewanya untuk kembali merenovasi masjid dengan bahan bangunan terbuat dari batu, kapur dan garam yang dicampur putih telur,” lanjutnya.

Untuk warna bangunan masjid, Sultan Mahmud Perkasa Alam kala itu memilih warna kuning dan hijau. Kedua warna tersebut merupakan warna kebesaran Melayu dan Islam. “Kalau warna kuning itu warna kebesaran Melayu, sedang hijau warna kebesaran Islam,” sebut dia.

Beberapa tahun setelah pembangunan masjid, istana pun terpaksa dipindah kembali ke daerah Padang Datar atau Kota Medan, itu terjadi karena Kesultanan Deli dikuasai oleh Belanda. Dan pada 26 Agustus 1888 Istana Maimun dibangun dan selesai pada 18 Mei 1891. Setelah pembangunan istana rampung, pembangunan masjid baru dengan nama Masjid Al Mashun juga dikerjakan pada 1907 dan selesai dibangun pada tahun 1909.

Sedangkan istana di Labuhan dan bangunan masjid Al Osmani ditinggalkan. Seiring waktu istana itu lenyap, berganti dengan bangunan sekolah. Sementara, Masjid Al Osmani tetap dirawat dan dijaga masyarakat setempat.

Pada 1927, bangunan masjid sempat direhab oleh Maatschappij. Dan, pada 1963-1964 masjid yang merupakan bukti dari perjalanan panjang sejarah Kesultanan Deli ini kembali direhab oleh Dirut Tembakau Deli II, T Burhanuddin. Pada 1977 melalui dana bantuan Presiden RI bangunan masjid direhab lagi, serta terakhir atas prakarsa Wali Kota Medan H Bactiar Djafar pada 1991-1992 bangunan masjid Al Osmani kembali dipugar.

Setelah mengalami renovasi dan penambahan bagngunan di bagian belakang, namun Masjid Al Osmani tetap terjaga keaslian bentuknya yang merupakana perpaduan Timur Tengah, India, Spanyol, Melayu, dan China.

Di sekitar masjid juga terdapat tiga pintu utama berukuran besar berada di utara, timur, dan selatan. “Dulunya ketiga pintu itu hanya digunakan oleh para raja. Sedangkan rakyat masuk melalui empat pintu berukuran kecil, dan dua pintu di antaranya mengapit pintu utama,” ujarnya

Pada bagian dalam masjid berkapasitas 500 lebih jamaah itu terdapat empat tiang besar dan kokoh, tiang itu berfungsi sebagai penyangga utama kubah masjid yang tergolong berukuran besar dibandingkan kubah mesjid lainnya.

“Empat penyangga itu juga mempunyai arti yaitu, menjunjung empat sifat kenabian. Pertama sidiq berarti benar, kedua amanah yang artinya dapat dipercaya, ketiga fathonah artinya pintar, dan tabligh artinya menyampaikan,” terangnya.

Hingga kini, selain digunakan sebagai tempat beribadah, masjid itu juga dipakai sebagai tempat peringatan dan perayaan hari besar keagamaan dan sempat digunakan sebagai tempat pemberangkatan menuju pemondokan jamaah haji yang berasal dari Medan Bagian Utara. (bersambung)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/