30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Detik-detik Bripka Iwan Sarjana Disiksa Para Napi Teroris

Keempat, Iwan Sarjana bersama rekan-rekannya berupaya untuk menghalau tahanan dan napi masuk ke ruang penyidik. Gagang pintu saat itu sudah jebol. Iwan dkk berupaya untuk menahan mereka masuk dengan menggeser kursi dan meja besi di depan pintu. Kondisi sudah crowded atau penuh sesak. Napi mengepung dari segala penjuru. Jendela kaca juga dipecah dengan kursi besi. “Tapi, kami semua satu tim masih terus bertahan selama mungkin.”

Kelima, Iwan Sarjana dan rekan-rekannya membawa senjata tapi belum memiliki niat untuk menembakkannya karena merasa mampu untuk bisa menghalaunya dengan berbagai barang dan dengan tangan. Mereka saat itu hanya membawa barang keras, kursi, batu dan sebagainya.

“Saya sendiri merasa harus menjaga hak asasi manusia (HAM). Setiap peluru yang saya muntahkan itu dipertanggungjawabkan. Kalau salah bisa dihukum. Saya dan rekan-rekan tidak ingin melanggar HAM,” ujar Iwan.

Keenam, Iwan dkk menyembunyikan senjata dari tahanan dan narapidana. Tentunya, agar tidak direbut. Namun, ternyata kondisi semakin parah, Iwan dan rekan-rekan diseret banyak orang, tahanan dan napi. “Saya sudah tidak bergerak melawan. Saya diseret sekitar ratusan meter dari ruang penyidikan ke Rutan Blok A,” ujarnya.

Ketujuh, lebih dari sepuluh orang menyeret Iwan. Saat diseret itu Iwan baru melihat mereka membawa pisau, entah dari mana. Gembok dan rantai.

Tidak hanya dipukul, ditendang, Iwan dipukul pakai rantai. Bahkan, setelah sampai di sel Blok A, mata ditutup kain dan tangan diikat. Iwan disuruh menghadap tembok. “Selanjutnya, byur, air mendidih disiramkan ke punggung. Saya berteriak, tapi tetap mencoba bertahan. Sakit bukan kepalang, tapi saya yakin ini akan berlalu,” cerita Iwan. (idr/ang)

Keempat, Iwan Sarjana bersama rekan-rekannya berupaya untuk menghalau tahanan dan napi masuk ke ruang penyidik. Gagang pintu saat itu sudah jebol. Iwan dkk berupaya untuk menahan mereka masuk dengan menggeser kursi dan meja besi di depan pintu. Kondisi sudah crowded atau penuh sesak. Napi mengepung dari segala penjuru. Jendela kaca juga dipecah dengan kursi besi. “Tapi, kami semua satu tim masih terus bertahan selama mungkin.”

Kelima, Iwan Sarjana dan rekan-rekannya membawa senjata tapi belum memiliki niat untuk menembakkannya karena merasa mampu untuk bisa menghalaunya dengan berbagai barang dan dengan tangan. Mereka saat itu hanya membawa barang keras, kursi, batu dan sebagainya.

“Saya sendiri merasa harus menjaga hak asasi manusia (HAM). Setiap peluru yang saya muntahkan itu dipertanggungjawabkan. Kalau salah bisa dihukum. Saya dan rekan-rekan tidak ingin melanggar HAM,” ujar Iwan.

Keenam, Iwan dkk menyembunyikan senjata dari tahanan dan narapidana. Tentunya, agar tidak direbut. Namun, ternyata kondisi semakin parah, Iwan dan rekan-rekan diseret banyak orang, tahanan dan napi. “Saya sudah tidak bergerak melawan. Saya diseret sekitar ratusan meter dari ruang penyidikan ke Rutan Blok A,” ujarnya.

Ketujuh, lebih dari sepuluh orang menyeret Iwan. Saat diseret itu Iwan baru melihat mereka membawa pisau, entah dari mana. Gembok dan rantai.

Tidak hanya dipukul, ditendang, Iwan dipukul pakai rantai. Bahkan, setelah sampai di sel Blok A, mata ditutup kain dan tangan diikat. Iwan disuruh menghadap tembok. “Selanjutnya, byur, air mendidih disiramkan ke punggung. Saya berteriak, tapi tetap mencoba bertahan. Sakit bukan kepalang, tapi saya yakin ini akan berlalu,” cerita Iwan. (idr/ang)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/