25.6 C
Medan
Monday, June 3, 2024

Aturan Istitaah Kesehatan Jamaah Haji Dinilai Terlalu Longgar, Kasus Kematian Tertinggi Sejak 2015

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Misi penyelenggaraan haji musim 2023 tuntas pada Sabtu (5/6). Ditandai dengan sudah pulangnya seluruh kloter jamaah Indonesia. Catatan menonjol pada haji tahun ini adalah kasus atau angka kematian yang sangat tinggi. Rekor terbanyak sejak penyelenggaraan haji 2015 lalu.

Data dari Siskohat Kemenag per 6 Agustus kemarin, angka kematian jamaah haji tercatat sebanyak 773 orang. Jumlah ini merupakan angka terbanyak sejak 2015 lalu.

Kasus kematian terendah ada pada 2022 yang tercatat berjumlah 89 orang. Kasus kematian jamaah haji di 2022 sedikit karena kuota hanya sekitar 50 persen dan usia jemaah di bawah 65 tahun. “Jumlah jamaah haji yang wafat tahun ini bisa jadi bertambah,” kata pengamat haji Ade Marfudin kemarin (6/8).

Sebab sampai kemarin masih ada 76 jamaah yang menjalani perawatan di RS Arab Saudi di Makkah, Madinah, maupun Jeddah. Ade mengatakan banyaknya angka kematian haji tahun ini, harus menjadi evaluasi besar penyelenggaraan rukun Islam yang kelima itu.

Ade mengatakan, kasus kematian jamaah, lebih dekat urusannya dengan layanan kesehatan di bawah komando Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Menurut dia harus ada tanggung jawab moral dari Kemenkes, terkait banyaknya jumlah jemaah haji yang wafat tersebut. “Sayangnya pembinaan kesehatan tidak jadi pokok layanan. Hanya fokus kuratif, aspek preventifnya lemah,” tuturnya.

Untuk musim haji berikutnya, kata Ade, pembinaan dan pemantauan kesehatan jamaah harus lebih serius. Sebelum jamaah dipastikan bisa berangkat, harus benar-benar dinyatakan layak untuk berhaji dari aspek kesehatan. Jamaah dengan kondisi turun dari ranjang saja susah, tentu tidak dipaksakan untuk berhaji. “Saya menilai ketentuan istitoah kesehatan terlalu longgar,” katanya.

Ade memahami, Kemenkes beserta jajarannya di tingkat bawah, tidak bisa serta merta mencegah calon jamaah untuk berhaji. Karena itu domain atau kewenangan dari Kementerian Agama (Kemenag). Padahal dalam praktiknya, ada jamaah dengan kondisi tertentu yang sampai dilayani lebih dari satu orang petugas haji.

Ade berharap Kemenkes, Kemenag, dan MUI bisa duduk bersama membahas lebih detai soal istitoah kesehatan haji. Jamaah dengan kondisi kesehatan tertentu, yang dinyatakan tidak layak berhaji, diberi pengertian dari aspek keagamaan berdasarkan fatwa MUI.

Kemudian dijelaskan solusinya. Apakah berhaji menunggu lebih sehat atau dibadalkan hajinya. Dengan penjelasan berdasarkan aspek keagamaan, dia meyakini jemaah bakal bisa menerimanya.

Dia menegaskan, kasus kematian yang besar tersebut, tidak hanya disebabkan banyaknya jamaah lansia. Seperti diketahui tahun ini sekitar 30 persen jamaah berusia lansia. Lebih dari itu, Ade mengatakan faktor kesehatan menjadi penyebab utamanya. “ Sekarang mungkin bisa dicek, jemaah dengan usia tertua bagaimana kondisinya,” katanya.

Bisa jadi jamaah dengan usia tertua itu pulang berhaji dengan selamat, karena kondisi badannya sehat meskipun usianya lebih dari seabad.

Pada kesempatan itu, Ade juga menyinggung soal manasik haji. Dia mendapatkan kabar ada satu rombongan yang sudah melepas kain ihram, ketika tiba di Saudi. Padahal seharusnya menjalankan ibadah umrah wajib terlebih dahulu.

Dia menekankan petugas haji harus benar-benar kompeten. Sebab urusan manasik sangat penting. Menyangkut sempurna atau tidaknya ibadah tersebut. Terlepas dari layanan hotel, katering, dan lainnya, bagi dia aspek manasik haji justru yang utama.

Sejak jauh-jauh hari, calon jamaah sudah dibimbing manasik yang tepat. Melibatkan petugas yang sudah disertifikasi. “Istilah saya ada ngaji haji. Bisa dilakukan di masjid-masjid atau musala dekat kediaman jemaah,” tuturnya.

Sementara itu penutupan misi penyelenggaraan haji secara resmi dipimpin Menag Yaqut Cholil Qoumas di Bandara Soekarno-Hatta pada Sabtu (5/8). Pada kesempatan itu dia juga menyinggung soal kesehatan. Yaqut mengusulkan penetapan jamaah haji 2024 dibalik dari biasanya.

“Kemarin itu jamaah lunas dulu baru cek kesehatan, sehingga sering kali petugas kita itu tidak berani atau merasa nggak enak hati meloloskan meskipun jamaah dalam kondisi payah dengan alasan sudah melunasi,” katanya.

Dia mengusulkan, jamaah harus cek kesehatan dulu. Setelah dinyatakan layak, baru ditetapkan sebagai sebagai jamaah berhak lunas BPIH. Kepastian skema ini menunggu pembahasan bersama dengan DPR.

Skema bari itu diharapkan dapat mengurangi angka kematian jamaah haji. Berdasarkan data Siskohat, hingga akhir masa operasional haji ada 773 jamaah wafat. “Ini terdiri dari 752 jamaah haji reguler, 18 jamaah haji Khusus, dan tiga jamaah haji furada,” kata Yaqut.

Dari 752 jamaah haji reguler yang wafat, sebanyak 562 orang di antaranya berusia 65 tahun ke atas. Sebanyak 81 orang berusia 60 – 64 tahun. Sedang 109 jamaah lainnya berusia di bawah 60 tahun. Jamaah wafat paling tua berusia 98 tahun (2 orang), sedang jemaah termuda yang wafat berusia 42 tahun (6 orang). (wan/jpg/ila)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Misi penyelenggaraan haji musim 2023 tuntas pada Sabtu (5/6). Ditandai dengan sudah pulangnya seluruh kloter jamaah Indonesia. Catatan menonjol pada haji tahun ini adalah kasus atau angka kematian yang sangat tinggi. Rekor terbanyak sejak penyelenggaraan haji 2015 lalu.

Data dari Siskohat Kemenag per 6 Agustus kemarin, angka kematian jamaah haji tercatat sebanyak 773 orang. Jumlah ini merupakan angka terbanyak sejak 2015 lalu.

Kasus kematian terendah ada pada 2022 yang tercatat berjumlah 89 orang. Kasus kematian jamaah haji di 2022 sedikit karena kuota hanya sekitar 50 persen dan usia jemaah di bawah 65 tahun. “Jumlah jamaah haji yang wafat tahun ini bisa jadi bertambah,” kata pengamat haji Ade Marfudin kemarin (6/8).

Sebab sampai kemarin masih ada 76 jamaah yang menjalani perawatan di RS Arab Saudi di Makkah, Madinah, maupun Jeddah. Ade mengatakan banyaknya angka kematian haji tahun ini, harus menjadi evaluasi besar penyelenggaraan rukun Islam yang kelima itu.

Ade mengatakan, kasus kematian jamaah, lebih dekat urusannya dengan layanan kesehatan di bawah komando Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Menurut dia harus ada tanggung jawab moral dari Kemenkes, terkait banyaknya jumlah jemaah haji yang wafat tersebut. “Sayangnya pembinaan kesehatan tidak jadi pokok layanan. Hanya fokus kuratif, aspek preventifnya lemah,” tuturnya.

Untuk musim haji berikutnya, kata Ade, pembinaan dan pemantauan kesehatan jamaah harus lebih serius. Sebelum jamaah dipastikan bisa berangkat, harus benar-benar dinyatakan layak untuk berhaji dari aspek kesehatan. Jamaah dengan kondisi turun dari ranjang saja susah, tentu tidak dipaksakan untuk berhaji. “Saya menilai ketentuan istitoah kesehatan terlalu longgar,” katanya.

Ade memahami, Kemenkes beserta jajarannya di tingkat bawah, tidak bisa serta merta mencegah calon jamaah untuk berhaji. Karena itu domain atau kewenangan dari Kementerian Agama (Kemenag). Padahal dalam praktiknya, ada jamaah dengan kondisi tertentu yang sampai dilayani lebih dari satu orang petugas haji.

Ade berharap Kemenkes, Kemenag, dan MUI bisa duduk bersama membahas lebih detai soal istitoah kesehatan haji. Jamaah dengan kondisi kesehatan tertentu, yang dinyatakan tidak layak berhaji, diberi pengertian dari aspek keagamaan berdasarkan fatwa MUI.

Kemudian dijelaskan solusinya. Apakah berhaji menunggu lebih sehat atau dibadalkan hajinya. Dengan penjelasan berdasarkan aspek keagamaan, dia meyakini jemaah bakal bisa menerimanya.

Dia menegaskan, kasus kematian yang besar tersebut, tidak hanya disebabkan banyaknya jamaah lansia. Seperti diketahui tahun ini sekitar 30 persen jamaah berusia lansia. Lebih dari itu, Ade mengatakan faktor kesehatan menjadi penyebab utamanya. “ Sekarang mungkin bisa dicek, jemaah dengan usia tertua bagaimana kondisinya,” katanya.

Bisa jadi jamaah dengan usia tertua itu pulang berhaji dengan selamat, karena kondisi badannya sehat meskipun usianya lebih dari seabad.

Pada kesempatan itu, Ade juga menyinggung soal manasik haji. Dia mendapatkan kabar ada satu rombongan yang sudah melepas kain ihram, ketika tiba di Saudi. Padahal seharusnya menjalankan ibadah umrah wajib terlebih dahulu.

Dia menekankan petugas haji harus benar-benar kompeten. Sebab urusan manasik sangat penting. Menyangkut sempurna atau tidaknya ibadah tersebut. Terlepas dari layanan hotel, katering, dan lainnya, bagi dia aspek manasik haji justru yang utama.

Sejak jauh-jauh hari, calon jamaah sudah dibimbing manasik yang tepat. Melibatkan petugas yang sudah disertifikasi. “Istilah saya ada ngaji haji. Bisa dilakukan di masjid-masjid atau musala dekat kediaman jemaah,” tuturnya.

Sementara itu penutupan misi penyelenggaraan haji secara resmi dipimpin Menag Yaqut Cholil Qoumas di Bandara Soekarno-Hatta pada Sabtu (5/8). Pada kesempatan itu dia juga menyinggung soal kesehatan. Yaqut mengusulkan penetapan jamaah haji 2024 dibalik dari biasanya.

“Kemarin itu jamaah lunas dulu baru cek kesehatan, sehingga sering kali petugas kita itu tidak berani atau merasa nggak enak hati meloloskan meskipun jamaah dalam kondisi payah dengan alasan sudah melunasi,” katanya.

Dia mengusulkan, jamaah harus cek kesehatan dulu. Setelah dinyatakan layak, baru ditetapkan sebagai sebagai jamaah berhak lunas BPIH. Kepastian skema ini menunggu pembahasan bersama dengan DPR.

Skema bari itu diharapkan dapat mengurangi angka kematian jamaah haji. Berdasarkan data Siskohat, hingga akhir masa operasional haji ada 773 jamaah wafat. “Ini terdiri dari 752 jamaah haji reguler, 18 jamaah haji Khusus, dan tiga jamaah haji furada,” kata Yaqut.

Dari 752 jamaah haji reguler yang wafat, sebanyak 562 orang di antaranya berusia 65 tahun ke atas. Sebanyak 81 orang berusia 60 – 64 tahun. Sedang 109 jamaah lainnya berusia di bawah 60 tahun. Jamaah wafat paling tua berusia 98 tahun (2 orang), sedang jemaah termuda yang wafat berusia 42 tahun (6 orang). (wan/jpg/ila)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/