“Saya kira bisa pakai cara lain. Misal Pemko dan DPRD ikut memberi suntikan modal buat PDAM. Sebab ada kaitan kontribusi Medan di sini, mengingat mayoritas jumlah pelanggan air adalah warga Medan. Artinya cek and balance-nya ini saja jalan, tanpa harus mengambilalih sepenuhnya. Apakah sharing profit atau lainnya, itu tergantung Pemko dan DPRD Medan,” paparnya.
Sampai Mei ini LAPK Medan sudah menerima tujuh laporan atau pengaduan masyarakat terhadap pelayanan PDAM Tirtanadi. Lima diantaranya tentang wacana kenaikan tarif air, sedangkan dua lagi mengenai air mati. “Kebanyakan dari laporan itu berasal dari Kecamatan Medan Kota. Seperti di kawasan Jalan Gedung Arca dan Amaliun. Namun secara keseluruhan (dari Januari 2017), sudah ada 37 laporan yang masuk ke kami berkenaan pelayanan PDAM Tirtanadi ini,” pungkasnya.
Sedangkan seorang warga, Rizki, warga Amplas, mengaku pada minggu lalu sangat kesal dengan pelayanan PDAM Tirtanadi. Selama satu minggu air di daerahnya mati.”Sumpah, minggu lalu itu aku geram (marah, Red) kali nengok PDAM Tirtanadi. Bisa pula air mati seharian. Tak bisa beraktivitas jadinya,” katanya kepada Sumut Pos, Minggu (28/5).
Senasib dengan Rizki, warga Helvetia, Hendrik mengamini buruknya pelayanan PDAM Tirtanadi ini. Bahkan setiap hari distribusi air ke wilayah rumahnya sangatlah minim. “Hanya hidup (airnya) siang dan sore hari. Kadang pagi atau malam, menetes pun tidak,” katanya.
Ia menambahkan, kejadian seperti itu sudah berlangsung selama bertahun-tahun tanpa ada solusi dari PDAM Tirtanadi. “Muak juga kita jadinya. Ujung-ujungnya pakai pompa air biar airnya naik,” akunya. (prn/ila)