26.7 C
Medan
Wednesday, May 1, 2024

Marandus: Kelola Hutan Tidak Mudah, Ada Harga yang Harus Dibayar

Pengelola Taman Eden-100 (TE-100), Marandus Sirait, di tengah hutan masyarakat milik keluarganya.
Pengelola Taman Eden-100 (TE-100), Marandus Sirait, di tengah hutan masyarakat milik keluarganya.

TOBASA, SUMUTPOS.CO – Untuk bisa berhasil, pengelolaan hutan kemasyarakatan memerlukan kerjasama dengan barbagai pihak sehingga tujuan akhirnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat bisa dicapai.

Pendapat itu dikemukakan pengelola Taman Eden-100 (TE-100) Marandus Sirait (49) hari ini, berkaitan dengan adanya keinginan pemerintah mewujudkan hutan kemasyarakatan untuk dikelola oleh masyarakat hukum adat (MHA). TE-100 merupakan lahan keluarga almarhum Leas Sirait seluas 45 hektar, berbatasan dengan hutan Negara di dusun Lumbanrang, desa Sionggang Utara, kecamatan Lumbanjulu, kabupaten Tobasamosir. Lahan ini dikelola menjadi obyek wisata alam oleh keluarga Marandus sejak 1999 hingga berkembang menjadi obyek wisata hutan. Sebagian lokasi memanfaatkan hutan Negara sebagai jasa lingkungan.

Lokasi itu berupa hamparan berbukit pada ketinggian 1.150 meter dpl (diatas permukaan laut). Letaknya di kaki pegunungan Bukit Barisan dan setempat dikenal sebagai gunung Pangulu-Bao (2.150 meter dpl). Jaraknya dari kota turis Parapat sekitar 17 km, dari Balige 40 km, dan dari bibir Danau Toba terdekat di desa Pangaloan-Ail sekitar 8 km.

Semula, terdapat puluhan jenis vegetasi alam, sebagian sudah langka namun bernilai ekonomis tinggi, yang dilestarikan dan dalam bahasa setempat antara lain dikenal sebagai sampinur bunga, sampinur tali, hoting, sialagundi, simartolu, api-api, ingul, halembang, attarasa dan andalehat. Andalehat, jenis kayu keras dan sudah hampir punah, bisa tumbuh besar (garis tengah sampai 150 cm) dan karena itu lazim dijadikan bahan pembuatan solu (perahu). Selain itu ada piu-piu tanggule, buahnya manis, memiliki nilai budaya tinggi karena dijadikan bahan pembuatan tongkat tunggal panaluan (tongkat raja dalam upacara adat Batak). Awal Agustus lalu dalam suatu acara penghijauan di Hutaginjang, Marandus menyerahkan bibitnya kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar, yang kemudian meminta pihak Kehutanan membantu pembudidayaannya di kawasan Danau Toba.

Keluarga Marandus memperkaya vegetasi lokal itu dengan ratusan jenis pohon berbuah (sebagai dasar penamaan TE-100) termasuk andaliman. Andaliman adalah sejenis rempah hutan yang sejauh ini diketahui hanya tumbuh di kawasan Toba, terkenal –bersama kincung– sebagai penyedap kuliner arsik, ikan mas yang dimasak bersama berbagai jenis sayur (terong, kacang panjang). Para perantau asal Toba mengeringkan dan menggiling buah andaliman yang mirip buah merica menjadi tepung sebagai oleh-oleh yang khas. Selain ada pohon-pohonan, juga ada sampuran (air terjun alam pegunungan). Dan berkat kerja keras dan ketekunan, maka TE-100 berkembang menjadi salah satu obyek wisata alam bagi para pelancong Danau Toba.

DUA SYARAT
Mengelola hutan, menurut penerima penghargaan Kalpataru itu, sangat tidak mudah. Diperlukan setidaknya dua syarat untuk bisa berhasil, yakni komitmen tinggi dan juga kerjasama. Komitmen meliputi tekad bulat melestarikan hutan yang masih ada, apa pun “harga” yang harus dibayar. Sering, idealisme untuk bersahabat dengan dan melestarikan hutan, pada suatu titik melemah bersamaan dengan kelelahan atau perbenturan dengan kepentingan lain seperti ekonomi.

“Kadang kita bisa juga kehabisan napas, tetapi tetap menolak uluran tangan teman karena tidak sejalan dengan tujuan pelestarian. Lalu kita disebut ‘gila’ dan hal semacam itu sudah biasa terjadi,” kata Marandus.

Pengelolaan hutan oleh MHA dan terlebih-lebih oleh perseorangan pasti membutuhkan kerjasama dengan pihak lain –pemerintah, swasta– sepanjang tidak mencederai idealisme dan tujuan pelestarian hutan. TE-100 sendiri pernah menjalin kerjasama dengan Dinas Pariwisata Sumatera Utara dan Dinas Pariwisata Tobasamosir. Kemudian dengan Otorita Asahan, industri peleburan aluminium Inalum dan industri pulp TPL (PT Toba Pulp Lestari) untuk membantu sarana dan prasarana pengadaan bibit pohon khas Toba. TPL secara khusus membangunkan pembibitan yang standar dan juga sopo (bangunan aula) tempat bertemu para pengunjung dan pecinta alam. Dengan demikian kerjasama berfungsi untuk meningkatkan kapasitas (capacity building) dan pendampingan. Berkat kerjasama itu pula maka TE-100 mampu membagi-bagikan secara cuma-cuma sekitar 20 jenis bibit pohon –termasuk pohon langka– kepada ribuan penerima.

Pengelola Taman Eden-100 (TE-100), Marandus Sirait, di tengah hutan masyarakat milik keluarganya.
Pengelola Taman Eden-100 (TE-100), Marandus Sirait, di tengah hutan masyarakat milik keluarganya.

TOBASA, SUMUTPOS.CO – Untuk bisa berhasil, pengelolaan hutan kemasyarakatan memerlukan kerjasama dengan barbagai pihak sehingga tujuan akhirnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat bisa dicapai.

Pendapat itu dikemukakan pengelola Taman Eden-100 (TE-100) Marandus Sirait (49) hari ini, berkaitan dengan adanya keinginan pemerintah mewujudkan hutan kemasyarakatan untuk dikelola oleh masyarakat hukum adat (MHA). TE-100 merupakan lahan keluarga almarhum Leas Sirait seluas 45 hektar, berbatasan dengan hutan Negara di dusun Lumbanrang, desa Sionggang Utara, kecamatan Lumbanjulu, kabupaten Tobasamosir. Lahan ini dikelola menjadi obyek wisata alam oleh keluarga Marandus sejak 1999 hingga berkembang menjadi obyek wisata hutan. Sebagian lokasi memanfaatkan hutan Negara sebagai jasa lingkungan.

Lokasi itu berupa hamparan berbukit pada ketinggian 1.150 meter dpl (diatas permukaan laut). Letaknya di kaki pegunungan Bukit Barisan dan setempat dikenal sebagai gunung Pangulu-Bao (2.150 meter dpl). Jaraknya dari kota turis Parapat sekitar 17 km, dari Balige 40 km, dan dari bibir Danau Toba terdekat di desa Pangaloan-Ail sekitar 8 km.

Semula, terdapat puluhan jenis vegetasi alam, sebagian sudah langka namun bernilai ekonomis tinggi, yang dilestarikan dan dalam bahasa setempat antara lain dikenal sebagai sampinur bunga, sampinur tali, hoting, sialagundi, simartolu, api-api, ingul, halembang, attarasa dan andalehat. Andalehat, jenis kayu keras dan sudah hampir punah, bisa tumbuh besar (garis tengah sampai 150 cm) dan karena itu lazim dijadikan bahan pembuatan solu (perahu). Selain itu ada piu-piu tanggule, buahnya manis, memiliki nilai budaya tinggi karena dijadikan bahan pembuatan tongkat tunggal panaluan (tongkat raja dalam upacara adat Batak). Awal Agustus lalu dalam suatu acara penghijauan di Hutaginjang, Marandus menyerahkan bibitnya kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar, yang kemudian meminta pihak Kehutanan membantu pembudidayaannya di kawasan Danau Toba.

Keluarga Marandus memperkaya vegetasi lokal itu dengan ratusan jenis pohon berbuah (sebagai dasar penamaan TE-100) termasuk andaliman. Andaliman adalah sejenis rempah hutan yang sejauh ini diketahui hanya tumbuh di kawasan Toba, terkenal –bersama kincung– sebagai penyedap kuliner arsik, ikan mas yang dimasak bersama berbagai jenis sayur (terong, kacang panjang). Para perantau asal Toba mengeringkan dan menggiling buah andaliman yang mirip buah merica menjadi tepung sebagai oleh-oleh yang khas. Selain ada pohon-pohonan, juga ada sampuran (air terjun alam pegunungan). Dan berkat kerja keras dan ketekunan, maka TE-100 berkembang menjadi salah satu obyek wisata alam bagi para pelancong Danau Toba.

DUA SYARAT
Mengelola hutan, menurut penerima penghargaan Kalpataru itu, sangat tidak mudah. Diperlukan setidaknya dua syarat untuk bisa berhasil, yakni komitmen tinggi dan juga kerjasama. Komitmen meliputi tekad bulat melestarikan hutan yang masih ada, apa pun “harga” yang harus dibayar. Sering, idealisme untuk bersahabat dengan dan melestarikan hutan, pada suatu titik melemah bersamaan dengan kelelahan atau perbenturan dengan kepentingan lain seperti ekonomi.

“Kadang kita bisa juga kehabisan napas, tetapi tetap menolak uluran tangan teman karena tidak sejalan dengan tujuan pelestarian. Lalu kita disebut ‘gila’ dan hal semacam itu sudah biasa terjadi,” kata Marandus.

Pengelolaan hutan oleh MHA dan terlebih-lebih oleh perseorangan pasti membutuhkan kerjasama dengan pihak lain –pemerintah, swasta– sepanjang tidak mencederai idealisme dan tujuan pelestarian hutan. TE-100 sendiri pernah menjalin kerjasama dengan Dinas Pariwisata Sumatera Utara dan Dinas Pariwisata Tobasamosir. Kemudian dengan Otorita Asahan, industri peleburan aluminium Inalum dan industri pulp TPL (PT Toba Pulp Lestari) untuk membantu sarana dan prasarana pengadaan bibit pohon khas Toba. TPL secara khusus membangunkan pembibitan yang standar dan juga sopo (bangunan aula) tempat bertemu para pengunjung dan pecinta alam. Dengan demikian kerjasama berfungsi untuk meningkatkan kapasitas (capacity building) dan pendampingan. Berkat kerjasama itu pula maka TE-100 mampu membagi-bagikan secara cuma-cuma sekitar 20 jenis bibit pohon –termasuk pohon langka– kepada ribuan penerima.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/