Sebelumnya, pihak RS protes keras soal aturan biaya pasien yang naik kelas, dari kelas 1 ke VIP. Dalam aturannya, biaya hanya dibebankan pada selisih tarif kamar saja. Selisih ini nantinya dibayar oleh pasien, pemberi kerja atau asuransi tambahan yang diikuti. Sementara, RS menginginkan tak hanya biaya kamar yang jadi perhitungan. Tapi juga jasa dokter dan lainnya.
Dia menjelaskan, sejak awal konsep JKN memang mengadopsi pola manfaat tunggal. Jadi siapa saja yang dibayari BPJS kesehatan, maka pelayanannya sama. Misal, jenis kapas sama, gunting sama dan lainnya. ”Yang membedakan adalah kenyamanan. Itulah mengapa aturannya demikian (Permenkes 64/2016),” ujar pria kelahiran Jakarta 56 tahun lalu itu.
Karenanya, ia kadang juga heran. Saat pihak RS menyatakan tak hanya masalah layanan kamar yang berbeda. Ada pula obat dan jasa yang perlu dihitung karena yang diberikan pun berbeda dengan kelas lain.
”Lah kalau begitu, kenapa diberikan beda? Katanya obat lebih baik sehingga cepat sembuh. Lalu, apakah berarti yang diberikan ke kelas tiga tidak baik dong? Atau bagaimana? Kita pertanyakan itu. Karena kan kita inginya outputnya sama. Yakni pasien sembuh tanpa ada embel-embel sembuh lebih cepat dan lainnya,” papar lulusan Magister Kesehatan Masyarakat Universitas Gajah Mada ini.
Kepala Humas BPJS Kesehatan Irfan Humaidi turut mengingatkan, integrasi Jamkesda ke sistem JKN merupakan amanat dari undang-undang. Sehingga, harusnya pemerintah daerah bisa mendukung agar setiap warga negara Indonesia punya akses kesehatan yang merata di setiap wilayah.
’’Saya tegaskan, JKN bukan program dari BPJS. Namun, ini adalah amanat undang-undang yang diberikan ke kami. Jadi, harusnya keegoisan sektoral dikesampingkan untuk visi tersebut,’’ jelasnya.
Dia menjelaskan, program JKN merupakan upaya negara untuk menjamin kesehatan warga negara Indonesia di seluruh penjuru Indonesia. Jika warga hanya diberikan fasilitas jaminan kesehatan daerah, maka akses kesehatan mereka bakal terbatas di daerah tersebut. Dan jika mereka sedang berada di daerah lain, maka Jamkesda mereka tak akan berlaku.
’’Apalagi, fasilitas kesehatan belum merata. Jika pasien harus menerima perwaatan spesialis dan ditransferkan, apakah pemerintah daerah mau menanggung biaya tinggi. Karena itu, kami gunakan sistem JKN agar yang surplus membantu yang defisit,’’ ujarnya.
Sementara itu, Koordinator Advokasi Timboel Siregar mengatakan, tuntutan Bupati Gowa untuk menghilangkan kewajiban Jamskesda terintergasi ke BPJS kesehatan merupakan masalah yang sederhana. Alasan mengenai keberatan anggaran saja. Alasan tersebut juga menjadi dasar pemerintah daerah sempat enggan menggabungkan program jamkesdanya kepada BPJS Kesehatan.
’’Pemkab Gowa mengatakan butuh Rp26 miliar per tahun jika gabung ke BPJS padahal anggaran di APBD hanya Rp17 miliar. Tapi, pertanyaannya apakah memang benar bahwa ini soal anggaran,’’ ujarnya di Jakarta, kemarin (5/1).