25.6 C
Medan
Sunday, May 19, 2024

Kasus Dugaan Suntik Vaksin Kosong, IDI Medan Masih Kumpulkan Bukti

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Kota Medan terus mendalami dugaan suntik vaksin kosong yang telah viral videonya beberapa waktu lalu. Dalam kasus ini, diduga dokter berinisial G menyuntik tanpa cairan vaksin kepada salah seorang murid SD Wahidin di Medan Labuhan saat kegiatan vaksinasi massal.

Sekretaris IDI Medan dr Ery Suhaemi mengaku, pihaknya sudah memanggil dokter G. Selain itu, juga perawat DSS yang membantu tugas dokter G saat itu. “Sudah mulai memanggil dan intesvigasi dokter dan perawat itu. Namun, sejauh ini belum sampai ke sidang kode etik,” kata Ery kepada wartawan, Kamis (27/1).

Ery juga mengaku, pihaknya saat ini masih mengumpulkan alat bukti. “Kami masih mengumpulkan berkas dan bukti-bukti. Setelah cukup, baru kami serahkan kepada Majelis (Kode Etik) Kedokteran,” ujarnya.

Menurut dia, dalam kasus ini ada tiga norma yang akan dilihat. Ketiga norma tersebut, yaitu disiplinn

etika dan kejujuran. “Jika itu etik, baru diserahkan ke organisasi profesi. Kami sudah mulai memasuki tahap itu dan ini lagi diproses,” tukasnya.

Polisi Dinilai Prematur

Sementara, kuasa hukum dokter G, Dedek Kurniawan menilai, penanganan kasus ini oleh pihak kepolisian, prematur. Menurutnya, kasus yang sempat viral videonya di media sosial ini, semestinya ditangani lebih dulu oleh Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK). “Ya prematur. Polisi seharusnya menunggu hasil (dari penanganan yang dilakukan) MKEK, karena kan profesi, seperti advokat, notaris, wartawan, dan sebagainya,” kata Dedek Kurniawan kepada wartawan.

Menurut dia, dalam persoalan ini seharusnya polisi mencari orang yang pertama kali memposting video itu ke media sosial. “Klien kita ini tidak melakukan seperti yang dituduhkan dalam video tersebut. Artinya, membantah tudingan menyuntik vaksin kosong,” ujarnya.

Dia mengaku, kasus tersebut sebelumnya ditangani Polres Pelabuhan Belawan. Kemudian, sekarang ini telah ditarik dan ditangani Polda Sumut. “Sudah ditarik kasusnya oleh Polda Sumut. Kita berharap, dengan ditariknya kasusnya ini oleh Polda Sumut semoga semakin terang-benderang. Ada kepastian hukum, terlebih terhadap masyarakat yang telah menonton video tersebut sehingga tidak ada lagi penghakiman sosial kepada klien kami,” ungkapnya.

Disinggung mengenai permintaan maaf dokter G setelah viral video itu, Dedek menyatakan bukan karena mengaku bersalah. “Permintaan maaf bukan menyatakan dia bersalah, permintaan maaf itu jika saya (dokter G) disebut khilaf,” akunya.

Lebih lanjut Dedek mengatakan, dia meminta kepada semua pihak untuk menahan diri, jangan menyebarkan lagi video tersebut karena kebenarannya belum terbukti atau masih diragukan. “Kasih kesempatan kepada pihak kepolisian untuk mengusutnya secara tuntas sehingga terang-benderang perkara ini. Selain itu, menentukan klien kami ini apa status hukumnya. Kalau memang mau dilanjutkan ya lanjutkan dan kalau memang tidak ya dihentikan, jangan sampai digantung,” tukas dia.

Sebelumnya diberitakan, Majelis Kode Etik Kedokteran diminta turun tangan terkait kasus ini. Hal ini disampaikan Ketua Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) Cabang Sumatera Utara (Sumut) dr Rudi Rahmadsyah Sambas. “Terhadap adanya dugaan suntikan vaksin kosong, berharap MKEK turun tangan,” kata Rudi melalui whatsapp, Rabu (26/1).

Rudi juga berharap, kasus ini segera mendapat titik terang. “Kita menginginkan ini segera di-clear-kan karena ini menyangkut harkat martabat dokter umum, yang saat ini tenaganya sangat dibutuhkan dalam membantu percepatan program vaksinasi pada pandemi ini,” ujarnya.

Senada disampaikan Sekretaris Umum DPW Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) Wilayah Sumut, Redyanto Sidi. Kata Redyanto, terkait dengan kasus itu kiranya dapat dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu oleh MKEK. Hal ini guna mengetahui apakah telah terjadi pelanggaran standar profesi medis yang diduga dilakukan dokter G sebagai vaksinator dalam kegiatan vaksinasi massal tersebut.

“Majelis Kehormatan Etik Kedokteran selayaknya berperan dalam kasus ini guna mendapatkan kepastian adanya atau tidak pelanggaran etik, karena MKEK lah yang dapat menentukan ada tidaknya kesalahan dari seorang dokter. Persoalan ini belum layak dibawa ke ranah hukum, apalagi hukum pidana adalah jalan terakhir sebagaimana asas ‘Ultimum Remedium’,” ungkapnya.

Tak jauh beda disampaikan pengamat kesehatan Sumut, dr Delyuzar. Ia menuturkan, dalam kasus tersebut harus ada asas praduga tak bersalah karena belum diputuskan pengadilan. Terlebih, persoalan itu tindakan medis. “Jika itu ada kesalahan SOP (standar operasional prosedur), maka sebenarnya bukan langsung ke polisi tapi itu ada aturannya. Kasus itu harus diperiksa di Majelis Kode Etik Kedokteran, dan itu di dalamnya Ikatan Dokter Indonesia (IDI),” tutur Delyuzar kepada wartawan.

Menurut Delyuzar, kalau ada kesalahan disiplin kedokteran dan tidak cocok dengan prosedur medis, maka semestinya akan diperiksa oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Sebab, majelis tersebut merupakan lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter. “Jadi belum ke polisi dulu, itu prosedurnya. Kalau ada temuan pidana, baru ke polisi,” ucapnya. (ris)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Kota Medan terus mendalami dugaan suntik vaksin kosong yang telah viral videonya beberapa waktu lalu. Dalam kasus ini, diduga dokter berinisial G menyuntik tanpa cairan vaksin kepada salah seorang murid SD Wahidin di Medan Labuhan saat kegiatan vaksinasi massal.

Sekretaris IDI Medan dr Ery Suhaemi mengaku, pihaknya sudah memanggil dokter G. Selain itu, juga perawat DSS yang membantu tugas dokter G saat itu. “Sudah mulai memanggil dan intesvigasi dokter dan perawat itu. Namun, sejauh ini belum sampai ke sidang kode etik,” kata Ery kepada wartawan, Kamis (27/1).

Ery juga mengaku, pihaknya saat ini masih mengumpulkan alat bukti. “Kami masih mengumpulkan berkas dan bukti-bukti. Setelah cukup, baru kami serahkan kepada Majelis (Kode Etik) Kedokteran,” ujarnya.

Menurut dia, dalam kasus ini ada tiga norma yang akan dilihat. Ketiga norma tersebut, yaitu disiplinn

etika dan kejujuran. “Jika itu etik, baru diserahkan ke organisasi profesi. Kami sudah mulai memasuki tahap itu dan ini lagi diproses,” tukasnya.

Polisi Dinilai Prematur

Sementara, kuasa hukum dokter G, Dedek Kurniawan menilai, penanganan kasus ini oleh pihak kepolisian, prematur. Menurutnya, kasus yang sempat viral videonya di media sosial ini, semestinya ditangani lebih dulu oleh Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK). “Ya prematur. Polisi seharusnya menunggu hasil (dari penanganan yang dilakukan) MKEK, karena kan profesi, seperti advokat, notaris, wartawan, dan sebagainya,” kata Dedek Kurniawan kepada wartawan.

Menurut dia, dalam persoalan ini seharusnya polisi mencari orang yang pertama kali memposting video itu ke media sosial. “Klien kita ini tidak melakukan seperti yang dituduhkan dalam video tersebut. Artinya, membantah tudingan menyuntik vaksin kosong,” ujarnya.

Dia mengaku, kasus tersebut sebelumnya ditangani Polres Pelabuhan Belawan. Kemudian, sekarang ini telah ditarik dan ditangani Polda Sumut. “Sudah ditarik kasusnya oleh Polda Sumut. Kita berharap, dengan ditariknya kasusnya ini oleh Polda Sumut semoga semakin terang-benderang. Ada kepastian hukum, terlebih terhadap masyarakat yang telah menonton video tersebut sehingga tidak ada lagi penghakiman sosial kepada klien kami,” ungkapnya.

Disinggung mengenai permintaan maaf dokter G setelah viral video itu, Dedek menyatakan bukan karena mengaku bersalah. “Permintaan maaf bukan menyatakan dia bersalah, permintaan maaf itu jika saya (dokter G) disebut khilaf,” akunya.

Lebih lanjut Dedek mengatakan, dia meminta kepada semua pihak untuk menahan diri, jangan menyebarkan lagi video tersebut karena kebenarannya belum terbukti atau masih diragukan. “Kasih kesempatan kepada pihak kepolisian untuk mengusutnya secara tuntas sehingga terang-benderang perkara ini. Selain itu, menentukan klien kami ini apa status hukumnya. Kalau memang mau dilanjutkan ya lanjutkan dan kalau memang tidak ya dihentikan, jangan sampai digantung,” tukas dia.

Sebelumnya diberitakan, Majelis Kode Etik Kedokteran diminta turun tangan terkait kasus ini. Hal ini disampaikan Ketua Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) Cabang Sumatera Utara (Sumut) dr Rudi Rahmadsyah Sambas. “Terhadap adanya dugaan suntikan vaksin kosong, berharap MKEK turun tangan,” kata Rudi melalui whatsapp, Rabu (26/1).

Rudi juga berharap, kasus ini segera mendapat titik terang. “Kita menginginkan ini segera di-clear-kan karena ini menyangkut harkat martabat dokter umum, yang saat ini tenaganya sangat dibutuhkan dalam membantu percepatan program vaksinasi pada pandemi ini,” ujarnya.

Senada disampaikan Sekretaris Umum DPW Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) Wilayah Sumut, Redyanto Sidi. Kata Redyanto, terkait dengan kasus itu kiranya dapat dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu oleh MKEK. Hal ini guna mengetahui apakah telah terjadi pelanggaran standar profesi medis yang diduga dilakukan dokter G sebagai vaksinator dalam kegiatan vaksinasi massal tersebut.

“Majelis Kehormatan Etik Kedokteran selayaknya berperan dalam kasus ini guna mendapatkan kepastian adanya atau tidak pelanggaran etik, karena MKEK lah yang dapat menentukan ada tidaknya kesalahan dari seorang dokter. Persoalan ini belum layak dibawa ke ranah hukum, apalagi hukum pidana adalah jalan terakhir sebagaimana asas ‘Ultimum Remedium’,” ungkapnya.

Tak jauh beda disampaikan pengamat kesehatan Sumut, dr Delyuzar. Ia menuturkan, dalam kasus tersebut harus ada asas praduga tak bersalah karena belum diputuskan pengadilan. Terlebih, persoalan itu tindakan medis. “Jika itu ada kesalahan SOP (standar operasional prosedur), maka sebenarnya bukan langsung ke polisi tapi itu ada aturannya. Kasus itu harus diperiksa di Majelis Kode Etik Kedokteran, dan itu di dalamnya Ikatan Dokter Indonesia (IDI),” tutur Delyuzar kepada wartawan.

Menurut Delyuzar, kalau ada kesalahan disiplin kedokteran dan tidak cocok dengan prosedur medis, maka semestinya akan diperiksa oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Sebab, majelis tersebut merupakan lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter. “Jadi belum ke polisi dulu, itu prosedurnya. Kalau ada temuan pidana, baru ke polisi,” ucapnya. (ris)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/