26.7 C
Medan
Saturday, May 18, 2024

Anakku Mati Dibakar Orang…

Kejadian tragis di Kutalimbaru, Deliserdang, Minggu (26/2) malam, menyisakan cukup banyak pertanyaan. Duka keluarga dua korban tewas dibakar massa, Ricardo Sitorus dan Marco Siregar, seakan tiada henti. Apalagi, ketika keduanya pamit sebelum tewas untuk ke gereja.  

MEDAN- Saat rumah duka Ricardo Sitorus disambangi koran ini, suasana duka kental terasa di rumah bercat putih itu. Rekan dan kerabat korban tampak sudah memadati rumah duka di Jalan Perkutut, Gang Setuju, Kecamatan Helvetia.

Pada Posmetro Medan (grup Sumut Pos), S Sitorus (50) ayah korban mengaku, Minggu (26/2) sekira pukul 16.00 WIB Ricardo pamit untuk pergi ke gereja. Itulah pertemuan terakhir Sitorus dengan putra tercintanya sebelum meregang nyawa dibakar massa.
“Mau gereja di GBI Medan Plaza katanya, sudah mau diantarnya pun saya partamiangan tapi saya bilang tak usah karena saya takut mengganggu ibadahnya,” ujar Sitorus dengan wajah sembab dan berlinang air mata.

Setengah termangu, Sitorus mengaku malam harinya sekira pukul 20.00 WIB ia menelepon handphone Ricardo namun tak ada jawaban. Sekira pukul 04.00 WIB subuh, Effendi Hutasoit personel Reskrim Polresta Medan yang juga teman korban datang ke rumah Ricardo. “Katanya anak saya sudah mati dibakar orang,” urainya sambil berlinang air mata.

Sitorus meminta kepada kepolisian agar segera menangkap pelaku yang menyebabkan anaknya sampai tewas tak wajar. Menurutnya, ia tahu benar anaknya bukan seorang pencuri apalagi sampai nekat mencuri ternak. “Itu anak saya, saya tahu dia. Nggak mungkin dia mencuri lembu, dia bukan pencuri lembu. Anak saya usaha rental mobil,” tuturnya.

Selama ini Ricardo bekerja sebagai honorer di PD Pasar Simalungun. Namun, Ricardo juga menjalankan bisnis rental mobilnya. “Waktu pergi pakai kemeja lengan pendek, celana jeans. Pakai kalung mas putih 10 gram, cincin 10 gram, di tangan kanan ada cincin permata merah 3 gram,” urai pegawai Dinas Pendidikan ini.

Pengakuan yang sama juga terlontar di rumah duka Marco di Jalan Perkut Gang Gereja Kecamatan Helvetia. Sore itu pada waktu yang sama Marko pamit untuk pergi ke gereja.

“Katanya mau gereja, Bang,” ujar Putra (17) adik Marco saat disambangi di rumahnya.

Putra juga mengaku sore itu tak berfirasat buruk soal abangnya. “Perginya rapi, pakai kemeja dan pakai jeans,” tutur Siswa ST Thomas II itu sambil mengaku orangtuanya belum dapat ditanyai karena masih dalam keadaan berduka.

Pada kejatian Minggu (26/2) malam lalu, sejatinya Kepala Desa Lau Bakeri sempat mengamankan Brigadir Albertus Zebua dan meminta bantuan kepada Polsek Kutalimbaru. Tapi, banyaknya massa membuat nyali personel Reserse Polsek Kutalimbaru ‘ciut’ (lihat grafis). “Karena personel Polsek minim membuat warga terus menganiaya Ricardo dan Marco. Massa kemudian menyeret keduanya ke bawah kendaraan yang sudah dibalikkan,” jelas Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Pol Raden Heru Prakoso. Setelah berada di samping mobil yang sudah terbalik, mobil yang dikendarai korban kemudian dibalikkan kembali sehingga posisinya kembali seperti semula. Lalu, massa membakar mobil tersebut hingga menewaskan Ricardo dan Marco.

“Keduanya tewas di TKP akibat luka bakar yang cukup parah, setelah itu kita mengamankan jasad korban untuk di autopsi di RS Adam Malik. Mobil korban juga sudah diamankan di Polresta Medan, berikut tiga orang yang selamat. Jadi itu bukan pencuri lembu,” ungkap Heru.

Heru mengaku saat ini polisi sedang memburu Kelana yang memancing warga bertindak anarkis hingga menyebabkan Ricardo dan Marco tewas diamuk massa. Ditanya soal SOP tindakan warga yang anarkis, Heru mengatakan anggotanya tak ada yang melakukan tembakan peringatan. “Massa sudah terlalu anarkis,” sebutnya.

Bentuk Frustasi Kolektif

Penasihat Kapolri Kastorius Sinaga, sangat menyesalkan sikap main hakim sendiri yang diperlihatkan massa di Desa Lau Bekeri, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten DeliSerdang, Sumatera Utara. Pasalnya hanya karena diteriaki maling, massa langsung membakar dua orang hidup-hidup hingga tewas.
Namun meski menyesalkan hal tersebut, menurut sosiolog Universitas Indonesia ini secara khusus kepada Sumut Pos mengatakan tingginya aksi main hakim yang dilakukan masyarakat, merupakan bentuk frustasi kolektif karena kekecewaan yang berkepanjangan. Sehingga masyarakat gampang dihasut untuk melakukan tindakan anarkis.  “Jadi dalam hal ini, aparat kepolisian tidak dapat berbuat banyak. Polisi hanya menjadi petugas pemadam kebakaran yang hanya memadamkan sesaat dan menjaga aksi tersebut tidak meluas. Seharusnya kan mengatasi hal ini itu dilakukan oleh instansi-instansi yang ada,”ungkapnya.

“Jadi tingginya aksi kekerasan jika dilihat dari angka kuantitatif yang dilakukan masyarakat, memperlihatkan kalau Pemda di Sumut sangat belum bekerja dengan maksimal. Bahkan dari segi persentase, kenaikan aksi main hakim ditengah masyarakat Sumut, mencapai 15-20 persen setiap tahunnya. Sering kita lihat Pemda tidak berbuat apa-apa menyikapi apa yang terjadi,”ungkap Kastorius yang menyatakan Sumut dalam analisa kerawanan konflik di Indonesia, termasuk daerah kerawanan dalam kategori hotspot,” timpalnya lagi..

Menurut Kasto, Sumut urutan teratas peta kerawanan konflik, disebabkan beberapa hal. Kekecewaan yang berlarut-larut akibat persoalan tanah ini, begitu banyak terjadi. Belum lagi akibat kesulitan ekonomi dan hal-hal sosial lain. “Makanya saya sebut kalau ditanya mekanisme penanganan, itu tidak bisa ditangani kepolisian sendiri. Tapi Pemda, termasuk Badan Pertanahan Nasional dan tokoh-tokoh masyarakat yang ada. Jadi harus diselesaikan secara konfrehensif. Pemda harus bijak menyikapi isu-isu pembebasan lahan perkebunan, tambang dan lain-lain. Kalau persoalan yang terjadi dapat diminimalisir, maka saya pikir masyarakat tidak akan gampang lagi terpicu hanya karena hasutan,”ungkapnya.(ala/smg/gir)

Kejadian tragis di Kutalimbaru, Deliserdang, Minggu (26/2) malam, menyisakan cukup banyak pertanyaan. Duka keluarga dua korban tewas dibakar massa, Ricardo Sitorus dan Marco Siregar, seakan tiada henti. Apalagi, ketika keduanya pamit sebelum tewas untuk ke gereja.  

MEDAN- Saat rumah duka Ricardo Sitorus disambangi koran ini, suasana duka kental terasa di rumah bercat putih itu. Rekan dan kerabat korban tampak sudah memadati rumah duka di Jalan Perkutut, Gang Setuju, Kecamatan Helvetia.

Pada Posmetro Medan (grup Sumut Pos), S Sitorus (50) ayah korban mengaku, Minggu (26/2) sekira pukul 16.00 WIB Ricardo pamit untuk pergi ke gereja. Itulah pertemuan terakhir Sitorus dengan putra tercintanya sebelum meregang nyawa dibakar massa.
“Mau gereja di GBI Medan Plaza katanya, sudah mau diantarnya pun saya partamiangan tapi saya bilang tak usah karena saya takut mengganggu ibadahnya,” ujar Sitorus dengan wajah sembab dan berlinang air mata.

Setengah termangu, Sitorus mengaku malam harinya sekira pukul 20.00 WIB ia menelepon handphone Ricardo namun tak ada jawaban. Sekira pukul 04.00 WIB subuh, Effendi Hutasoit personel Reskrim Polresta Medan yang juga teman korban datang ke rumah Ricardo. “Katanya anak saya sudah mati dibakar orang,” urainya sambil berlinang air mata.

Sitorus meminta kepada kepolisian agar segera menangkap pelaku yang menyebabkan anaknya sampai tewas tak wajar. Menurutnya, ia tahu benar anaknya bukan seorang pencuri apalagi sampai nekat mencuri ternak. “Itu anak saya, saya tahu dia. Nggak mungkin dia mencuri lembu, dia bukan pencuri lembu. Anak saya usaha rental mobil,” tuturnya.

Selama ini Ricardo bekerja sebagai honorer di PD Pasar Simalungun. Namun, Ricardo juga menjalankan bisnis rental mobilnya. “Waktu pergi pakai kemeja lengan pendek, celana jeans. Pakai kalung mas putih 10 gram, cincin 10 gram, di tangan kanan ada cincin permata merah 3 gram,” urai pegawai Dinas Pendidikan ini.

Pengakuan yang sama juga terlontar di rumah duka Marco di Jalan Perkut Gang Gereja Kecamatan Helvetia. Sore itu pada waktu yang sama Marko pamit untuk pergi ke gereja.

“Katanya mau gereja, Bang,” ujar Putra (17) adik Marco saat disambangi di rumahnya.

Putra juga mengaku sore itu tak berfirasat buruk soal abangnya. “Perginya rapi, pakai kemeja dan pakai jeans,” tutur Siswa ST Thomas II itu sambil mengaku orangtuanya belum dapat ditanyai karena masih dalam keadaan berduka.

Pada kejatian Minggu (26/2) malam lalu, sejatinya Kepala Desa Lau Bakeri sempat mengamankan Brigadir Albertus Zebua dan meminta bantuan kepada Polsek Kutalimbaru. Tapi, banyaknya massa membuat nyali personel Reserse Polsek Kutalimbaru ‘ciut’ (lihat grafis). “Karena personel Polsek minim membuat warga terus menganiaya Ricardo dan Marco. Massa kemudian menyeret keduanya ke bawah kendaraan yang sudah dibalikkan,” jelas Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Pol Raden Heru Prakoso. Setelah berada di samping mobil yang sudah terbalik, mobil yang dikendarai korban kemudian dibalikkan kembali sehingga posisinya kembali seperti semula. Lalu, massa membakar mobil tersebut hingga menewaskan Ricardo dan Marco.

“Keduanya tewas di TKP akibat luka bakar yang cukup parah, setelah itu kita mengamankan jasad korban untuk di autopsi di RS Adam Malik. Mobil korban juga sudah diamankan di Polresta Medan, berikut tiga orang yang selamat. Jadi itu bukan pencuri lembu,” ungkap Heru.

Heru mengaku saat ini polisi sedang memburu Kelana yang memancing warga bertindak anarkis hingga menyebabkan Ricardo dan Marco tewas diamuk massa. Ditanya soal SOP tindakan warga yang anarkis, Heru mengatakan anggotanya tak ada yang melakukan tembakan peringatan. “Massa sudah terlalu anarkis,” sebutnya.

Bentuk Frustasi Kolektif

Penasihat Kapolri Kastorius Sinaga, sangat menyesalkan sikap main hakim sendiri yang diperlihatkan massa di Desa Lau Bekeri, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten DeliSerdang, Sumatera Utara. Pasalnya hanya karena diteriaki maling, massa langsung membakar dua orang hidup-hidup hingga tewas.
Namun meski menyesalkan hal tersebut, menurut sosiolog Universitas Indonesia ini secara khusus kepada Sumut Pos mengatakan tingginya aksi main hakim yang dilakukan masyarakat, merupakan bentuk frustasi kolektif karena kekecewaan yang berkepanjangan. Sehingga masyarakat gampang dihasut untuk melakukan tindakan anarkis.  “Jadi dalam hal ini, aparat kepolisian tidak dapat berbuat banyak. Polisi hanya menjadi petugas pemadam kebakaran yang hanya memadamkan sesaat dan menjaga aksi tersebut tidak meluas. Seharusnya kan mengatasi hal ini itu dilakukan oleh instansi-instansi yang ada,”ungkapnya.

“Jadi tingginya aksi kekerasan jika dilihat dari angka kuantitatif yang dilakukan masyarakat, memperlihatkan kalau Pemda di Sumut sangat belum bekerja dengan maksimal. Bahkan dari segi persentase, kenaikan aksi main hakim ditengah masyarakat Sumut, mencapai 15-20 persen setiap tahunnya. Sering kita lihat Pemda tidak berbuat apa-apa menyikapi apa yang terjadi,”ungkap Kastorius yang menyatakan Sumut dalam analisa kerawanan konflik di Indonesia, termasuk daerah kerawanan dalam kategori hotspot,” timpalnya lagi..

Menurut Kasto, Sumut urutan teratas peta kerawanan konflik, disebabkan beberapa hal. Kekecewaan yang berlarut-larut akibat persoalan tanah ini, begitu banyak terjadi. Belum lagi akibat kesulitan ekonomi dan hal-hal sosial lain. “Makanya saya sebut kalau ditanya mekanisme penanganan, itu tidak bisa ditangani kepolisian sendiri. Tapi Pemda, termasuk Badan Pertanahan Nasional dan tokoh-tokoh masyarakat yang ada. Jadi harus diselesaikan secara konfrehensif. Pemda harus bijak menyikapi isu-isu pembebasan lahan perkebunan, tambang dan lain-lain. Kalau persoalan yang terjadi dapat diminimalisir, maka saya pikir masyarakat tidak akan gampang lagi terpicu hanya karena hasutan,”ungkapnya.(ala/smg/gir)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/