30.6 C
Medan
Sunday, June 2, 2024

Merenungi Dosa dalam Hening, sekaligus Memulai Hidup Baru

Foto: Bambang/Sumut Pos
Suasana Nyepi di Kampung Bali, Langkat, Sumut.

Menurut Nyoman Sumandro, Kampung Bali pertama kali berdiri di Langkat sekitar tahun 1970. Ketika itu, Sebanyak 15 Kepala Keluarga (KK) dari Bali, dikontrak untuk mengelola sebuah kebun di daerah Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat.

“Kontrak itu dilakukan hanya selama 6 tahun. Ketika masa kontrak mulai berakhir, para orangtua kami berpikir mau tinggal di mana? Akhirnya, dicarilah lahan kosong yang disebut sebagai Tanah Negara Bebas (TNB). Sehingga, ditemukanlah tempat ini dan sekarang terus berkembang,” jelas Nyoman Sumandro.

Setelah kampung ini berkembang, sambungnya, jumlah penduduk juga semakin banyak. Sehingga, sebahagian penduduknya memilih untuk meninggalkan Kampung Bali tersebut. “Sekarang ini sudah ada lebih kurang 40-an KK, dengan jumlah penduduk ditaksir mencapai 160 jiwa. Kalau warga yang lain tidak berangkat dari kampung ini, saya rasa lebih banyak lagi,” ungkapnya.

“Mereka pergi karena areal pemukiman di sini dikhawatirkan tidak dapat menampung jumlah penduduk,” timpalnya, seraya menambahkan, warga yang pergi ada yang kembali ke Bali dan juga memilih ke Pekanbaru, Riau.

Kalau dulu, kenang Sumandro, Kampung Bali masih terlihat asri. “Dulu belum ada pura seperti saat ini. Orangtua kami sembahyang dengan pura yang dibuat dengan daun dedep yang dipancang dengan empat sudut. Semakin berkembangnya zaman, pada 1976 pura baru dibangun,” terangnya, seraya menambahkan, ketika raya Nyepi tiba, keluarga dari Kuta Bali sering datang berkunjung ke kampung mereka.

Foto: Bambang/Sumut Pos
Suasana Nyepi di Kampung Bali, Langkat, Sumut.

Menurut Nyoman Sumandro, Kampung Bali pertama kali berdiri di Langkat sekitar tahun 1970. Ketika itu, Sebanyak 15 Kepala Keluarga (KK) dari Bali, dikontrak untuk mengelola sebuah kebun di daerah Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat.

“Kontrak itu dilakukan hanya selama 6 tahun. Ketika masa kontrak mulai berakhir, para orangtua kami berpikir mau tinggal di mana? Akhirnya, dicarilah lahan kosong yang disebut sebagai Tanah Negara Bebas (TNB). Sehingga, ditemukanlah tempat ini dan sekarang terus berkembang,” jelas Nyoman Sumandro.

Setelah kampung ini berkembang, sambungnya, jumlah penduduk juga semakin banyak. Sehingga, sebahagian penduduknya memilih untuk meninggalkan Kampung Bali tersebut. “Sekarang ini sudah ada lebih kurang 40-an KK, dengan jumlah penduduk ditaksir mencapai 160 jiwa. Kalau warga yang lain tidak berangkat dari kampung ini, saya rasa lebih banyak lagi,” ungkapnya.

“Mereka pergi karena areal pemukiman di sini dikhawatirkan tidak dapat menampung jumlah penduduk,” timpalnya, seraya menambahkan, warga yang pergi ada yang kembali ke Bali dan juga memilih ke Pekanbaru, Riau.

Kalau dulu, kenang Sumandro, Kampung Bali masih terlihat asri. “Dulu belum ada pura seperti saat ini. Orangtua kami sembahyang dengan pura yang dibuat dengan daun dedep yang dipancang dengan empat sudut. Semakin berkembangnya zaman, pada 1976 pura baru dibangun,” terangnya, seraya menambahkan, ketika raya Nyepi tiba, keluarga dari Kuta Bali sering datang berkunjung ke kampung mereka.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/