30 C
Medan
Tuesday, May 28, 2024

Setuju Tutup KJA Aquafarm dan Japfa, Kementerian LHK Harus Action

RAPAT: Bupati Karo Terkelin Brahmana menyampaikan pendapatnya pada pertemuan di Gedung Manggala Wanabakti, Kementerian LHK, Jakarta, Jumat (9/8) lalu.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – DPRD Sumut meminta langkah konkrit dari pemerintah pusat dan provinsi terkait penutupan perusahaan pencemar lingkungan Danau Toba. Salah satunya, terkait penutupan keramba jaring apung (KJA) yang disinyalir sebagai sumber air danau tercemar.

“Pernyataan setuju tidak cukup, harus ada action. Dari dulu pejabat provinsi dan pusat selalu bilang setuju penutupan KJA kalau ada demo dan tuntutan dari masyarakat, tapi tidak ada hasilnya,” kata anggota DPRD Sumut, Juliski Simorangkir menjawab Sumut Pos, Minggu (11/8).

Hal ini dikatakannya menyikapi pernyataan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) yang setuju penutupan izin operasional PT Aquafarm dan PT Japfa, perusahaan budidaya ikan di kawasan Danau Toba. Dia menyarankan segera bentuk tim evaluasi dari berbagai disiplin ilmu, sebagai langkah konkrit atas pernyataan yang dilontarkan Kementerian LHK tersebut. Pembentukan tim evaluasi itu menurutnyan

harus digagas dari pusat, sebab selama ini perizinan yang diberikan juga melalui kementerian terkait.

“Sekarang kita minta langkah konkrit segera bentuk tim evaluasi secara menyeluruh yang melibatkan akademisi, ahli lingkungan, ahli pariwisata yang independen dan pemerintah serta perwakilan masyarakat,” katanya.

Politisi PKPI Sumut ini juga meminta Kementerian LHK, Pemprovsu dan pemda se kawasan Danau Toba mengevaluasi efek lingkungan yang terjadi, termasuk izinnya dan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan perusahaan penanaman modal asing (PMA) itu selama ini. “Sehingga penutupan KJA ini ada dasar hukumnya dan tidak bisa dituntut perusahaan. Kita berikan batasan waktu kepada tim untuk membuat keputusan,” katanya.

Zero KJA Terganjal Perperes

Sebelumnya, Komisi D DPRD Sumut, Walhi Sumut, Horas Bangso Batak (HBB), dan Dinas Lingkungan Hidup Sumut membahas soal pencemaran air Danau Toba ini bersama Kementerian LHK, di Gedung Manggala Wanabakti, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Jakarta, Jumat (9/8). Dalam pertemuan itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Binsar Situmorang menyatakan, sulit menertibkan keramba jaring apung di kawasan Danau Toba selama Perpres Nomor 81 Tahun 2014 tidak dicabut atau direvisi.

“Sangat sulit menertibkan KJA oleh perusahaan-perusahaan yang belum menutup usahanya yang dianggap mencemari Danau Toba. Sebab, mereka tahu aturan hukum. Kita bicara untuk zero KJA, harus dulu kita revisi payung hukumnya yang termaktub pada Perpres 81 Tahun 2014. Dalam Perpres ini tidak ada menguatkan zero KJA hanya zonasi KJA. Nah, kalau mau menanggapi apa yang diutarakan dalam rapat ini, mari revisi (Perpers) dulu, agar peraturan yang ada tidak tumpang tindih,” kata Binsar

Menyikapi ini, Ketua Komisi D DPRD Sumut, Sutrisno Pangaribuan menyatakan, pihaknya bersama HBB, WALHI dan unsur masyarakat lainnya akan mendesak Presiden Jokowi segera mencabut Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 81 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba yang mengatur soal zonasi. Direncanakan, hal itu akan dilakukan Bulan September mendatang.

“Tidak mungkin PT Aquafarm Nusantara dan perusahaan KJA lainnya dicabut izin usahanya jika masih ada Perpres tentang zonasi. Kita akan mendesak Presiden mencabut aturan itu,” ungkap Sutrisno.

Anggota Komisi D, Layari Sinukaban juga menyebutkan, Perpres Nomor 81/2014 tentang rencana tata ruang kawasan Danau Toba itu ibarat makelar bagi perusahaan-perusahaan perusak Danau Toba semacam PT Aquafarm Nusantara. Zonasi KJA yang diatur di dalamnya, justru melegalkan Aquafarm dan perusahaan perusak Danau Toba lainnya untuk berusaha dan mencemari Danau Toba.

“Kami meminta agar disampaikan kepada Menteri Luhut agar Perpres 82/2014 dicabut agar tidak ada lagi KJA di Danau Toba,” ujar Layari yang berasal dari Partai Demokrat.

Sementara Walhi Sumut dan HBB menilai, kawasan Danau Toba kondisinya saat ini sudah sangat memperihatinkan. Sumber pencemaran disebutkan, berasal dari limbah pakan ikan yang dibudidayakan dengan keramba jaring apung, kotoran dari ternak babi dan juga limbah dari perhotelan. Dana Tarigan dari Walhi Sumut bahkan menyatakan, kondisi Danau Toba saat ini toilet raksasa, bukan ikon pariwisata. “Ini saya katakan karena pencemaran kawasan Danau Toba sudah sangat parah rusaknya dan menakutkan. Bayangkan, kotoran babi, kotoran manusia, kotoran ikan, limbah perhotelan semuanya dibuang ke Danau Toba,” ungkapnya.

“Herannya, kenapa perhotelan, budidaya keramba jaring apung dari perusahaan dan masyarakat tidak mematuhi Pergub Tahun 2017. Ini warning, air Danau Toba sekarang sudah tidak dapat dimanfaatkan untuk dikonsumsi sebagai air minum,” tegas Dana.

Lamsiang Sitompul dari HBB menambahkan, pencemaran Danau Toba merupakan kerusakan sangat parah. Dia menyebutkan, berdasarkan fakta di lapangan, pencemaran akibat faktor kotoran babi, kotoran manusia, kotoran ikan dari budidaya KJA, ditambah limbah perhotelan yang tidak memiliki izin.

“Sesuai hasil penelitian Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Utara tahun 2005-2012 menyatakan, kawasan Danau Toba kategori tercemar. Untuk itu, sesuai instruksi Presiden Jokowi, kami HBB meminta tidak ada alasan Kementerian LHK tidak setuju. Harus setuju zero keramba,” ujarnya.

Dalam rapat itu, Bupati Karo, Terkelin Brahmana menegaskan, tidak ada pencemaran kawasan Danau Toba di kawasan Tongging berasal dari KJA dan kotoran ternak babi. “Terkait KJA di Tongging dan maraknya kotoran babi masuk ke Danau Toba, khusus Kabupaten Karo, itu kita katakan tidak ada. Walaupun rumah makan BPK (babi panggang Karo) bertebaran di Kabupaten Karo, tapi untuk pembuangan kotoran babi di seputaran Tongging, saya jamin tidak ada. Itu zero kotoran babi,” ungkapnya.

Terkelin menyatakan, dalam waktu dekat, masyarakat Kabupaten Karo akan memberikan persetujuan sterilisasi keramba jaring apung. “Dalam waktu dekat ini masyarakat Karo akan memberikan surat persetujuan bahwa mereka yang mengusahai KJA akan disterilkan. Ini kita dapat informasinya,” katanya.

Anggota Komisi D DPRD Sumut, Fahrijal Nasution, Burhanuddin Siregar, Layari Sinukaban, Leonard Surungan Samosir, mendesak diberlakukannya segera zero keramba jaring apung. Ketua Komisi D DPRD Sumut Sutrisno Pangaribuan mendorong Kementerian LHK segera mengambil sikap.

Direktur Pengendalian Pencemaran Air-Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Luckmi Purwandari menyatakan, akan menindaklanjuti pembahasan pencemaran Danau Toba dengan pimpinan di Kementerian LHK “Semua yang disampaikan tadi, sudah kita catat, dan kita akan bahas bersama pimpinan kami,” tegas Luckmi.

Dia juga menyebutkan, Kementerian LHK menyetujui penutupan perusahaan budidaya ikan air tawar PT Aquafarm Nusantara yang berusaha di Danau Toba menggunakan KJA. “Kita setuju saja PT Aquafarm Nusantara dan yang lainnya ditutup, tinggal masyarakat dan pemerintah tujuh kabupaten di kawasan Danau Toba seperti, apa mereka setuju?” kata Luckmi. (prn/deo)

RAPAT: Bupati Karo Terkelin Brahmana menyampaikan pendapatnya pada pertemuan di Gedung Manggala Wanabakti, Kementerian LHK, Jakarta, Jumat (9/8) lalu.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – DPRD Sumut meminta langkah konkrit dari pemerintah pusat dan provinsi terkait penutupan perusahaan pencemar lingkungan Danau Toba. Salah satunya, terkait penutupan keramba jaring apung (KJA) yang disinyalir sebagai sumber air danau tercemar.

“Pernyataan setuju tidak cukup, harus ada action. Dari dulu pejabat provinsi dan pusat selalu bilang setuju penutupan KJA kalau ada demo dan tuntutan dari masyarakat, tapi tidak ada hasilnya,” kata anggota DPRD Sumut, Juliski Simorangkir menjawab Sumut Pos, Minggu (11/8).

Hal ini dikatakannya menyikapi pernyataan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) yang setuju penutupan izin operasional PT Aquafarm dan PT Japfa, perusahaan budidaya ikan di kawasan Danau Toba. Dia menyarankan segera bentuk tim evaluasi dari berbagai disiplin ilmu, sebagai langkah konkrit atas pernyataan yang dilontarkan Kementerian LHK tersebut. Pembentukan tim evaluasi itu menurutnyan

harus digagas dari pusat, sebab selama ini perizinan yang diberikan juga melalui kementerian terkait.

“Sekarang kita minta langkah konkrit segera bentuk tim evaluasi secara menyeluruh yang melibatkan akademisi, ahli lingkungan, ahli pariwisata yang independen dan pemerintah serta perwakilan masyarakat,” katanya.

Politisi PKPI Sumut ini juga meminta Kementerian LHK, Pemprovsu dan pemda se kawasan Danau Toba mengevaluasi efek lingkungan yang terjadi, termasuk izinnya dan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan perusahaan penanaman modal asing (PMA) itu selama ini. “Sehingga penutupan KJA ini ada dasar hukumnya dan tidak bisa dituntut perusahaan. Kita berikan batasan waktu kepada tim untuk membuat keputusan,” katanya.

Zero KJA Terganjal Perperes

Sebelumnya, Komisi D DPRD Sumut, Walhi Sumut, Horas Bangso Batak (HBB), dan Dinas Lingkungan Hidup Sumut membahas soal pencemaran air Danau Toba ini bersama Kementerian LHK, di Gedung Manggala Wanabakti, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Jakarta, Jumat (9/8). Dalam pertemuan itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Binsar Situmorang menyatakan, sulit menertibkan keramba jaring apung di kawasan Danau Toba selama Perpres Nomor 81 Tahun 2014 tidak dicabut atau direvisi.

“Sangat sulit menertibkan KJA oleh perusahaan-perusahaan yang belum menutup usahanya yang dianggap mencemari Danau Toba. Sebab, mereka tahu aturan hukum. Kita bicara untuk zero KJA, harus dulu kita revisi payung hukumnya yang termaktub pada Perpres 81 Tahun 2014. Dalam Perpres ini tidak ada menguatkan zero KJA hanya zonasi KJA. Nah, kalau mau menanggapi apa yang diutarakan dalam rapat ini, mari revisi (Perpers) dulu, agar peraturan yang ada tidak tumpang tindih,” kata Binsar

Menyikapi ini, Ketua Komisi D DPRD Sumut, Sutrisno Pangaribuan menyatakan, pihaknya bersama HBB, WALHI dan unsur masyarakat lainnya akan mendesak Presiden Jokowi segera mencabut Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 81 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba yang mengatur soal zonasi. Direncanakan, hal itu akan dilakukan Bulan September mendatang.

“Tidak mungkin PT Aquafarm Nusantara dan perusahaan KJA lainnya dicabut izin usahanya jika masih ada Perpres tentang zonasi. Kita akan mendesak Presiden mencabut aturan itu,” ungkap Sutrisno.

Anggota Komisi D, Layari Sinukaban juga menyebutkan, Perpres Nomor 81/2014 tentang rencana tata ruang kawasan Danau Toba itu ibarat makelar bagi perusahaan-perusahaan perusak Danau Toba semacam PT Aquafarm Nusantara. Zonasi KJA yang diatur di dalamnya, justru melegalkan Aquafarm dan perusahaan perusak Danau Toba lainnya untuk berusaha dan mencemari Danau Toba.

“Kami meminta agar disampaikan kepada Menteri Luhut agar Perpres 82/2014 dicabut agar tidak ada lagi KJA di Danau Toba,” ujar Layari yang berasal dari Partai Demokrat.

Sementara Walhi Sumut dan HBB menilai, kawasan Danau Toba kondisinya saat ini sudah sangat memperihatinkan. Sumber pencemaran disebutkan, berasal dari limbah pakan ikan yang dibudidayakan dengan keramba jaring apung, kotoran dari ternak babi dan juga limbah dari perhotelan. Dana Tarigan dari Walhi Sumut bahkan menyatakan, kondisi Danau Toba saat ini toilet raksasa, bukan ikon pariwisata. “Ini saya katakan karena pencemaran kawasan Danau Toba sudah sangat parah rusaknya dan menakutkan. Bayangkan, kotoran babi, kotoran manusia, kotoran ikan, limbah perhotelan semuanya dibuang ke Danau Toba,” ungkapnya.

“Herannya, kenapa perhotelan, budidaya keramba jaring apung dari perusahaan dan masyarakat tidak mematuhi Pergub Tahun 2017. Ini warning, air Danau Toba sekarang sudah tidak dapat dimanfaatkan untuk dikonsumsi sebagai air minum,” tegas Dana.

Lamsiang Sitompul dari HBB menambahkan, pencemaran Danau Toba merupakan kerusakan sangat parah. Dia menyebutkan, berdasarkan fakta di lapangan, pencemaran akibat faktor kotoran babi, kotoran manusia, kotoran ikan dari budidaya KJA, ditambah limbah perhotelan yang tidak memiliki izin.

“Sesuai hasil penelitian Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Utara tahun 2005-2012 menyatakan, kawasan Danau Toba kategori tercemar. Untuk itu, sesuai instruksi Presiden Jokowi, kami HBB meminta tidak ada alasan Kementerian LHK tidak setuju. Harus setuju zero keramba,” ujarnya.

Dalam rapat itu, Bupati Karo, Terkelin Brahmana menegaskan, tidak ada pencemaran kawasan Danau Toba di kawasan Tongging berasal dari KJA dan kotoran ternak babi. “Terkait KJA di Tongging dan maraknya kotoran babi masuk ke Danau Toba, khusus Kabupaten Karo, itu kita katakan tidak ada. Walaupun rumah makan BPK (babi panggang Karo) bertebaran di Kabupaten Karo, tapi untuk pembuangan kotoran babi di seputaran Tongging, saya jamin tidak ada. Itu zero kotoran babi,” ungkapnya.

Terkelin menyatakan, dalam waktu dekat, masyarakat Kabupaten Karo akan memberikan persetujuan sterilisasi keramba jaring apung. “Dalam waktu dekat ini masyarakat Karo akan memberikan surat persetujuan bahwa mereka yang mengusahai KJA akan disterilkan. Ini kita dapat informasinya,” katanya.

Anggota Komisi D DPRD Sumut, Fahrijal Nasution, Burhanuddin Siregar, Layari Sinukaban, Leonard Surungan Samosir, mendesak diberlakukannya segera zero keramba jaring apung. Ketua Komisi D DPRD Sumut Sutrisno Pangaribuan mendorong Kementerian LHK segera mengambil sikap.

Direktur Pengendalian Pencemaran Air-Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Luckmi Purwandari menyatakan, akan menindaklanjuti pembahasan pencemaran Danau Toba dengan pimpinan di Kementerian LHK “Semua yang disampaikan tadi, sudah kita catat, dan kita akan bahas bersama pimpinan kami,” tegas Luckmi.

Dia juga menyebutkan, Kementerian LHK menyetujui penutupan perusahaan budidaya ikan air tawar PT Aquafarm Nusantara yang berusaha di Danau Toba menggunakan KJA. “Kita setuju saja PT Aquafarm Nusantara dan yang lainnya ditutup, tinggal masyarakat dan pemerintah tujuh kabupaten di kawasan Danau Toba seperti, apa mereka setuju?” kata Luckmi. (prn/deo)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/