26.7 C
Medan
Wednesday, May 22, 2024

Marandus: Kelola Hutan Tidak Mudah, Ada Harga yang Harus Dibayar

Pengelola Taman Eden-100 (TE-100), Marandus Sirait, mengenakan pakaian adat.
Pengelola Taman Eden-100 (TE-100), Marandus Sirait, mengenakan pakaian adat.

DIAKUI SEPANJANG….

Dalam kaitan hutan kemasyarakatan atau hutan adat, keberadaan MHA diakui sepanjang menurut kenyataannya memang masih ada. Keberadaan MHA diakui jika memenuhi sejumlah unsur, antara lain: masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap), ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya, ada wilayah hukum adat yang jelas, ada pranata dan perangkat hukum khususnya peradilan adat yang masih ditaati, serta masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Satu syarat lainnya, dikukuhkan berdasarkan Peraturan Daerah.

MHA yang diakui berhak melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, serta melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang. MHA juga berhak mendapatkan pemberdayaan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Pengelolaan hutan adat oleh MHA tidak mengubah fungsi hutan itu sendiri. Jika hutan adat berada di kawasan hutan produksi (HP) maka fungsinya tetap sebagai hutan produksi. Demikian juga halnya bila berada di kawasan hutan lindung (HL) dan konservasi maka tidak berubah, tetap berfungsi lindung dan konservasi.

Pelibatan masyarakat menjadi mitra-usaha di bidang pengelolaan hutan pada era kabinet kerja Presiden Joko Widodo 2015 – 1019, dirumuskan dalam lima bentuk: HTR (hutan tanaman rakyat), HKm (hutan kemasyarakatan), HD (hutan desa), HA (hutan adat) dan HR (hutan rakyat) dan perwujudannya sedang berproses. Target pencapaiannya 12,7 juta hektar melalui pemberdayaan 2.500 komunitas atau 22 ribu orang.

Bila saat pengelolaan hutan oleh masyarakat itu sudah tiba, Marandus berharap para pemangku kepentingan terutama pemerintah lokal dan korporasi bersedia membantu pemberdayaan MHA –yang umumnya tidak punya cukup modal– melalui berbagai konsep kerjasama. Ini penting agar tujuan mulia pemberian peran kepada masyarakat untuk ikut mengelola hutan secara lestari sekaligus meningkatkan kesejahterannya, lebih mudah tercapai. Ia mengingatkan, tujuan pengelolaan sumber daya alam (SDA) hutan oleh pihak mana pun sebenarnya sama, yakni untuk menghasilkan sebesar-besar manfaat bagi masyarakat. Pengelolaan hutan melalui korporasi juga tidak terlepas dari tujuan tersebut melalui penyediaan lapangan kerja, lapangan usaha (kemitraan bisnis), penyisihan dana CSR, serta pelunasan kewajiban terhadap negara. “Kini saatnya semua elemen bangsa bersinergi, bukan sebaliknya,” kata pemusik yang pernah lama berkiprah di gereja ini. (rel/mea)

Pengelola Taman Eden-100 (TE-100), Marandus Sirait, mengenakan pakaian adat.
Pengelola Taman Eden-100 (TE-100), Marandus Sirait, mengenakan pakaian adat.

DIAKUI SEPANJANG….

Dalam kaitan hutan kemasyarakatan atau hutan adat, keberadaan MHA diakui sepanjang menurut kenyataannya memang masih ada. Keberadaan MHA diakui jika memenuhi sejumlah unsur, antara lain: masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap), ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya, ada wilayah hukum adat yang jelas, ada pranata dan perangkat hukum khususnya peradilan adat yang masih ditaati, serta masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Satu syarat lainnya, dikukuhkan berdasarkan Peraturan Daerah.

MHA yang diakui berhak melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, serta melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang. MHA juga berhak mendapatkan pemberdayaan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Pengelolaan hutan adat oleh MHA tidak mengubah fungsi hutan itu sendiri. Jika hutan adat berada di kawasan hutan produksi (HP) maka fungsinya tetap sebagai hutan produksi. Demikian juga halnya bila berada di kawasan hutan lindung (HL) dan konservasi maka tidak berubah, tetap berfungsi lindung dan konservasi.

Pelibatan masyarakat menjadi mitra-usaha di bidang pengelolaan hutan pada era kabinet kerja Presiden Joko Widodo 2015 – 1019, dirumuskan dalam lima bentuk: HTR (hutan tanaman rakyat), HKm (hutan kemasyarakatan), HD (hutan desa), HA (hutan adat) dan HR (hutan rakyat) dan perwujudannya sedang berproses. Target pencapaiannya 12,7 juta hektar melalui pemberdayaan 2.500 komunitas atau 22 ribu orang.

Bila saat pengelolaan hutan oleh masyarakat itu sudah tiba, Marandus berharap para pemangku kepentingan terutama pemerintah lokal dan korporasi bersedia membantu pemberdayaan MHA –yang umumnya tidak punya cukup modal– melalui berbagai konsep kerjasama. Ini penting agar tujuan mulia pemberian peran kepada masyarakat untuk ikut mengelola hutan secara lestari sekaligus meningkatkan kesejahterannya, lebih mudah tercapai. Ia mengingatkan, tujuan pengelolaan sumber daya alam (SDA) hutan oleh pihak mana pun sebenarnya sama, yakni untuk menghasilkan sebesar-besar manfaat bagi masyarakat. Pengelolaan hutan melalui korporasi juga tidak terlepas dari tujuan tersebut melalui penyediaan lapangan kerja, lapangan usaha (kemitraan bisnis), penyisihan dana CSR, serta pelunasan kewajiban terhadap negara. “Kini saatnya semua elemen bangsa bersinergi, bukan sebaliknya,” kata pemusik yang pernah lama berkiprah di gereja ini. (rel/mea)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/