32 C
Medan
Saturday, June 1, 2024

Ubah Rumus Pesangon hingga Kemudahan PHK

Pembahasan di DPR Hanya Umum Saja

ilustrasi

SUMUTPOS.CO – Membaca Draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja (CLK) klaster Ketenagakerjaan itu ibaratnya seperti mengupas bawang. Makin dikupas, makin pedih. Banyak pasal yang dinilai bakal memberatkan pekerja. Mulai dari urusan upah minimum (UM) hingga urusan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Merujuk pada draft yang diterima Jawa Pos, banyak pasal ngambang. Di mana, ketentuannya akan diatur lebih detil di peraturan pemerintah. Padahal, poin tersebut krusial dan butuh transparan. Beda jauh dengan UU 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang lebih gamblang.

Misalnya, untuk urusan UM. Memang, UM tidak dihapuskan pada RUU ini. Tapi, melalui beleid tersebut, pemerintah ternyata menghilangkan peran dewan pengupahan dalam penentuan UM. Kewenangan dilimpahkan sepenuhnya ke gubernur. Aturan ini tertuang dalam BaB IV tentang Ketenagakerjaan pasal 88C.

Dalam pasal tersebut, Gubernur sudah diberikan formula untuk penentuan UM. Rumusnya, UM provinsi dihitung dengan menjumlahkan UM tahun berjalan dengan hasil kali UM tahun berjalan dengan persentase pertumbuhan ekonomi tahun berjalan.

Rumus ini, menurut Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar, besar kemungkinan bakal membuat perhitungam UM lebih rendah dibanding skema saat ini. Karena, kenaikannya hanya didasari pada pertumbuhan ekonomi saja, tidak lagi menghitung inflasi.

“Padahal, kalau di PP 78/2015 tentang pengupahan, kenaikan UM berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi,” tuturnya pada koran ini, kemarin (13/2).

Berbicara mengenai PHK, pemerintah benar-benar membuktikan ucapannya tentang kemudahan mengakhiri hubungan kerja. Dalam draf ruu tersebut, di pasal 154 dikatakan bahwa PHK dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja atau buruh. Bila kesepakatan tersebut tidak tercapai, penyelesaian PHK dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Alasan PHK ini kemudian diperjelas lagi di Pasal 154 A ayat 1. Ada yang cukup mengagetkan, salah satunya pada poin J, jelas tertulis bahwa PHK dapat dilakukan jika pekerja atau buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan (PP) atau perjanjian kerja bersama (PKB).

Poin ini jauh berbeda dengan UU Ketenagakerjaan yang berlaku saat ini. PHK dilakukan, pengusaha, pekerja, serikat pekerja dan pemerintah harus mengusahakan agar pemutusan tersebut tidak terjadi. Mulai surat teguran atau peringatan terlebih dahulu dan tidak perlu penetapan pengadilan.

“Kalau di UU 13/2003 kan pelanggaran PP atau PKB misalnya telat masuk kerja, kalau dikasih sanksi maka dikasih Surat Peringatan dulu,”. tegasnya. (mia/agf/wan)

Pembahasan di DPR Hanya Umum Saja

ilustrasi

SUMUTPOS.CO – Membaca Draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja (CLK) klaster Ketenagakerjaan itu ibaratnya seperti mengupas bawang. Makin dikupas, makin pedih. Banyak pasal yang dinilai bakal memberatkan pekerja. Mulai dari urusan upah minimum (UM) hingga urusan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Merujuk pada draft yang diterima Jawa Pos, banyak pasal ngambang. Di mana, ketentuannya akan diatur lebih detil di peraturan pemerintah. Padahal, poin tersebut krusial dan butuh transparan. Beda jauh dengan UU 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang lebih gamblang.

Misalnya, untuk urusan UM. Memang, UM tidak dihapuskan pada RUU ini. Tapi, melalui beleid tersebut, pemerintah ternyata menghilangkan peran dewan pengupahan dalam penentuan UM. Kewenangan dilimpahkan sepenuhnya ke gubernur. Aturan ini tertuang dalam BaB IV tentang Ketenagakerjaan pasal 88C.

Dalam pasal tersebut, Gubernur sudah diberikan formula untuk penentuan UM. Rumusnya, UM provinsi dihitung dengan menjumlahkan UM tahun berjalan dengan hasil kali UM tahun berjalan dengan persentase pertumbuhan ekonomi tahun berjalan.

Rumus ini, menurut Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar, besar kemungkinan bakal membuat perhitungam UM lebih rendah dibanding skema saat ini. Karena, kenaikannya hanya didasari pada pertumbuhan ekonomi saja, tidak lagi menghitung inflasi.

“Padahal, kalau di PP 78/2015 tentang pengupahan, kenaikan UM berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi,” tuturnya pada koran ini, kemarin (13/2).

Berbicara mengenai PHK, pemerintah benar-benar membuktikan ucapannya tentang kemudahan mengakhiri hubungan kerja. Dalam draf ruu tersebut, di pasal 154 dikatakan bahwa PHK dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja atau buruh. Bila kesepakatan tersebut tidak tercapai, penyelesaian PHK dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Alasan PHK ini kemudian diperjelas lagi di Pasal 154 A ayat 1. Ada yang cukup mengagetkan, salah satunya pada poin J, jelas tertulis bahwa PHK dapat dilakukan jika pekerja atau buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan (PP) atau perjanjian kerja bersama (PKB).

Poin ini jauh berbeda dengan UU Ketenagakerjaan yang berlaku saat ini. PHK dilakukan, pengusaha, pekerja, serikat pekerja dan pemerintah harus mengusahakan agar pemutusan tersebut tidak terjadi. Mulai surat teguran atau peringatan terlebih dahulu dan tidak perlu penetapan pengadilan.

“Kalau di UU 13/2003 kan pelanggaran PP atau PKB misalnya telat masuk kerja, kalau dikasih sanksi maka dikasih Surat Peringatan dulu,”. tegasnya. (mia/agf/wan)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/