24 C
Medan
Sunday, June 16, 2024

Bupati/Wali Kota atau Gubernur yang Dipilih Rakyat?

Mendagri dan Yusril Silang Pendapat

Pernyataan pakar hukum Yusril Ihza Mahendra bahwa sebaiknya Bupati/Wali kota yang dipilih oleh DPRD sepertinya sulit diterima pemerintah. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengatakan bila bupati/wali kota dipilih oleh DPRD, pelayanan dan kewenangan mereka sebagai kepala daerah  tidak lagi berorientasi pada rakyat.

Mendagri  Yusril
Mendagri dan Yusril

PADAHAL wilayah kabupaten/kota merupakan kewenangan bupati/wali kota. Sehingga pelayanannya dibutuhkan jauh lebih dekat dengan rakyat. “Kenapa pemimpin dipilih langsung, supaya bertanggungjawab langsung kepada rakyat,” ungkapnya di Jakarta, Jumat (27/7).
Sementara jika dipilih oleh DPRD, maka pelayanan maupun kewenangan tidak langsung menyentuh rakyat. Sehingga dengan berbagai pertimbangan maupun berdasarkan UUD 1945, bahwa dalam pemilihan pemimpin, baik itu, presiden, gubernur, bupati/wali kota, memang harus dipilih secara demokratis.

Sementara itu untuk pemilihan gubernur, pemerintah mengusulkan dipilih langsung oleh DPRD, sebab pelayanannya menurut Mendagri, tidak langsung kepada rakyat.

Hal ini jika dilihat dari segi wilayah, bahwa gubernur mempunyai kewenangan di daerah provinsi. Dimana gubernur lebih banyak bekerja dari segi pengawasan dan pembinaan. Sehingga tidak perlu langsung dipilih oleh rakyat. Selain itu, gubernur juga merupakan wakil pemerintah pusat di daerah.
“Jadi argumentasi inilah yang menjadi acuan pemerintah. Bahwa bupati tetap dipilih oleh rakyat dan gubernur dipilih langsung oleh DPRD, sesuai dengan amanat Undang-Undang,”ungkapnya sembari menambahkan, bahwa kewenangan terbesar dari pusat di serahkan ke daerah. Dimana 75 persen kewenangan tersebut berada di bupati/wali kota. Sementara kewenangan yang diberikan pada gubernur hanya 25 persen. Selain itu dari segi pencalonan juga, biaya menjadi gubernur jauh lebih mahal dari bupati/wali kota. Bahkan dapat mencapai Rp100 miliar/pemilihan gubernur. Dikarenakan gubernur seprovinsi wilayahnya.

Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra menyatakan, sebagai konsekuensi otonomi daerah di provinsi, justru seharusnya hanya gubernur dan wakilnya saja yang dipilih rakyat secara langsung. Bukan justru kebalikannya sebagaimana usulan pemerintah lewat Kementerian Dalam Negeri.

“Jadi bupati dan wali kota serta wakilnya, itu cukup dipilih oleh DPRD. Dengan demikian hiruk-pikuk Pemilukada di kabupaten-kabupaten dan kota-kota dapat diakhiri. Sehingga energi dan dana dapat dimanfaatkan untuk membangun daerah, dan sekaligus menghapus kecenderungan korupsi dan politik uang yang tidak mendidik dalam pembangunan politik dan demokrasi,’’ tukas Yusril.

Tentu bukan tanpa alasan professor yang berkali-kali ‘mengalahkan’ pemerintah dalam berbagai persidangan hukum administrasi ini mengatakan hal tersebut. Ia berargumen, dengan langkah ini maka pemerintah pusat akan jauh lebih mudah mengawasi otonomi yang ada.

“Katakanlah antara 30-40 provinsi, daripada mengawasi sekitar 500 kabupaten/kota di seluruh tanah air. Tapi ini harus ditindaklanjuti dengan perimbangan keuangan dan bagi hasil antara provinsi dan pusat. Sehingga pemerintah pusat dapat menyalurkan dana dan membangun provinsi-provinsi yang miskin dan tertinggal,” katanya.  (gir)

Mendagri dan Yusril Silang Pendapat

Pernyataan pakar hukum Yusril Ihza Mahendra bahwa sebaiknya Bupati/Wali kota yang dipilih oleh DPRD sepertinya sulit diterima pemerintah. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengatakan bila bupati/wali kota dipilih oleh DPRD, pelayanan dan kewenangan mereka sebagai kepala daerah  tidak lagi berorientasi pada rakyat.

Mendagri  Yusril
Mendagri dan Yusril

PADAHAL wilayah kabupaten/kota merupakan kewenangan bupati/wali kota. Sehingga pelayanannya dibutuhkan jauh lebih dekat dengan rakyat. “Kenapa pemimpin dipilih langsung, supaya bertanggungjawab langsung kepada rakyat,” ungkapnya di Jakarta, Jumat (27/7).
Sementara jika dipilih oleh DPRD, maka pelayanan maupun kewenangan tidak langsung menyentuh rakyat. Sehingga dengan berbagai pertimbangan maupun berdasarkan UUD 1945, bahwa dalam pemilihan pemimpin, baik itu, presiden, gubernur, bupati/wali kota, memang harus dipilih secara demokratis.

Sementara itu untuk pemilihan gubernur, pemerintah mengusulkan dipilih langsung oleh DPRD, sebab pelayanannya menurut Mendagri, tidak langsung kepada rakyat.

Hal ini jika dilihat dari segi wilayah, bahwa gubernur mempunyai kewenangan di daerah provinsi. Dimana gubernur lebih banyak bekerja dari segi pengawasan dan pembinaan. Sehingga tidak perlu langsung dipilih oleh rakyat. Selain itu, gubernur juga merupakan wakil pemerintah pusat di daerah.
“Jadi argumentasi inilah yang menjadi acuan pemerintah. Bahwa bupati tetap dipilih oleh rakyat dan gubernur dipilih langsung oleh DPRD, sesuai dengan amanat Undang-Undang,”ungkapnya sembari menambahkan, bahwa kewenangan terbesar dari pusat di serahkan ke daerah. Dimana 75 persen kewenangan tersebut berada di bupati/wali kota. Sementara kewenangan yang diberikan pada gubernur hanya 25 persen. Selain itu dari segi pencalonan juga, biaya menjadi gubernur jauh lebih mahal dari bupati/wali kota. Bahkan dapat mencapai Rp100 miliar/pemilihan gubernur. Dikarenakan gubernur seprovinsi wilayahnya.

Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra menyatakan, sebagai konsekuensi otonomi daerah di provinsi, justru seharusnya hanya gubernur dan wakilnya saja yang dipilih rakyat secara langsung. Bukan justru kebalikannya sebagaimana usulan pemerintah lewat Kementerian Dalam Negeri.

“Jadi bupati dan wali kota serta wakilnya, itu cukup dipilih oleh DPRD. Dengan demikian hiruk-pikuk Pemilukada di kabupaten-kabupaten dan kota-kota dapat diakhiri. Sehingga energi dan dana dapat dimanfaatkan untuk membangun daerah, dan sekaligus menghapus kecenderungan korupsi dan politik uang yang tidak mendidik dalam pembangunan politik dan demokrasi,’’ tukas Yusril.

Tentu bukan tanpa alasan professor yang berkali-kali ‘mengalahkan’ pemerintah dalam berbagai persidangan hukum administrasi ini mengatakan hal tersebut. Ia berargumen, dengan langkah ini maka pemerintah pusat akan jauh lebih mudah mengawasi otonomi yang ada.

“Katakanlah antara 30-40 provinsi, daripada mengawasi sekitar 500 kabupaten/kota di seluruh tanah air. Tapi ini harus ditindaklanjuti dengan perimbangan keuangan dan bagi hasil antara provinsi dan pusat. Sehingga pemerintah pusat dapat menyalurkan dana dan membangun provinsi-provinsi yang miskin dan tertinggal,” katanya.  (gir)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/