32.8 C
Medan
Wednesday, May 1, 2024

Penggarap Minta Jatah 70 Persen, Pemilik Tanah Menolak

Foto: Teddy Akbari/Sumut POs
Jalan tol Medan-Binjai, dengan pintu gerbang Helvetia akan bisa digunakan mulai awal Oktober.

BINJAI, SUMUTPOS.CO – Masalah pembebasan lahan untuk pembangunan jalan tol Medan-Binjai di kawasan Tanjung Mulia, masih belum tuntas. Pasalnya, antara pemilik sertifikat tanah dan 400 Kepala Keluarga (KK) warga penggarap ribut soal bagi hasil uang ganti rugi.

Informasi diperoleh Sumut Pos, tim pem-
bebasan lahan terdiri dari pejabat Kanwil BPN Sumut, Kanwil Pekerjaan Umum (PU), Pengadilan Negeri (PN) Medan, serta Dinas Pemukiman dan Penataan Ruang Kota Medan, sebelumnya telah menawarkan ganti rugi tanah senilai Rp1,9 juta per meter, dan disetujui oleh masyarakat sekitar.

Tapi, belakangan, antara 400 KK warga Jalan Kawat Kelurahan Tanjung Mulia Hilir
sebagai penghuni lahan (penggarap) terlibat keributan dengan pemilik tanah. Pasalnya, warga minta pembagian 70 persen dari
nilai uang ganti rugi per meternya. Sedangkan, 6 orang pemegang sertifikat tanah menolak lantaran cuma kebagian 30 persen.

SR Saragih (48), warga Jalan Kawat 3, Tan-
jung Mulia Hilir, Medan Deli, beralasan, ia
bersama warga lainnya meminta jatah senilai itu karena penggusuran proyek tol yang merasakan dampak langsung adalah mereka. Bangunan rumah hilang dan mesti dicari lahan rumah pengganti.

“Tiga puluh tahun lebih aku tinggal di sini, kalau hanya dapat 40 persen dan pemilik 60 persen nggak cocok. Karena kami sudah kehilangan rumah,” ungkapnya.

Sengketa bagi hasil antara ratusan warga
penggarap dan pemilik tanah, sebelumnya
pernah difasilitasi tim pembebasan lahan
proyek jalan tol. Namun, karena kedua belah pihak tetap bersikukuh dengan keinginan masing-masing, akhirnya tidak mem-
peroleh titik terang. “Kami tetap minta segitu, apabila digusur warga di sini siap melawan,” tutur Saragih.

Lurah Tanjung Mulia Hilir, Maulana Harahap membenarkan soal belum adanya
kesepahaman antara warga dengan pemilik sertifikat atas tanah dimaksud. Ia pun ber-
harap permasalahan ini tidak masuk ke ranah hukum atau konsinyasi pengadilan.

“Semoga tidak sampai ke jalur konsinyasi pengadilan. Jika terjadi, pasti akan menimbulkan gejolak,” kata Maulana.

Dijelaskannya, lahan permukiman warga
masuk dalam sesi 1 proyek jalan tol ini dari
mulai kawasan Jalan Kawat 1 hingga Kawat
6 Tanjung Mulia, yang masih bermasalah.

Untuk di Jalan KL Yos Sudarso proses ganti
rugi terhadap warga sudah rampung. “Ada
sekitar 150 hektar, yang masih ada masalah
di Jalan Kawat. Tapi, itupun sudah ada beberapa warga mau menerima 40 persen nilai ganti rugi,” terangnya.

Pun begitu, dia minta warga bisa berpikir
jernih, agar kasusnya dapat terselesaikan
dengan baik. Sebab, jika masalah pembayaran ganti rugi dititipkan tim pembebasan lahan jalan tol lewat jalur pengadilan, tentunya merugikan warga.

“Kalau konsinyasi, tentunya prosedur yang bisa menerima uang itu adalah pemegang sertifikat tanah,” tandas Maulana. (rul/bal/dik/jpg)

Foto: Teddy Akbari/Sumut POs
Jalan tol Medan-Binjai, dengan pintu gerbang Helvetia akan bisa digunakan mulai awal Oktober.

BINJAI, SUMUTPOS.CO – Masalah pembebasan lahan untuk pembangunan jalan tol Medan-Binjai di kawasan Tanjung Mulia, masih belum tuntas. Pasalnya, antara pemilik sertifikat tanah dan 400 Kepala Keluarga (KK) warga penggarap ribut soal bagi hasil uang ganti rugi.

Informasi diperoleh Sumut Pos, tim pem-
bebasan lahan terdiri dari pejabat Kanwil BPN Sumut, Kanwil Pekerjaan Umum (PU), Pengadilan Negeri (PN) Medan, serta Dinas Pemukiman dan Penataan Ruang Kota Medan, sebelumnya telah menawarkan ganti rugi tanah senilai Rp1,9 juta per meter, dan disetujui oleh masyarakat sekitar.

Tapi, belakangan, antara 400 KK warga Jalan Kawat Kelurahan Tanjung Mulia Hilir
sebagai penghuni lahan (penggarap) terlibat keributan dengan pemilik tanah. Pasalnya, warga minta pembagian 70 persen dari
nilai uang ganti rugi per meternya. Sedangkan, 6 orang pemegang sertifikat tanah menolak lantaran cuma kebagian 30 persen.

SR Saragih (48), warga Jalan Kawat 3, Tan-
jung Mulia Hilir, Medan Deli, beralasan, ia
bersama warga lainnya meminta jatah senilai itu karena penggusuran proyek tol yang merasakan dampak langsung adalah mereka. Bangunan rumah hilang dan mesti dicari lahan rumah pengganti.

“Tiga puluh tahun lebih aku tinggal di sini, kalau hanya dapat 40 persen dan pemilik 60 persen nggak cocok. Karena kami sudah kehilangan rumah,” ungkapnya.

Sengketa bagi hasil antara ratusan warga
penggarap dan pemilik tanah, sebelumnya
pernah difasilitasi tim pembebasan lahan
proyek jalan tol. Namun, karena kedua belah pihak tetap bersikukuh dengan keinginan masing-masing, akhirnya tidak mem-
peroleh titik terang. “Kami tetap minta segitu, apabila digusur warga di sini siap melawan,” tutur Saragih.

Lurah Tanjung Mulia Hilir, Maulana Harahap membenarkan soal belum adanya
kesepahaman antara warga dengan pemilik sertifikat atas tanah dimaksud. Ia pun ber-
harap permasalahan ini tidak masuk ke ranah hukum atau konsinyasi pengadilan.

“Semoga tidak sampai ke jalur konsinyasi pengadilan. Jika terjadi, pasti akan menimbulkan gejolak,” kata Maulana.

Dijelaskannya, lahan permukiman warga
masuk dalam sesi 1 proyek jalan tol ini dari
mulai kawasan Jalan Kawat 1 hingga Kawat
6 Tanjung Mulia, yang masih bermasalah.

Untuk di Jalan KL Yos Sudarso proses ganti
rugi terhadap warga sudah rampung. “Ada
sekitar 150 hektar, yang masih ada masalah
di Jalan Kawat. Tapi, itupun sudah ada beberapa warga mau menerima 40 persen nilai ganti rugi,” terangnya.

Pun begitu, dia minta warga bisa berpikir
jernih, agar kasusnya dapat terselesaikan
dengan baik. Sebab, jika masalah pembayaran ganti rugi dititipkan tim pembebasan lahan jalan tol lewat jalur pengadilan, tentunya merugikan warga.

“Kalau konsinyasi, tentunya prosedur yang bisa menerima uang itu adalah pemegang sertifikat tanah,” tandas Maulana. (rul/bal/dik/jpg)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/