25.6 C
Medan
Wednesday, May 22, 2024

Saat Kakak Limbung di Ketinggian 2.500 M, Raihan Stabil

Tepat pada ketinggian 2.500 meter, gejalanya terlihat. Si anak sulung mulai limbung. Kepalanya pusing dan muntah-muntah. Sedangkan Raihan, sang adik yang ketika itu masih berumur delapan tahun, masih stabil.

Pengukuran tersebut masih berlanjut. Dia kembali mengajak keduanya mendaki Gunung Tujuh di Jambi tak lama setelah itu. Gunung tersebut setinggi 2.100 mdpl. Keduanya berhasil mencapai puncak.

Namun, prestasi mencapai puncak itu tak lantas membuat Zaki berniat mendaki gunung lagi. Itu berkebalikan dengan Raihan. Dia justru bersemangat ketika sang ayah mengabari hendak mendaki gunung. ”Ikuuuuut. Dia langsung semangat gitu,” ujar Bambang menirukan respons sang anak.

Tiap menjelang pendakian, dua minggu sebelum keberangkatan, Bambang biasanya akan mengajak Raihan berlatih fisik. Latihan itu berupa lari dan jalan-jalan kecil di Taman Gajah Mada, Sekupang, Batam. Setiap hari Raihan wajib mengelilingi taman empat kali dengan joging dan dua kali dengan jalan.

Manfaat latihan tersebut akan terasa ketika di gunung. Raihan, kata Bambang, tak pernah mengeluh ketika mendaki. Saat merasa lelah, dia hanya bilang lelah. Mereka pun akan beristirahat lima menit. ”Minum saja. Udah gitu jalan lagi,” kata bocah kelahiran 21 September 2005 itu.

Raihan juga tak rewel soal tidur saat berada di gunung. Kadang di dalam tenda. Kadang kala hanya beralas selimut tidur (sleeping bag). ”Lebih enak tidur di gunung daripada di rumah,” ujarnya.

Pengakuan serupa dilontarkan pendaki cilik lainnya, Matthew Tandioputra (baca edisi kemarin). Pendaki asal Bandung yang telah menapakkan kaki di tiga di antara tujuh puncak tertinggi Indonesia itu juga menganggap rumput di gunung lebih empuk daripada kasur di rumah.

Urusan mengisi perut, Raihan juga selalu lahap menyantap mi instan cup. Atau nasi lauk ikan teri bekal dari ibu di rumah. Minumnya, hanya air putih. Baju yang dia kenakan hanya satu lapis. Ditambah jaket satu lapis juga.

Tidak kedinginan? ”Nggak,” jawab Raihan sembari menggeleng.

Bocah kelas IV SD Al Azhar itu mengaku menyukai aktivitas mendaki gunung karena mampu menguatkan kakinya. Dengan kaki yang kuat itu, dia jadi mampu memanjat dinding, hobinya yang lain. Hobi tersebut bahkan sudah menuai prestasi. Dia mendapat perak dalam Pekan Olahraga Kota (Porkot) Batam saat baru pertama menggelutinya pada 2013.

Setahun kemudian, Raihan kembali menyabet perak dalam Pekan Olah Raga Tingkat Wilayah (Porwil) Kepulauan Riau. Disusul perunggu dalam Open Climbing Nasional di Karimun pada tahun yang sama. ”Dia sudah menjadi atlet panjat untuk Kepri,” ujar Bambang lagi.

Melihat spirit putra keduanya itu, Bambang pun makin bersemangat merajut mimpi menapaki tujuh puncak. Dalam liburan sekolah bulan depan, dia berencana mengajak Raihan mendaki Puncak Rante Mario di Pegunungan Latimojong, Sulawesi Selatan. Lalu berlanjut hingga Puncak Carstensz di Papua. ”Awalnya saya memotivasinya untuk bisa melihat kawah gunung. Sekarang, karena sudah jadi hobi, tanpa motivasi pun dia sudah mau sampai puncak,” kata Bambang.

Raihan mengangguk penuh semangat ketika ditanya siapkah menjalani dua ekspedisi yang disampaikan sang ayah itu. Sang ibu juga sudah pasti mendukung.

Yang justru tak didukung adalah keinginan Raihan memiliki hewan peliharaan. Di Taman Tangga Seribu Habibie siang itu, ketika obrolan beralih ke biawak hasil tangkapan, dia melirik penuh harap ke ayahnya. Lalu beralih ke ibunya. Tapi, tidak ada jawaban dari keduanya. Artinya, binatang tersebut tidak boleh dibawa pulang. (*/jpg/c9/ttg)

Tepat pada ketinggian 2.500 meter, gejalanya terlihat. Si anak sulung mulai limbung. Kepalanya pusing dan muntah-muntah. Sedangkan Raihan, sang adik yang ketika itu masih berumur delapan tahun, masih stabil.

Pengukuran tersebut masih berlanjut. Dia kembali mengajak keduanya mendaki Gunung Tujuh di Jambi tak lama setelah itu. Gunung tersebut setinggi 2.100 mdpl. Keduanya berhasil mencapai puncak.

Namun, prestasi mencapai puncak itu tak lantas membuat Zaki berniat mendaki gunung lagi. Itu berkebalikan dengan Raihan. Dia justru bersemangat ketika sang ayah mengabari hendak mendaki gunung. ”Ikuuuuut. Dia langsung semangat gitu,” ujar Bambang menirukan respons sang anak.

Tiap menjelang pendakian, dua minggu sebelum keberangkatan, Bambang biasanya akan mengajak Raihan berlatih fisik. Latihan itu berupa lari dan jalan-jalan kecil di Taman Gajah Mada, Sekupang, Batam. Setiap hari Raihan wajib mengelilingi taman empat kali dengan joging dan dua kali dengan jalan.

Manfaat latihan tersebut akan terasa ketika di gunung. Raihan, kata Bambang, tak pernah mengeluh ketika mendaki. Saat merasa lelah, dia hanya bilang lelah. Mereka pun akan beristirahat lima menit. ”Minum saja. Udah gitu jalan lagi,” kata bocah kelahiran 21 September 2005 itu.

Raihan juga tak rewel soal tidur saat berada di gunung. Kadang di dalam tenda. Kadang kala hanya beralas selimut tidur (sleeping bag). ”Lebih enak tidur di gunung daripada di rumah,” ujarnya.

Pengakuan serupa dilontarkan pendaki cilik lainnya, Matthew Tandioputra (baca edisi kemarin). Pendaki asal Bandung yang telah menapakkan kaki di tiga di antara tujuh puncak tertinggi Indonesia itu juga menganggap rumput di gunung lebih empuk daripada kasur di rumah.

Urusan mengisi perut, Raihan juga selalu lahap menyantap mi instan cup. Atau nasi lauk ikan teri bekal dari ibu di rumah. Minumnya, hanya air putih. Baju yang dia kenakan hanya satu lapis. Ditambah jaket satu lapis juga.

Tidak kedinginan? ”Nggak,” jawab Raihan sembari menggeleng.

Bocah kelas IV SD Al Azhar itu mengaku menyukai aktivitas mendaki gunung karena mampu menguatkan kakinya. Dengan kaki yang kuat itu, dia jadi mampu memanjat dinding, hobinya yang lain. Hobi tersebut bahkan sudah menuai prestasi. Dia mendapat perak dalam Pekan Olahraga Kota (Porkot) Batam saat baru pertama menggelutinya pada 2013.

Setahun kemudian, Raihan kembali menyabet perak dalam Pekan Olah Raga Tingkat Wilayah (Porwil) Kepulauan Riau. Disusul perunggu dalam Open Climbing Nasional di Karimun pada tahun yang sama. ”Dia sudah menjadi atlet panjat untuk Kepri,” ujar Bambang lagi.

Melihat spirit putra keduanya itu, Bambang pun makin bersemangat merajut mimpi menapaki tujuh puncak. Dalam liburan sekolah bulan depan, dia berencana mengajak Raihan mendaki Puncak Rante Mario di Pegunungan Latimojong, Sulawesi Selatan. Lalu berlanjut hingga Puncak Carstensz di Papua. ”Awalnya saya memotivasinya untuk bisa melihat kawah gunung. Sekarang, karena sudah jadi hobi, tanpa motivasi pun dia sudah mau sampai puncak,” kata Bambang.

Raihan mengangguk penuh semangat ketika ditanya siapkah menjalani dua ekspedisi yang disampaikan sang ayah itu. Sang ibu juga sudah pasti mendukung.

Yang justru tak didukung adalah keinginan Raihan memiliki hewan peliharaan. Di Taman Tangga Seribu Habibie siang itu, ketika obrolan beralih ke biawak hasil tangkapan, dia melirik penuh harap ke ayahnya. Lalu beralih ke ibunya. Tapi, tidak ada jawaban dari keduanya. Artinya, binatang tersebut tidak boleh dibawa pulang. (*/jpg/c9/ttg)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/