28.9 C
Medan
Sunday, June 16, 2024

Ada Caleg Rogoh Rp20 Miliar untuk Kampanye

Pengamat politik Hanta Yuda menyatakan semua partai politik menghadapi problem yang hampir sama jelang pemilu 2014. Menurutnya, salah satu persoalan yang utama adalah terputusnya proses kaderisasi.

“PARTAI sebenarnya sudah ada kaderisasi tapi terputus saat rekruitmen caleg. Seolah-olah ada perbedaan antara rekruitmen caleg dan kader,” kata Hanta dalam diskusi di kantor KPU, Jakarta, Rabu (1/5).

Hanta menuturkan seorang caleg, khususnya artis, bisa diketahui apakah dia kader atau hanya sekedar alat pendulang suara dengan melihat kapan yang bersangkutan masuk parpol tersebut. Jika lebih dari lima tahun, maka dia bukan kader instan. “Seperti Rieke Diah Pitaloka, Utut, Miing, atau Nurul Arifin,” ujarnya.

Hanta menilai mandegnya proses kaderisasi adalah imbas dari sistem pemilu yang sangat ekstrem, sangat terbuka dan tidak adanya pembatasan spending money. Kondisi itu menyebabkan partai terjebak pada dua kekuatan yaitu popularitas dan kapital uang.
“Ini basis parpol yang tidak mengakar. Ada keterputusan antara arena siklus lima tahunan yang bernama demokrasi. Jadi warga negara itu hanya dua yang diminta yaitu datang ke TPS dan bayar pajak,” tuturnya.

Dia menambahkan kepemimpinan dan struktur kekuasaan di parpol yang masih oligarkis juga menjadi problem tersendiri. Proses rekruitmen politis yang seharusnya terbuka, kini berubah menjadi tertutup dan transaksional.
Wakil Ketua DPR Pramono Anung, dalam disertasinya, menemukan bahwa publik figur hanya membutuhkan dana kampanye yang sedikit dibandingkan dengan caleg lainnya. Paling tinggi adalah dari kalangan pengusaha.

Pram meminta publik tidak percaya pada pernyataan anggota legislatif yang mengaku hanya mengeluarkan dana kampanye sebesar Rp1 miliar. Sebab, kata dia, rata-rata mereka berbohong.

“Kalau kita tanya berapa yang kamu keluarkan? Dia selalu mengatakan, keluar Rp5 miliar, atau Rp1,5 miliar hingga Rp2 miliar. Mereka pengeluarannya direndahkan,” kata Pramono dalam peluncuran buku ‘Basa-Basi Dana Kampanye’ di Jakarta, kemarin.
Anggota legislatif, menurut Pram, cenderung berbohong mengenai dana kampanye, sebab masyarakat tidak suka kepada politikus yang banyak menghabiskan dana untuk kampanye.

Bahkan, dalam disertasi-nya untuk meraih gelar doktoral, Pramono menemukan ada seorang anggota legislatif yang mengeluarkan dana sebesar Rp 20 miliar.

“Pernah saya dengar, tapi dia tidak jadi informan saya. Ketika saya curi dengar, ada yang mengeluarkan sampai Rp20 miliar. Dia bilang, kurang lebih menghabiskan 2,4 juta dollar AS. Bagi dia, itu bukan angka yang besar,” ujarnya.
Menurut dia, dalam sistem proporsional terbuka seperti saat ini, sangat tidak adil bagi kader-kader yang ingin menjadi caleg tetapi tidak memiliki biaya untuk kampanye.

Bahkan, kata dia, pada kampanye 2009 ke 2014, akan ada kenaikan sebesar 3,5 kali lipat lebih mahal.

Meski sama-sama berada dalam sistem proporsional terbuka, kata dia, tetapi masa kampanye kali ini memiliki waktu yang cukup lama.
“Ini tidak menguntungkan bagi caleg. Setiap turun ke dapil, nggak mungkin nggak mengeluarkan uang,” ujar dia.

Akibatnya, kata dia, diprediksi, pengusaha akan mendominasi wajah DPR pada Pemilu 2014.
“Sehingga, kalau partai-partai merekrut publik figur sebagai jalan pintas, tidak bisa disalahkan juga. Strategi mendulang pemilih  lewat wajah artis terbukti manjur,” ujarnya. (net/jpnn)

Pengamat politik Hanta Yuda menyatakan semua partai politik menghadapi problem yang hampir sama jelang pemilu 2014. Menurutnya, salah satu persoalan yang utama adalah terputusnya proses kaderisasi.

“PARTAI sebenarnya sudah ada kaderisasi tapi terputus saat rekruitmen caleg. Seolah-olah ada perbedaan antara rekruitmen caleg dan kader,” kata Hanta dalam diskusi di kantor KPU, Jakarta, Rabu (1/5).

Hanta menuturkan seorang caleg, khususnya artis, bisa diketahui apakah dia kader atau hanya sekedar alat pendulang suara dengan melihat kapan yang bersangkutan masuk parpol tersebut. Jika lebih dari lima tahun, maka dia bukan kader instan. “Seperti Rieke Diah Pitaloka, Utut, Miing, atau Nurul Arifin,” ujarnya.

Hanta menilai mandegnya proses kaderisasi adalah imbas dari sistem pemilu yang sangat ekstrem, sangat terbuka dan tidak adanya pembatasan spending money. Kondisi itu menyebabkan partai terjebak pada dua kekuatan yaitu popularitas dan kapital uang.
“Ini basis parpol yang tidak mengakar. Ada keterputusan antara arena siklus lima tahunan yang bernama demokrasi. Jadi warga negara itu hanya dua yang diminta yaitu datang ke TPS dan bayar pajak,” tuturnya.

Dia menambahkan kepemimpinan dan struktur kekuasaan di parpol yang masih oligarkis juga menjadi problem tersendiri. Proses rekruitmen politis yang seharusnya terbuka, kini berubah menjadi tertutup dan transaksional.
Wakil Ketua DPR Pramono Anung, dalam disertasinya, menemukan bahwa publik figur hanya membutuhkan dana kampanye yang sedikit dibandingkan dengan caleg lainnya. Paling tinggi adalah dari kalangan pengusaha.

Pram meminta publik tidak percaya pada pernyataan anggota legislatif yang mengaku hanya mengeluarkan dana kampanye sebesar Rp1 miliar. Sebab, kata dia, rata-rata mereka berbohong.

“Kalau kita tanya berapa yang kamu keluarkan? Dia selalu mengatakan, keluar Rp5 miliar, atau Rp1,5 miliar hingga Rp2 miliar. Mereka pengeluarannya direndahkan,” kata Pramono dalam peluncuran buku ‘Basa-Basi Dana Kampanye’ di Jakarta, kemarin.
Anggota legislatif, menurut Pram, cenderung berbohong mengenai dana kampanye, sebab masyarakat tidak suka kepada politikus yang banyak menghabiskan dana untuk kampanye.

Bahkan, dalam disertasi-nya untuk meraih gelar doktoral, Pramono menemukan ada seorang anggota legislatif yang mengeluarkan dana sebesar Rp 20 miliar.

“Pernah saya dengar, tapi dia tidak jadi informan saya. Ketika saya curi dengar, ada yang mengeluarkan sampai Rp20 miliar. Dia bilang, kurang lebih menghabiskan 2,4 juta dollar AS. Bagi dia, itu bukan angka yang besar,” ujarnya.
Menurut dia, dalam sistem proporsional terbuka seperti saat ini, sangat tidak adil bagi kader-kader yang ingin menjadi caleg tetapi tidak memiliki biaya untuk kampanye.

Bahkan, kata dia, pada kampanye 2009 ke 2014, akan ada kenaikan sebesar 3,5 kali lipat lebih mahal.

Meski sama-sama berada dalam sistem proporsional terbuka, kata dia, tetapi masa kampanye kali ini memiliki waktu yang cukup lama.
“Ini tidak menguntungkan bagi caleg. Setiap turun ke dapil, nggak mungkin nggak mengeluarkan uang,” ujar dia.

Akibatnya, kata dia, diprediksi, pengusaha akan mendominasi wajah DPR pada Pemilu 2014.
“Sehingga, kalau partai-partai merekrut publik figur sebagai jalan pintas, tidak bisa disalahkan juga. Strategi mendulang pemilih  lewat wajah artis terbukti manjur,” ujarnya. (net/jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/