25.6 C
Medan
Tuesday, May 14, 2024

Era Soeharto, Parapat Direkomendir sebagai Kota Turis

Foto: Net/lenteratimur Turis asing sedang negosiasi ihwal sewa kapal di Dermaga Tigaraja, Parapat beberapa waktu lalu.
Foto: Net/lenteratimur
Turis asing sedang negosiasi ihwal sewa kapal di Dermaga Tigaraja, Parapat beberapa waktu lalu.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Upaya pengembangan Danau Toba sebagai destinasi wisata berkelas dunia pernah dilakukan oleh pemerintahan era Presiden Soeharto. Saat itu, kajian pengembangan dilakukan secara serius dan mendalam, dengan menggandeng lembaga Japan International Cooperation Agency (JAICA).

Mantan Direktur Pemasaran Dalam Negeri Kementerian Pariwisata M. Faried Moertolo menjelaskan, hasil kajian lembaga dari Jepang itu merekomendasikan Parapat sebagai Kota Turis.

“Kajian dari JAICA itu dilakukan secara komprehensif. Dikaji secara makro pengembangan Danau Toba. Antara lain direkomendasikan Parapat sebagai basis Kota Turis,” ujar Faried Moertolo di Jakarta, Jumat (5/2).

Sayangnya, belum sampai hasil kajian tersebut dilaksanakan, rejim Orde Baru berakhir. Masuk era reformasi, hajian kajian mendalam itu dicueki. Bahkan kondisi sekitar Danau Toba semakin kacau begitu diterapkan kebijakan otonomi daerah.

“Bangunan di sekitar Danau Toba jor-joran tanpa perencanaan komprehensif. Asal mendapatkan izin dari pemda, investor masuk, hotel-hotel berdiri semrawut, mengabaikan aspek lingkungan. Izin-izin sembarangan diproses, pejabat kucing-kucingan untuk mendapat upeti (pengurusan izin, red),” terang Faried.

Kondisi demikian, lanjutnya, menjadi tantangan Badan Otoritas Danau Toba yang akan dibentuk pemerintahan Jokowi-JK. Menurutnya, kondisi di sekitar danau bukan perkara gampang untuk diselesaikan karena sudah telanjur semrawut.

Dia juga mengingatkan beratnya permasalahan yang akan dihadapi Badan Otoritas, menyangkut tujuh kabupaten di sekitar Danau Toba. “Karena Danau Toba itu destinasi wisata yang unik, begitu luas, mencakup wilayah tujuh kabupaten di situ. Ini tantangan yang akan dihadapi Badan Otoritas,” ulasnya.

Dari aspek promosi, Faried mengakui selama ini belum bisa optimal. Promosi Danau Toba, lanjutnya, sudah dilakukan tiga pihak, yakni Kementerian Pariwisata, Pemda (pemprov Sumut dan pemkab sekitar), dan pihak swasta.

Promosi yang dilakukan kemenpar secara makro, tidak hanya soal Danau Toba, tapi juga destinasi-destinasi lain di wilayah Sumut. Sedang pemda lebih fokus, khusus mempromosikan Danau Toba saja.

“Hanya saja, promosi yang dilakukan pemda terkendala sumber daya manusia, bikinnya asal-asalan, malah blunder, sering dicemooh,” ujarnya. Sedang pihak swasta, antara lain mempromosikan lewat Garuda Inflight Magazine.

Ke depan, setelah ditangani Badan Otoritas, promosi tidak boleh lagi digarap secara asal-asalan.

“Selama ini kan asal-asalan. Untuk acara-acara etnik misalnya, yang penting diresmikan bupati, tanpa berpikir bagaimana acara itu bisa menarik wisatawan,” pungkasnya. (sam)

Foto: Net/lenteratimur Turis asing sedang negosiasi ihwal sewa kapal di Dermaga Tigaraja, Parapat beberapa waktu lalu.
Foto: Net/lenteratimur
Turis asing sedang negosiasi ihwal sewa kapal di Dermaga Tigaraja, Parapat beberapa waktu lalu.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Upaya pengembangan Danau Toba sebagai destinasi wisata berkelas dunia pernah dilakukan oleh pemerintahan era Presiden Soeharto. Saat itu, kajian pengembangan dilakukan secara serius dan mendalam, dengan menggandeng lembaga Japan International Cooperation Agency (JAICA).

Mantan Direktur Pemasaran Dalam Negeri Kementerian Pariwisata M. Faried Moertolo menjelaskan, hasil kajian lembaga dari Jepang itu merekomendasikan Parapat sebagai Kota Turis.

“Kajian dari JAICA itu dilakukan secara komprehensif. Dikaji secara makro pengembangan Danau Toba. Antara lain direkomendasikan Parapat sebagai basis Kota Turis,” ujar Faried Moertolo di Jakarta, Jumat (5/2).

Sayangnya, belum sampai hasil kajian tersebut dilaksanakan, rejim Orde Baru berakhir. Masuk era reformasi, hajian kajian mendalam itu dicueki. Bahkan kondisi sekitar Danau Toba semakin kacau begitu diterapkan kebijakan otonomi daerah.

“Bangunan di sekitar Danau Toba jor-joran tanpa perencanaan komprehensif. Asal mendapatkan izin dari pemda, investor masuk, hotel-hotel berdiri semrawut, mengabaikan aspek lingkungan. Izin-izin sembarangan diproses, pejabat kucing-kucingan untuk mendapat upeti (pengurusan izin, red),” terang Faried.

Kondisi demikian, lanjutnya, menjadi tantangan Badan Otoritas Danau Toba yang akan dibentuk pemerintahan Jokowi-JK. Menurutnya, kondisi di sekitar danau bukan perkara gampang untuk diselesaikan karena sudah telanjur semrawut.

Dia juga mengingatkan beratnya permasalahan yang akan dihadapi Badan Otoritas, menyangkut tujuh kabupaten di sekitar Danau Toba. “Karena Danau Toba itu destinasi wisata yang unik, begitu luas, mencakup wilayah tujuh kabupaten di situ. Ini tantangan yang akan dihadapi Badan Otoritas,” ulasnya.

Dari aspek promosi, Faried mengakui selama ini belum bisa optimal. Promosi Danau Toba, lanjutnya, sudah dilakukan tiga pihak, yakni Kementerian Pariwisata, Pemda (pemprov Sumut dan pemkab sekitar), dan pihak swasta.

Promosi yang dilakukan kemenpar secara makro, tidak hanya soal Danau Toba, tapi juga destinasi-destinasi lain di wilayah Sumut. Sedang pemda lebih fokus, khusus mempromosikan Danau Toba saja.

“Hanya saja, promosi yang dilakukan pemda terkendala sumber daya manusia, bikinnya asal-asalan, malah blunder, sering dicemooh,” ujarnya. Sedang pihak swasta, antara lain mempromosikan lewat Garuda Inflight Magazine.

Ke depan, setelah ditangani Badan Otoritas, promosi tidak boleh lagi digarap secara asal-asalan.

“Selama ini kan asal-asalan. Untuk acara-acara etnik misalnya, yang penting diresmikan bupati, tanpa berpikir bagaimana acara itu bisa menarik wisatawan,” pungkasnya. (sam)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/