28 C
Medan
Friday, May 17, 2024

Situs ‘Radikal’ Diblokir Setengah Hati

Pakar Terorisme Sydney Jones mengaku bahwa cara yang dilakukan pemerintah tak efektif. Hal tersebut diperoleh dari analisnya terhadap 19 situs ajaran radikal yang diblokir. Hasilnya, dia menemukan beberapa situs yang sebenarnya tak ada hubungan dengan ISIS. Padahal, ISIS lah yang menjadi bagi pemerintah untuk memblokir situs-situs tersebut.

“Kalau bilang hak, tentu pemerintah punya hak. Tapi, situs seperti Arrahmah.com yang sebenarnya justru terkait dengan faksi radikal lain di Suriah yakni Jabhat Al Nusra. Faksi tersebut justru bersebrangan dengan ISIS,” jelasnya.

Karena itu, dia mempertanyakan penilaian pemerintah dalam memblokir situs radikalisme. Apalagi, dia masih menemukan banyak situs-situs yang diduga terkait ISIS yang tak diblokir. Misalnya, situs Isdarat.in. Situs tersebut masih bisa diakses meskipun konten situsnya jelas terkait dengan ISIS.

Di sisi lain, sebagian masyarakat Indonesia yang sudah melek teknologi saat ini. Menurutnya, akses terhadap situs yang diblokir masih bisa didapat dengan cara yang cukup mudah. “Kalau mereka sudah niat mencari informasi, saya rasa gampang sekali untuk meretas pemblokiran itu,” tambahnya.

Dia pun berharap, pemerintah bisa merancang strategi komprehensif yang produktif. Menurutnya, salah satu opsi yang dinilai efektif adalah melakukan upaya persuasif. Hal tersebut bisa dilakukan dengan menyebarkan informasi dari orang yang sudah pernah ke ISIS.

“Misalnya Junaidi yang sudah banyak di media. Kabarnya dia pulang dari ISIS karena kecewa. Pemerintah seharusnya memanfaatkan dia untuk melakukan kampanye pencegahan. Sehingga, masyarakat bisa yakin kalau bergabung dengan ISIS itu tak baik,” jelasnya.

Hal senada juga diungkapkan oleh pakar Teknologi Informasi (TI) Abimanyu Wachjoewidajat. Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah itu mengaku keputusan pemerintah tak memuaskan. Seharusnya pemerintah tak bertindak tanpa dasar yang jelas.

“Kalau memang Kemkominfo akan memblokir situs tersebut karena konten, harus dijelaskan kata mana yang dianggap menghasut dan berbahaya. Jangan sampai situs-situs ini diblokir hanya karena rumor dan informasi dari luar,” imbuhnya.

Selain itu, lanjut dia, pemerintah juga tak melakukan pemblokiran secara komprehensif. Pasalnya, masih banyak situs di luar negeri terkait ISIS yang tidak diblokir. “Jangan dipikir dengan menutup situs lokal informasi akan terputus. Yang luar bagaimana?” ujarnya. (gen/wan/bil)

Pakar Terorisme Sydney Jones mengaku bahwa cara yang dilakukan pemerintah tak efektif. Hal tersebut diperoleh dari analisnya terhadap 19 situs ajaran radikal yang diblokir. Hasilnya, dia menemukan beberapa situs yang sebenarnya tak ada hubungan dengan ISIS. Padahal, ISIS lah yang menjadi bagi pemerintah untuk memblokir situs-situs tersebut.

“Kalau bilang hak, tentu pemerintah punya hak. Tapi, situs seperti Arrahmah.com yang sebenarnya justru terkait dengan faksi radikal lain di Suriah yakni Jabhat Al Nusra. Faksi tersebut justru bersebrangan dengan ISIS,” jelasnya.

Karena itu, dia mempertanyakan penilaian pemerintah dalam memblokir situs radikalisme. Apalagi, dia masih menemukan banyak situs-situs yang diduga terkait ISIS yang tak diblokir. Misalnya, situs Isdarat.in. Situs tersebut masih bisa diakses meskipun konten situsnya jelas terkait dengan ISIS.

Di sisi lain, sebagian masyarakat Indonesia yang sudah melek teknologi saat ini. Menurutnya, akses terhadap situs yang diblokir masih bisa didapat dengan cara yang cukup mudah. “Kalau mereka sudah niat mencari informasi, saya rasa gampang sekali untuk meretas pemblokiran itu,” tambahnya.

Dia pun berharap, pemerintah bisa merancang strategi komprehensif yang produktif. Menurutnya, salah satu opsi yang dinilai efektif adalah melakukan upaya persuasif. Hal tersebut bisa dilakukan dengan menyebarkan informasi dari orang yang sudah pernah ke ISIS.

“Misalnya Junaidi yang sudah banyak di media. Kabarnya dia pulang dari ISIS karena kecewa. Pemerintah seharusnya memanfaatkan dia untuk melakukan kampanye pencegahan. Sehingga, masyarakat bisa yakin kalau bergabung dengan ISIS itu tak baik,” jelasnya.

Hal senada juga diungkapkan oleh pakar Teknologi Informasi (TI) Abimanyu Wachjoewidajat. Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah itu mengaku keputusan pemerintah tak memuaskan. Seharusnya pemerintah tak bertindak tanpa dasar yang jelas.

“Kalau memang Kemkominfo akan memblokir situs tersebut karena konten, harus dijelaskan kata mana yang dianggap menghasut dan berbahaya. Jangan sampai situs-situs ini diblokir hanya karena rumor dan informasi dari luar,” imbuhnya.

Selain itu, lanjut dia, pemerintah juga tak melakukan pemblokiran secara komprehensif. Pasalnya, masih banyak situs di luar negeri terkait ISIS yang tidak diblokir. “Jangan dipikir dengan menutup situs lokal informasi akan terputus. Yang luar bagaimana?” ujarnya. (gen/wan/bil)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/