26.7 C
Medan
Sunday, May 5, 2024

Aww… Sektor Swasta Juga Bakal Digarap KPK

Gedung KPK

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Upaya KPK menjerat korporasi sebagai pelaku korupsi mungkin tak lama lagi terealisasi. Lembaga antirasuah itu tengah menanti terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang mengatur soal korporasi sebagai pelaku pidana korupsi.

Wakil Ketua KPK yang juga mantan hakim adhoc, Alexander Marwata mengatakan menjerat korporasi sebagai pelaku korupsi memang perlu dilakukan. Sebab dari sejumlah kasus korupsi, sebenarnya yang menikmati keuntungan perusahaannya. Tak hanya jajaran karyawan maupun pengurusnya.

Alex menjelaskan frasa ’’barang siapa’’ dalam undang-undang tindak pidana korupsi bisa menyangkut korporasi. Hanya saja sejauh ini KPK belum mantap menjerat korporasi sebagai pelaku karena khawatir belum ada kesepahaman dengan lembaga peradilan sebagai pemutus perkara.

’’Kita sudah berkoordinasi dengan MA terkait ini, kami tengah menanti SEMA-nya,’’ ujarnya. SEMA itu diperlukan agar seluruh jajaran peradilan ada kesepahaman dengan penegak hukum. Baik menyangkut prosedur maupun tata cara pengajuan korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Alex berharap tak lama lagi SEMA itu bisa diterbitkan MA.

Pernyataan Alex itu ditegaskan usai menggelar diskusi bersama para asosiasi usaha dan kementerian serta lembaga terkait di KPK, Selasa (9/8). Dalam diskusi itu asosiasi diminta membuat fakta integritas untuk mencegah terjadinya korupsi di sektor swasta.

Sejak berdiri, KPK telah menjerat 142 pihak swasta sebagai tersangka korupsi. Mayoritas mereka terjerat kasus penyuapan atau pemberian gratifikasi pada penyelenggara negara. Alex sadar tidak semua tersangka dari swasta itu berniat melakukan korupsi. Banyak dari mereka yang terpaksa melakukan itu karena terbentur perizinan.

’’Makanya dalam kesepatan ini kami undang seluruhnya. Asosiasinya, regulatornya hingga penegak hukumnya,’’ kata Alex. Dari pertemuan kemarin, ada sejumlah kesepakatan salah satunya pembentukan satgas pengaduan. Mereka dibentuk di setiap kementerian dan lembaga untuk menampung keluhan asosiasi.

Penegak hukum juga mendorong pelaku usaha aktif menjadi whistleblower jika menghadapi hal-hal yang bersifat pidana, seperti pemerasan. ’’Kami sepakat untuk menjamin penuh kerahasiaan identitas pelapornya,’’ ujarnya. Selama ini masih ada ketakutan melapor karena para pengusaha itu takut kehilangan priuk nasi-nya.

Budi Prasetio dari Gabungan Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Indonesia mengatakan saat ini di bidang kesehatan good government sudah berjalan dengan baik. Salah satunya adanya e-katalog. ’’Kalau bidang lain saya tidak tahu,’’ ujar Budi.

Alex menambahkan dari diskusi terungkap keluhan paling banyak disampaikan para pengusaha terjadi di sektor kehutanan. ’’Pengurusan perizinan di sektor kehutanan tidak ada kepastian,’’ ujarnya. Hal seperti itu yang bisa menimbulkan celah korupsi.

Apa yang disampaikan Alex kenyataan. Hal itu juga yang tergambar di kasus-kasus korupsi di KPK. Misalnya saja perkara suap ahli fungsi hutan yang melibatkan PT Bukit Jonggol Asri dengan Bupati Bogor saat itu, Rahmat Yasin.

Ada juga suap ahli fungsi hutan antara Gubernur Riau saat itu, Annas Maamun dan pengusaha bernama Gulat Manurung. Kasus-kasus itu bermula dari ribet dan tak transparannya pengurusan perizinan di Kementerian Kehutanan.(gun/jpg/rbb)

Gedung KPK

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Upaya KPK menjerat korporasi sebagai pelaku korupsi mungkin tak lama lagi terealisasi. Lembaga antirasuah itu tengah menanti terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang mengatur soal korporasi sebagai pelaku pidana korupsi.

Wakil Ketua KPK yang juga mantan hakim adhoc, Alexander Marwata mengatakan menjerat korporasi sebagai pelaku korupsi memang perlu dilakukan. Sebab dari sejumlah kasus korupsi, sebenarnya yang menikmati keuntungan perusahaannya. Tak hanya jajaran karyawan maupun pengurusnya.

Alex menjelaskan frasa ’’barang siapa’’ dalam undang-undang tindak pidana korupsi bisa menyangkut korporasi. Hanya saja sejauh ini KPK belum mantap menjerat korporasi sebagai pelaku karena khawatir belum ada kesepahaman dengan lembaga peradilan sebagai pemutus perkara.

’’Kita sudah berkoordinasi dengan MA terkait ini, kami tengah menanti SEMA-nya,’’ ujarnya. SEMA itu diperlukan agar seluruh jajaran peradilan ada kesepahaman dengan penegak hukum. Baik menyangkut prosedur maupun tata cara pengajuan korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Alex berharap tak lama lagi SEMA itu bisa diterbitkan MA.

Pernyataan Alex itu ditegaskan usai menggelar diskusi bersama para asosiasi usaha dan kementerian serta lembaga terkait di KPK, Selasa (9/8). Dalam diskusi itu asosiasi diminta membuat fakta integritas untuk mencegah terjadinya korupsi di sektor swasta.

Sejak berdiri, KPK telah menjerat 142 pihak swasta sebagai tersangka korupsi. Mayoritas mereka terjerat kasus penyuapan atau pemberian gratifikasi pada penyelenggara negara. Alex sadar tidak semua tersangka dari swasta itu berniat melakukan korupsi. Banyak dari mereka yang terpaksa melakukan itu karena terbentur perizinan.

’’Makanya dalam kesepatan ini kami undang seluruhnya. Asosiasinya, regulatornya hingga penegak hukumnya,’’ kata Alex. Dari pertemuan kemarin, ada sejumlah kesepakatan salah satunya pembentukan satgas pengaduan. Mereka dibentuk di setiap kementerian dan lembaga untuk menampung keluhan asosiasi.

Penegak hukum juga mendorong pelaku usaha aktif menjadi whistleblower jika menghadapi hal-hal yang bersifat pidana, seperti pemerasan. ’’Kami sepakat untuk menjamin penuh kerahasiaan identitas pelapornya,’’ ujarnya. Selama ini masih ada ketakutan melapor karena para pengusaha itu takut kehilangan priuk nasi-nya.

Budi Prasetio dari Gabungan Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Indonesia mengatakan saat ini di bidang kesehatan good government sudah berjalan dengan baik. Salah satunya adanya e-katalog. ’’Kalau bidang lain saya tidak tahu,’’ ujar Budi.

Alex menambahkan dari diskusi terungkap keluhan paling banyak disampaikan para pengusaha terjadi di sektor kehutanan. ’’Pengurusan perizinan di sektor kehutanan tidak ada kepastian,’’ ujarnya. Hal seperti itu yang bisa menimbulkan celah korupsi.

Apa yang disampaikan Alex kenyataan. Hal itu juga yang tergambar di kasus-kasus korupsi di KPK. Misalnya saja perkara suap ahli fungsi hutan yang melibatkan PT Bukit Jonggol Asri dengan Bupati Bogor saat itu, Rahmat Yasin.

Ada juga suap ahli fungsi hutan antara Gubernur Riau saat itu, Annas Maamun dan pengusaha bernama Gulat Manurung. Kasus-kasus itu bermula dari ribet dan tak transparannya pengurusan perizinan di Kementerian Kehutanan.(gun/jpg/rbb)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/