28 C
Medan
Friday, May 17, 2024

Warga: Kenapa Bukan Yang Lim Duluan?

Foto: Wiwin/PM Sisa puing eksekusi rumah milik warga di pinggiran rel Pasar Timah, Rabu (26/11/2014). Mereka mengumpulkan seng-seng bekas untuk dijual.
Foto: Wiwin/PM
Sisa puing eksekusi rumah milik warga di pinggiran rel Pasar Timah, Rabu (26/11/2014). Mereka mengumpulkan seng-seng bekas untuk dijual.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sehari pascapenggusuran, Rabu (26/11), suasana di Jalan Timah, Kelurahan Sei Rengas 2, Medan Area, tak lagi setegang saat penggusuran sehari sebelumnya. Warga terlihat sibuk dengan puing-puing sisa ‘bongkaran paksa’ alat berat yang diturunkan PT. Kereta Api Indonesia (KAI).

Perlahan, obrolan ringan sesama warga korban penggusuran, meredup diantara bunyi ketukan palu dan alat pertukangan lain. Rintik hujan seakan memahami kepedihan 60 kepala keluarga yang hanya bisa mengelus dada melihat rumah yang puluhan tahun dihuni, rata dengan tanah. Apalagi, tak sedikit dari mereka yang telah menghabiskan puluhan juta untuk renovasi.

Tapi apa daya, hasil keringat mereka hancur dalam hitungan menit. Seolah mengobati luka dalam, sisa bangunan yang ada, dikumpulkan dan dijual ke penampung barang bekas. Seperti kepingan seng, balok, kabel kuningan, besi penyangga, dan lainnya.

Meski hasilnya tak sebanding dengan membangun rumahnya dulu, paling tidak, bisa sekedar untuk memenuhi kebutuhan sementara di pengungsian. Bahkan korban penggusuran tak perlu repot menjual, pembeli langsung datang. Ya, di balik kepedihan warga, ada peluang bisnis yang terbaca sejumlah orang.

Syaiful misalnya. Akunya, seng bekas, jika langsung dijual ke gudangnya akan dihargai Rp1.600 per kilo. Pagi itu dirinya berhasil mengumpulkan seng sekitar 80 kilo. Sementara, pada Selasa (25/11) sore, pasca penggusuran, dia sempat mengumpulkan besi padu seberat 82 kilo yang dijual Rp3.700 per kilo. Totalnya, dia memperoleh Rp431.400 dari puing-puing rumah yang dihancurkan itu.

Foto: Wiwin/PM Sisa puing eksekusi rumah milik warga di pinggiran rel Pasar Timah, Rabu (26/11/2014). Mereka mengumpulkan seng-seng bekas untuk dijual.
Foto: Wiwin/PM
Sisa puing eksekusi rumah milik warga di pinggiran rel Pasar Timah, Rabu (26/11/2014). Mereka mengumpulkan seng-seng bekas untuk dijual.

Namun, jumlah ini harus dibagi 6 orang lainnya yang ikut membantu mengangkut barang-barang tersebut dari tumpukan sisa bangunan. Sebab ini bukanlah pekerjaan mudah jika dikerjakan seorang diri. Syaiful pun sebenarnya bukan warga korban penggusuran. Melainkan warga yang bermukim di pinggir kereta api yang berada di seberang pemukiman warga yang digusur. Hanya saja dirinya sudah meminta ijin kepada pemilik rumah untuk mengangkut barang sisa bangunan rumahnya.

“Kalau kayak balok besar per becaknya Rp80 ribu. Kabel kuningan Rp65 ribu per kilonya,” ungkapnya. Salah seorang warga lainnya yang mengetahui kehadiran kru Posmetro Medan pun langsung bercerita bahwa dirinya hanya sempat menyelamatkan barang dapur dan pakaian saja. Rumahnya adalah bekas peninggalan orangtuanya sejak tahun 1977 silam.

“Puing-puing ini lah harta kami terakhir dek. Saya menunggu 4 tahun untuk rehab rumah, saya habis Rp10 juta, hasil keringat saya. Uang halal loh ini. Tapi hancurnya sekejap mata. Untungnya surat berharga sudah semua saya ungsikan ke rumah saudara. Ini anak saya di rumah saudara saya di Jl. Tenggiri,” ujarnya mengawali percakapan.

“Saya dan suami, pagi ini ke sini untuk ambil sisa-sia yang bisa jadi uang. Memang gak seberapa, tapi paling tidak bisa membuat kami tidak terlalu menyusahkan saudara. Ada pula tetangga saya yang baru pas puasa kemarin benerin dapurnya. Kami minta rumah 6×6 meter ajanya. Kamar dua kecil, ruang tamu kecil. Yang penting bisa berteduh dari panas dan hujan,” ungkap cewek Br Siregar itu.

Saat sebagian warga sibuk mengurusi puing sisa rumah mereka, sebagian lagi memilih duduk di rel kereta api sambil meratapi puing-puing rumahnya. Jika kereta api lewat maka mereka pun bergegas menepi di pinggir rel. Ada juga yang memilih makan siang di atas rel.

Foto: Wiwin/PM Warga Pasar Timah makan di atas rel, di areal rumah mereka yang dieksekusi PT KAI, Rabu (26/11/2014).
Foto: Wiwin/PM
Warga Pasar Timah makan di atas rel, di areal rumah mereka yang dieksekusi PT KAI, Rabu (26/11/2014).

“Belum ada makan aku dek dari semalam. Baru inilah makan ku. Mana ingat makan lagi semalam. Udah lemas dan tak ada seleraku lagi,” ucap salah seorang warga saat menyantap makan siangnya bersama beberapa warga lainnya. Korban penggusuran pun harus rela berbagi tempat tinggal sementara dengan puluhan warga lainnya di Mushola Al Ikhlas yang berada tak jauh dari rumah mereka. Tepatnya di pinggir rel kereta api yang luput dari penggusuran.

Semua barang warga yang berhasil di selamatkan mulai dari pakaian, mesin cuci, TV, antena, kipas angin, lemari laci, sepeda main anak-anak, hingga 2 kandang burung pun ada di dalam mushola yang berukuran sangat kecil itu. Di dalamnya banyak anak-anak yang masih berumur sekitar 2-5 tahun.

Seakan tak paham, anak-anak tersebut bermain riang. Sementara para orangtua terlihat merenung, seakan memutar otak untuk melanjutkan kehidupan mereka. Bahkan, di hari itu tidak ada anak yang sekolah. “Anak gak sekolah, isteri gak masak, suami gak kerja. Mau cemana sekolah kalau keadaan keluarganya begini. Mau masak dan kerja pun macam mana, udah lemas kami dibuat kayak gini,” ungkap

Ida (44), salah seorang warga korban penggusuran sambil memperlihatkan keadaan tempat pengungsian warga di Mushola.

Wanita berbaju kusam itu masih belum ikhlas atas penggusuran kemarin sore. Uang biaya bongkar Rp1,5juta dari PT KAI pun tak akan pernah diterimanya. Dirinya dan warga lainnya hanya memohon diberikan ganti rugi yang layak untuk mendapatkan rumah baru.

Ida pun mengatakan bahwa sesungguhnya selama ini dirinya tak nyaman tinggal di pinggiran rel kereta api. Namun apa daya, penghasilan sehari-hari sebagai tukang cuci baju tak bisa membuatnya angkat kaki dari sana. “Kami semua di sini gak ada rumah di luar sana. Kalau ada, ngapain kami tinggal di sini. Bising suara kereta api tiap waktu lewat,” terangnya.

“Masa cuma Rp1,5 juta dikasih. Mau beli di Tembung pun gak cukup itu. Nyewa rumah pun segitu ga dapat. Pokoknya kami sepakat ga akan terima uang itu. Sampai dapat rumah kami akan tetap di sini. Kami pun sebenarnya gak dikasih uang pun ga apa. Asal itu, Yang Lim Plaza juga digusur. Jangan kami aja!” ujar Ida dengan nada emosi.

Ada pula seorang janda anak 7 bernama Heni (47), yang mengaku semalam tidak bisa tidur memikirkan nasibnya dan anak-anaknya. Heni mengaku selama ini hidup dengan hasil keringat dari mencuci baju tetangganya. Kini dirinya pasrah menunggu hasil puing-puing rumahnya dijual oleh warga yang membantunya mengutipi dari balik reruntuhan beton.

“Satu malam gak bisa saya tidur memikirkan segalanya. Kami mau pindah kemana? Anak saya baru satu yang udah kerja, yang lain masih sekolah. Itu ada yang minta ijin sama saya buat kutipi sisa bangunan. Kalau dikasih uangnya sama saya ya Alhamdullilah. Kalau gak ya sudah saya ikhlas. Habisnya mau cemana lagi. Saya mana ada tenaga,” ungkapnya lemah di depan mushola.

Foto: Wiwin/PM Warga Pasar Timah yang digusur PT KAI mengungsi ke musala, Rabu (26/11/2014).
Foto: Wiwin/PM
Warga Pasar Timah yang digusur PT KAI mengungsi ke musala, Rabu (26/11/2014).

Warga lainnya yang berada di pengungsian mushola, Andi (37) pun sangat kecewa dengan penggusuran itu. Sebab penggusuran dilakukan di tempat pemukiman padat penduduk. Sementara, Yang Lim plaza yang bukan tempat tinggal warga tidak dirobohkan terlebih dahulu.

Lalu kios penampungan pedagang Pasar Timah pun dibangun di halaman Yang Lim Plaza. Hal ini menguatkan kecurigaan warga, bahwa PD Pasar Kota Medan menumpang ‘aksi’ PT KAI untuk merevitalisasi pasar Timah. Padahal perevitalisasian pasar Timah belum ada kesepakatan antara pedagang, PD Pasar kota Medan serta DPRD kota Medan dan Pemerintah kota Medan.

“Di sana banyak loh yang gak padat pemukiman warga. Kenapa harus di sini dulu. Atau kenapa gak Yang Lim dulu? Kenapa kios penampungan udah dibangun sementara pedagang Pasar Timah belum mau pasarnya direvitalisasi. Banyak tanda tanya yang begitu menyesakkan dada kami semua,” ujar pria bertubuh besar yang enggan namanya dimuat itu.

Sebelumnya PT KAI pun mengatakan bahwa pihaknya memang ada terikat kontrak sewa menyewa dengan pedagang. Namun sudah berakhir di tahun 2004. Pemutusan ini pun dikatakan Humas PT KAI Sumut, Jaka Jakarsih dikarenakan warga susah membayar iuran. Namun salah seorang warga, Alan Aruan (51), membantah hal tersebut. Sebab selama ini PT KAI tidak pernah memberitahukan bahwa adanya pemutusan kontrak.

“Ini kayak pemutusan sepihak. Kita mau bayar, tapi dibilangnya stop dulu karena uang gak masuk ke kantor katanya. Ya udah, kalau dibilang gitu cemana kami mau bayar. Ada itikad baiknya kami. Tapi kan biasa warga ini dikutipi sama petugas PT KAI, jadi kalau gak ada lagi yang kutip ya mau bayar kemana. Jadi kami permisi loh bangun rumah di sini. Rata-rata per tahunnya itu Rp300-400ribu. Ada suratnya sama kami. Dulu ini semak belukar lalu ditimbun warga. Jadi jangan ini udah bersih, lalu mereka usir kami. Apa ga sakit hati kami!” ujar pria yang sehari-hari berjualan sate di pajak besi itu.

Kisah semak belukar area pemukiman warga tersebut pun dilontarkan oleh Abdurahman (61). Dia tinggal di pinggiran rel kereta api, tapi luput dari penggusuran. Dia tinggal di sana sejak tahun 1976 silam sebagai penjaga pintu perlintasan kereta api. Maka dari itu, dirinya mendapat jatah 1 unit rumah di kawasan tersebut.

Diakuinya, pemukiman warga yang digusur tersebut, dulunya berupa semak belukar yang banyak ditumbuhi tumbuhan liar. Dia tak ingat tepatnya bangunan rumah pertama berdiri di sana. Namun dirinya menyebutkan sekitar tahun 1980 rumah warga sudah banyak berada di sana.

“Hukum itu gak berlaku bagi yang ada uang. Hukum itu kalau ke atas tumpul, tapi kalau ke bawah sangat tajam. Itu lah yang kami rasakan sebagai rakyat kecil dek,” ujarnya sambil menatap luas puing-puing bangunan rumah tetangganya pagi itu. (win/trg)

 

Foto: Wiwin/PM Sisa puing eksekusi rumah milik warga di pinggiran rel Pasar Timah, Rabu (26/11/2014). Mereka mengumpulkan seng-seng bekas untuk dijual.
Foto: Wiwin/PM
Sisa puing eksekusi rumah milik warga di pinggiran rel Pasar Timah, Rabu (26/11/2014). Mereka mengumpulkan seng-seng bekas untuk dijual.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sehari pascapenggusuran, Rabu (26/11), suasana di Jalan Timah, Kelurahan Sei Rengas 2, Medan Area, tak lagi setegang saat penggusuran sehari sebelumnya. Warga terlihat sibuk dengan puing-puing sisa ‘bongkaran paksa’ alat berat yang diturunkan PT. Kereta Api Indonesia (KAI).

Perlahan, obrolan ringan sesama warga korban penggusuran, meredup diantara bunyi ketukan palu dan alat pertukangan lain. Rintik hujan seakan memahami kepedihan 60 kepala keluarga yang hanya bisa mengelus dada melihat rumah yang puluhan tahun dihuni, rata dengan tanah. Apalagi, tak sedikit dari mereka yang telah menghabiskan puluhan juta untuk renovasi.

Tapi apa daya, hasil keringat mereka hancur dalam hitungan menit. Seolah mengobati luka dalam, sisa bangunan yang ada, dikumpulkan dan dijual ke penampung barang bekas. Seperti kepingan seng, balok, kabel kuningan, besi penyangga, dan lainnya.

Meski hasilnya tak sebanding dengan membangun rumahnya dulu, paling tidak, bisa sekedar untuk memenuhi kebutuhan sementara di pengungsian. Bahkan korban penggusuran tak perlu repot menjual, pembeli langsung datang. Ya, di balik kepedihan warga, ada peluang bisnis yang terbaca sejumlah orang.

Syaiful misalnya. Akunya, seng bekas, jika langsung dijual ke gudangnya akan dihargai Rp1.600 per kilo. Pagi itu dirinya berhasil mengumpulkan seng sekitar 80 kilo. Sementara, pada Selasa (25/11) sore, pasca penggusuran, dia sempat mengumpulkan besi padu seberat 82 kilo yang dijual Rp3.700 per kilo. Totalnya, dia memperoleh Rp431.400 dari puing-puing rumah yang dihancurkan itu.

Foto: Wiwin/PM Sisa puing eksekusi rumah milik warga di pinggiran rel Pasar Timah, Rabu (26/11/2014). Mereka mengumpulkan seng-seng bekas untuk dijual.
Foto: Wiwin/PM
Sisa puing eksekusi rumah milik warga di pinggiran rel Pasar Timah, Rabu (26/11/2014). Mereka mengumpulkan seng-seng bekas untuk dijual.

Namun, jumlah ini harus dibagi 6 orang lainnya yang ikut membantu mengangkut barang-barang tersebut dari tumpukan sisa bangunan. Sebab ini bukanlah pekerjaan mudah jika dikerjakan seorang diri. Syaiful pun sebenarnya bukan warga korban penggusuran. Melainkan warga yang bermukim di pinggir kereta api yang berada di seberang pemukiman warga yang digusur. Hanya saja dirinya sudah meminta ijin kepada pemilik rumah untuk mengangkut barang sisa bangunan rumahnya.

“Kalau kayak balok besar per becaknya Rp80 ribu. Kabel kuningan Rp65 ribu per kilonya,” ungkapnya. Salah seorang warga lainnya yang mengetahui kehadiran kru Posmetro Medan pun langsung bercerita bahwa dirinya hanya sempat menyelamatkan barang dapur dan pakaian saja. Rumahnya adalah bekas peninggalan orangtuanya sejak tahun 1977 silam.

“Puing-puing ini lah harta kami terakhir dek. Saya menunggu 4 tahun untuk rehab rumah, saya habis Rp10 juta, hasil keringat saya. Uang halal loh ini. Tapi hancurnya sekejap mata. Untungnya surat berharga sudah semua saya ungsikan ke rumah saudara. Ini anak saya di rumah saudara saya di Jl. Tenggiri,” ujarnya mengawali percakapan.

“Saya dan suami, pagi ini ke sini untuk ambil sisa-sia yang bisa jadi uang. Memang gak seberapa, tapi paling tidak bisa membuat kami tidak terlalu menyusahkan saudara. Ada pula tetangga saya yang baru pas puasa kemarin benerin dapurnya. Kami minta rumah 6×6 meter ajanya. Kamar dua kecil, ruang tamu kecil. Yang penting bisa berteduh dari panas dan hujan,” ungkap cewek Br Siregar itu.

Saat sebagian warga sibuk mengurusi puing sisa rumah mereka, sebagian lagi memilih duduk di rel kereta api sambil meratapi puing-puing rumahnya. Jika kereta api lewat maka mereka pun bergegas menepi di pinggir rel. Ada juga yang memilih makan siang di atas rel.

Foto: Wiwin/PM Warga Pasar Timah makan di atas rel, di areal rumah mereka yang dieksekusi PT KAI, Rabu (26/11/2014).
Foto: Wiwin/PM
Warga Pasar Timah makan di atas rel, di areal rumah mereka yang dieksekusi PT KAI, Rabu (26/11/2014).

“Belum ada makan aku dek dari semalam. Baru inilah makan ku. Mana ingat makan lagi semalam. Udah lemas dan tak ada seleraku lagi,” ucap salah seorang warga saat menyantap makan siangnya bersama beberapa warga lainnya. Korban penggusuran pun harus rela berbagi tempat tinggal sementara dengan puluhan warga lainnya di Mushola Al Ikhlas yang berada tak jauh dari rumah mereka. Tepatnya di pinggir rel kereta api yang luput dari penggusuran.

Semua barang warga yang berhasil di selamatkan mulai dari pakaian, mesin cuci, TV, antena, kipas angin, lemari laci, sepeda main anak-anak, hingga 2 kandang burung pun ada di dalam mushola yang berukuran sangat kecil itu. Di dalamnya banyak anak-anak yang masih berumur sekitar 2-5 tahun.

Seakan tak paham, anak-anak tersebut bermain riang. Sementara para orangtua terlihat merenung, seakan memutar otak untuk melanjutkan kehidupan mereka. Bahkan, di hari itu tidak ada anak yang sekolah. “Anak gak sekolah, isteri gak masak, suami gak kerja. Mau cemana sekolah kalau keadaan keluarganya begini. Mau masak dan kerja pun macam mana, udah lemas kami dibuat kayak gini,” ungkap

Ida (44), salah seorang warga korban penggusuran sambil memperlihatkan keadaan tempat pengungsian warga di Mushola.

Wanita berbaju kusam itu masih belum ikhlas atas penggusuran kemarin sore. Uang biaya bongkar Rp1,5juta dari PT KAI pun tak akan pernah diterimanya. Dirinya dan warga lainnya hanya memohon diberikan ganti rugi yang layak untuk mendapatkan rumah baru.

Ida pun mengatakan bahwa sesungguhnya selama ini dirinya tak nyaman tinggal di pinggiran rel kereta api. Namun apa daya, penghasilan sehari-hari sebagai tukang cuci baju tak bisa membuatnya angkat kaki dari sana. “Kami semua di sini gak ada rumah di luar sana. Kalau ada, ngapain kami tinggal di sini. Bising suara kereta api tiap waktu lewat,” terangnya.

“Masa cuma Rp1,5 juta dikasih. Mau beli di Tembung pun gak cukup itu. Nyewa rumah pun segitu ga dapat. Pokoknya kami sepakat ga akan terima uang itu. Sampai dapat rumah kami akan tetap di sini. Kami pun sebenarnya gak dikasih uang pun ga apa. Asal itu, Yang Lim Plaza juga digusur. Jangan kami aja!” ujar Ida dengan nada emosi.

Ada pula seorang janda anak 7 bernama Heni (47), yang mengaku semalam tidak bisa tidur memikirkan nasibnya dan anak-anaknya. Heni mengaku selama ini hidup dengan hasil keringat dari mencuci baju tetangganya. Kini dirinya pasrah menunggu hasil puing-puing rumahnya dijual oleh warga yang membantunya mengutipi dari balik reruntuhan beton.

“Satu malam gak bisa saya tidur memikirkan segalanya. Kami mau pindah kemana? Anak saya baru satu yang udah kerja, yang lain masih sekolah. Itu ada yang minta ijin sama saya buat kutipi sisa bangunan. Kalau dikasih uangnya sama saya ya Alhamdullilah. Kalau gak ya sudah saya ikhlas. Habisnya mau cemana lagi. Saya mana ada tenaga,” ungkapnya lemah di depan mushola.

Foto: Wiwin/PM Warga Pasar Timah yang digusur PT KAI mengungsi ke musala, Rabu (26/11/2014).
Foto: Wiwin/PM
Warga Pasar Timah yang digusur PT KAI mengungsi ke musala, Rabu (26/11/2014).

Warga lainnya yang berada di pengungsian mushola, Andi (37) pun sangat kecewa dengan penggusuran itu. Sebab penggusuran dilakukan di tempat pemukiman padat penduduk. Sementara, Yang Lim plaza yang bukan tempat tinggal warga tidak dirobohkan terlebih dahulu.

Lalu kios penampungan pedagang Pasar Timah pun dibangun di halaman Yang Lim Plaza. Hal ini menguatkan kecurigaan warga, bahwa PD Pasar Kota Medan menumpang ‘aksi’ PT KAI untuk merevitalisasi pasar Timah. Padahal perevitalisasian pasar Timah belum ada kesepakatan antara pedagang, PD Pasar kota Medan serta DPRD kota Medan dan Pemerintah kota Medan.

“Di sana banyak loh yang gak padat pemukiman warga. Kenapa harus di sini dulu. Atau kenapa gak Yang Lim dulu? Kenapa kios penampungan udah dibangun sementara pedagang Pasar Timah belum mau pasarnya direvitalisasi. Banyak tanda tanya yang begitu menyesakkan dada kami semua,” ujar pria bertubuh besar yang enggan namanya dimuat itu.

Sebelumnya PT KAI pun mengatakan bahwa pihaknya memang ada terikat kontrak sewa menyewa dengan pedagang. Namun sudah berakhir di tahun 2004. Pemutusan ini pun dikatakan Humas PT KAI Sumut, Jaka Jakarsih dikarenakan warga susah membayar iuran. Namun salah seorang warga, Alan Aruan (51), membantah hal tersebut. Sebab selama ini PT KAI tidak pernah memberitahukan bahwa adanya pemutusan kontrak.

“Ini kayak pemutusan sepihak. Kita mau bayar, tapi dibilangnya stop dulu karena uang gak masuk ke kantor katanya. Ya udah, kalau dibilang gitu cemana kami mau bayar. Ada itikad baiknya kami. Tapi kan biasa warga ini dikutipi sama petugas PT KAI, jadi kalau gak ada lagi yang kutip ya mau bayar kemana. Jadi kami permisi loh bangun rumah di sini. Rata-rata per tahunnya itu Rp300-400ribu. Ada suratnya sama kami. Dulu ini semak belukar lalu ditimbun warga. Jadi jangan ini udah bersih, lalu mereka usir kami. Apa ga sakit hati kami!” ujar pria yang sehari-hari berjualan sate di pajak besi itu.

Kisah semak belukar area pemukiman warga tersebut pun dilontarkan oleh Abdurahman (61). Dia tinggal di pinggiran rel kereta api, tapi luput dari penggusuran. Dia tinggal di sana sejak tahun 1976 silam sebagai penjaga pintu perlintasan kereta api. Maka dari itu, dirinya mendapat jatah 1 unit rumah di kawasan tersebut.

Diakuinya, pemukiman warga yang digusur tersebut, dulunya berupa semak belukar yang banyak ditumbuhi tumbuhan liar. Dia tak ingat tepatnya bangunan rumah pertama berdiri di sana. Namun dirinya menyebutkan sekitar tahun 1980 rumah warga sudah banyak berada di sana.

“Hukum itu gak berlaku bagi yang ada uang. Hukum itu kalau ke atas tumpul, tapi kalau ke bawah sangat tajam. Itu lah yang kami rasakan sebagai rakyat kecil dek,” ujarnya sambil menatap luas puing-puing bangunan rumah tetangganya pagi itu. (win/trg)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/