JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus menuai pro kontra baik di masyarakat maupun legislatif. Kemarin, di kalangan wartawan, beredar nama-nama anggota DPR yang setuju untuk mengamputasi lembaga anti-rasuah tersebut. Dari daftar itu tercatat paling bernafsu adalah Fraksi PDIP (15 anggota) dan NasDem (12 anggota).
Harmonisasi draft revisi UU KPK sendiri di Badan Legislasi (Baleg) DPR belum tuntas. Tarik ulur masih terjadi karena belum semua sepakat mengenai poin revisi. Ada empat poin perubahan yang tercakup dalam draf RUU KPK.
Pertama, dewan pengawas akan dibentuk untuk mengawasi kinerja KPK. Kedua, penyadapan yang dilakukan KPK harus seizin dewan pengawas. Ketiga, KPK diberi wewenang untuk menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Dan, terakhir, KPK juga tidak diperbolehkan mengangkat penyidik dan penyelidik sendiri. KPK sudah menolak UU 30 Tahun 2002 direvisi.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Lalola Easter, mengatakan perlu ada keberanian dari Presiden Joko Widodo untuk mengontrol orang-orang di bawahnya terkait revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK).
Sebab, kata Lalola, justru orang-orang dari partai politik pengusung Jokowi yang ‘getol’ untuk merevisi UU KPK.
“Ini bisa mengarah pada distrust (ketidakpercayaan), kalau hal ini tidak ditanggapi serius oleh Jokowi,” ujar Lalola.
Menurutnya, ada pelemahan KPK dalam proses legislasi. Salah satunya mengenai wacana pembubaran KPK. Ia menilai KPK masih dibutuhkan. KPK baru boleh dibubarkan setelah korupsi sama sekali tidak ada atau ada peningkatan yang signifikan terhadap pemberantasan korupsi.
Ia berpendapat, ke depan pemerintah harus tegas sikapnya atas revisi UU KPK. Sehingga tidak menyampaikan sikap yang bias ke publik.
Sikap bias tersebut ditunjukkan karena menyatakan tidak ingin lemahkan KPK, tapi banyak jajaran di bawahnya yang berbicara sebaliknya soal revisi UU KPK.
Karena itu, menurutnya, Jokowi harus benar-benar mengontrol kerja orang-orang yang ada di bawahnya dan betul-betul membaca draf revisi. “Karena yang getol untuk merevisi UU KPK justru parpol dari Jokowi,” kata Lalola.
Tujuannya, kata dia, agar kerja pemberantasan korupsi tidak impoten di masa pemerintahan Jokowi.
Komisioner KPK ikut menolak tegas revisi undang-undang KPK. Sebab, draf revisi UU KPK yang beredar saat ini hampir seluruhnya bersifat melemahkan.
“Sebagian besar draf ini pelemahan KPK. Lebih dari 90 persen ini pelemahan dan bukan penguatan dan KPK kami akan berusaha sekuat tenaga agar hal itu (Revisi UU KPK) tidak terjadi,” kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dalam keterangan pers di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (3/2).
Laode juga menjelaskan bahwa pihaknya akan mengirimkan deputi atau biro hukum untuk menghadiri pembahasan draf dengan Badan Legislatif DPR.
“Besok (Kamis, (4/2) kita akan datang ke Baleg untuk menghadiri undangan deputi atau biro hukum, karena kami (pimpinan KPK) sudah dijadwalkan untuk kegiatan lain,” jelasnya.
Tidak hanya itu, Draf revisi UU KPK pun dinilai sudah dianggap melemahkan. Laode menjelaskan salah satu draf tentang penyadapan harus izin kepada anggota dewan, menurutnya hal tersebut ada pelemahan.
“Kami anggap tidak cocok dengan pa yang dikerjakan KPK,” jelasnya.
Kemudian, terkait tentang pembatasan kasus yang dapat lebih dari Rp 2 miliar, menurutnya juga kurang tepat. Bukan hanya besaran uang yg dipikirkan namun menurutnya soal aktor yang melakukan tindak kejahatan pidana korupsi pun harus dipikirkan.
“Karena misalnya, anggap saja pejabat tinggi, korupsi kurang dari Rp 1 miliar. Tetapi dengan status kedudukan tersebut, dia tidak boleh melakukan itu,” tukasnya.
Menko Polhukam Luhut Pandjaitan menyatakan tak setuju dengan pernyataan Wakil Ketua KPK Laode M Syarief yang menyebut 90 persen dari revisi UU KPK justru akan melemahkan lembaga antirasuah. Dia menyatakan empat poin yang digembor-gemborkan dalam revisi tersebut justru akan menguatkan KPK.
“Ya kalau keluar dari yang empat itu itu bisa jadi. Kalau tidak ya ndaklah,” kata Luhut usai bertemu Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (5/2).