30 C
Medan
Sunday, October 20, 2024
spot_img

Erupsi Sinabung: Pengungsi Kenang Rumah dan Ladang

Foto: Anita/PM Rumah yang ditinggalkan pengungsi Sinabung tampak ditumbuhi rerumputan.
Foto: Anita/PM
Rumah yang ditinggalkan pengungsi Sinabung tampak ditumbuhi rerumputan.

KARO, SUMUTPOS.CO -Erupsi Gunung Sinabung masih menyisakan luka dan duka mendalam, terutama bagi warga Desa Bekerah, Suka Meriah dan Simacem yang masuk zona merah (radius 3 km). Bagaimana tidak, letusan Sinabung pada September 2013 lalu memaksa warga ketiga desa itu angkat kaki.

Hari, minggu, dan bulan berlalu, tak terasa sudah dua tahun juga mereka meninggalkan rumah dan kampung halamannya. Ada desir kesedihan tiap kali mengingat dan memandangi rumah-rumah, gereja dan sekolah yang luluh lantak diterjang debu vulkanik. Erupsi besar-besaran disertai guguran awan panas yang menewaskan 14 orang pada Februari 2014 lalu juga mengharuskan Pemerintah Kabupaten Karo mengevakuasi 6.179 jiwa/2053 KK penduduk Desa Simacem, Kutatonggal, Berastepu, Gamber dan Desa Gurukinayan yang masuk zona merah 5 km.

Penduduk sejumlah desa yang masuk zona merah 3 kilometer dan 5 kilometer tersebut harus direlokasi di lokasi pengungsian Siosar, Kecamatan Merek secara bertahap.Tetapi di balik itu semua, masih ada 9.325 jiwa/2.592 KK pengungsi yang masih terombang-ambing di 9 titik posko pengungsian. Para pengungsi tersebut berasal dari 8 desa dan 1 dusun. Diantaranya Desa Tiga Pancur, Sukanalu, Pintu Mbesi, Sigarang-garang, Jeraya, Kutarayat, Kutagugung, Mardinding dan Desa Kutatengah serta penduduk Dusun Lau Kawar. Mereka terkesan dibiarkan pemerintah daerah sejak dievakuasi pasca erupsi dan guguran awan panas pada Juni 2015.

Berbulan-bulan lamanya mereka harus bertahan di posko pengungsian tanpa ada kepastian. Tentunya ada kerinduan untuk kembali ke kampung halamannya. Karena tak seorangpun yang tak rindu pulang ke kampung halaman.

“Kami sudah tak tahan lagi berlama-lama tinggal di pengungsian. Rumah yang kami tinggalkan sudah terbengkalai bahkan ada yang sudah rusak parah. Sudah berbulan-bulan lamanya belum ada kepastian dari pemerintah. Apakah kita harus begini terus di pengungsian?” keluh beru Ginting (55) salah seorang pengungsi dari Desa Sukanalu, Rabu (25/11).

Foto: Anita/PM Rumah ibadah yang ditinggalkan pengungsi Sinabung tampak ditumbuhi rerumputan.
Foto: Anita/PM
Rumah ibadah yang ditinggalkan pengungsi Sinabung tampak ditumbuhi rerumputan.
Foto: Anita/PM Rumah yang ditinggalkan pengungsi Sinabung tampak ditumbuhi rerumputan.
Foto: Anita/PM
Rumah yang ditinggalkan pengungsi Sinabung tampak ditumbuhi rerumputan.

Kerinduan akan kampung halaman terpancar di wajah wanita paruh baya ini. Menurutnya, jika di kampung halaman kebiasaannya setiap hari membersihkan rumah dan ke ladang. Tapi selama tinggal di posko pengungsian, rutinitas yang biasa dilakukannya tak terlaksana lagi. Hal itu yang membuatnya sedih dan suntuk.

Hal serupa juga dikatakan R beru Tarigan (59) pengungsi asal Desa Berastepu. Dia bercerita dengan suara parau seperti sedang menahan sedih. Meski masuk zona merah, tapi sesekali ia tetap menyempatkan diri mengunjungi desa dan rumahnya. Namun itupun tak bisa lama karena selalu sedih mengingat kenangan waktu tinggal di sana sebelum erupsi.

“Sedih kalau ingat rumah di kampung, banyak kenangan di situ. Biasanya kami sekeluarga bila pulang dari ladang, makan bersama, duduk-duduk di teras rumah. Sesama tetangga salin bergurau, ke ladang bareng-bareng. Sekarang ini tak ada lagi yang harus kami lakukan di sini. Kesehariannya cuma bangun, makan dan tidur, begitu setiap hari,” kisahnya. Pantauan wartawan di Desa Sukanalu, Kecamatan Namanteran dan Desa Berastepu, Kecamatan Simpang Empat, kondisi rumah warga, gereja dan sekolah halamannya sudah ditumbuhi semak belukar. Atap rumah ditutupi debu vulkanik, tak ada aktivitas di desa tersebut. Jaringan listrik telah diputus oleh PLN. Jalan ke Gang-gang dipenuhi rumput ilalang. Hanya terlihat satu dua orang yang menjaga desa. (cr7/deo)

Foto: Anita/PM Rumah yang ditinggalkan pengungsi Sinabung tampak ditumbuhi rerumputan.
Foto: Anita/PM
Rumah yang ditinggalkan pengungsi Sinabung tampak ditumbuhi rerumputan.

KARO, SUMUTPOS.CO -Erupsi Gunung Sinabung masih menyisakan luka dan duka mendalam, terutama bagi warga Desa Bekerah, Suka Meriah dan Simacem yang masuk zona merah (radius 3 km). Bagaimana tidak, letusan Sinabung pada September 2013 lalu memaksa warga ketiga desa itu angkat kaki.

Hari, minggu, dan bulan berlalu, tak terasa sudah dua tahun juga mereka meninggalkan rumah dan kampung halamannya. Ada desir kesedihan tiap kali mengingat dan memandangi rumah-rumah, gereja dan sekolah yang luluh lantak diterjang debu vulkanik. Erupsi besar-besaran disertai guguran awan panas yang menewaskan 14 orang pada Februari 2014 lalu juga mengharuskan Pemerintah Kabupaten Karo mengevakuasi 6.179 jiwa/2053 KK penduduk Desa Simacem, Kutatonggal, Berastepu, Gamber dan Desa Gurukinayan yang masuk zona merah 5 km.

Penduduk sejumlah desa yang masuk zona merah 3 kilometer dan 5 kilometer tersebut harus direlokasi di lokasi pengungsian Siosar, Kecamatan Merek secara bertahap.Tetapi di balik itu semua, masih ada 9.325 jiwa/2.592 KK pengungsi yang masih terombang-ambing di 9 titik posko pengungsian. Para pengungsi tersebut berasal dari 8 desa dan 1 dusun. Diantaranya Desa Tiga Pancur, Sukanalu, Pintu Mbesi, Sigarang-garang, Jeraya, Kutarayat, Kutagugung, Mardinding dan Desa Kutatengah serta penduduk Dusun Lau Kawar. Mereka terkesan dibiarkan pemerintah daerah sejak dievakuasi pasca erupsi dan guguran awan panas pada Juni 2015.

Berbulan-bulan lamanya mereka harus bertahan di posko pengungsian tanpa ada kepastian. Tentunya ada kerinduan untuk kembali ke kampung halamannya. Karena tak seorangpun yang tak rindu pulang ke kampung halaman.

“Kami sudah tak tahan lagi berlama-lama tinggal di pengungsian. Rumah yang kami tinggalkan sudah terbengkalai bahkan ada yang sudah rusak parah. Sudah berbulan-bulan lamanya belum ada kepastian dari pemerintah. Apakah kita harus begini terus di pengungsian?” keluh beru Ginting (55) salah seorang pengungsi dari Desa Sukanalu, Rabu (25/11).

Foto: Anita/PM Rumah ibadah yang ditinggalkan pengungsi Sinabung tampak ditumbuhi rerumputan.
Foto: Anita/PM
Rumah ibadah yang ditinggalkan pengungsi Sinabung tampak ditumbuhi rerumputan.
Foto: Anita/PM Rumah yang ditinggalkan pengungsi Sinabung tampak ditumbuhi rerumputan.
Foto: Anita/PM
Rumah yang ditinggalkan pengungsi Sinabung tampak ditumbuhi rerumputan.

Kerinduan akan kampung halaman terpancar di wajah wanita paruh baya ini. Menurutnya, jika di kampung halaman kebiasaannya setiap hari membersihkan rumah dan ke ladang. Tapi selama tinggal di posko pengungsian, rutinitas yang biasa dilakukannya tak terlaksana lagi. Hal itu yang membuatnya sedih dan suntuk.

Hal serupa juga dikatakan R beru Tarigan (59) pengungsi asal Desa Berastepu. Dia bercerita dengan suara parau seperti sedang menahan sedih. Meski masuk zona merah, tapi sesekali ia tetap menyempatkan diri mengunjungi desa dan rumahnya. Namun itupun tak bisa lama karena selalu sedih mengingat kenangan waktu tinggal di sana sebelum erupsi.

“Sedih kalau ingat rumah di kampung, banyak kenangan di situ. Biasanya kami sekeluarga bila pulang dari ladang, makan bersama, duduk-duduk di teras rumah. Sesama tetangga salin bergurau, ke ladang bareng-bareng. Sekarang ini tak ada lagi yang harus kami lakukan di sini. Kesehariannya cuma bangun, makan dan tidur, begitu setiap hari,” kisahnya. Pantauan wartawan di Desa Sukanalu, Kecamatan Namanteran dan Desa Berastepu, Kecamatan Simpang Empat, kondisi rumah warga, gereja dan sekolah halamannya sudah ditumbuhi semak belukar. Atap rumah ditutupi debu vulkanik, tak ada aktivitas di desa tersebut. Jaringan listrik telah diputus oleh PLN. Jalan ke Gang-gang dipenuhi rumput ilalang. Hanya terlihat satu dua orang yang menjaga desa. (cr7/deo)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru