34.5 C
Medan
Friday, May 3, 2024

MK Batalkan Ketentuan

JAKARTA, SUMUTPOS.CO -Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan ketentuan yang dalam UU Nomor 10 Tahun 2016, tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, mengharuskan Komisi Pemilihan Umum (KPU) melaksanakan seluruh hasil konsultasi dengan DPR, dalam penyusunan peraturan buatan lembaga penyelenggara pemilu itu.

Dengan demikian, lembaga yang kini dipimpin Arief Budiman itu, memiliki keleluasaan menyusun peraturan KPU (PKPU) tanpa harus mengikuti hasil konsultasi dengan DPR.

“Menyatakan Pasal 9 huruf a UU Nomor 10/2016, tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, sepanjang frasa ‘… yang keputusannya bersifat mengikat’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya,” tutur Ketua MK Anwar Usman, saat membacakan keputusan uji materi atas UU Pilkada di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, awal pekan ini.

MK dalam pertimbangannya menilai, frasa yang dihapus itu membawa implikasi teoretik maupun praktik yang dapat mereduksi kemandirian KPU, sekaligus tidak memberi kepastian hukum. MK pun memiliki beberapa alasan, sehingga membatalkan ketentuan yang mengharuskan KPU merujuk hasil konsultasi dengan DPR. “Pertama, bukan tidak mungkin dalam forum dengar pendapat dimaksud tidak tercapai keputusan yang bulat, atau bahkan tidak ada kesimpulan sama sekali. Hal itu dapat terjadi, misalnya karena di satu pihak tidak terdapat kesepakatan di antara fraksi-fraksi,” jelas Hakim Aswanto.

MK juga menilai, frasa tersebut berlebihan. Sebab, tanpa frasa tersebut penyelenggara Pemilu akan tetap melaksanakan keputusan konsultasi jika dalam forum dengar pendapat tercapai kesepakatan.

“Pertimbangan hukum lain, frasa tersebut telah menghilangkan atau setidaknya mengaburkan makna ‘konsultasi’ dalam Pasal 9 huruf a UU Nomor 10/2016. Sebagai forum konsultasi, dalam hal tidak terdapat kesepakatan, maka KPU sebagai lembaga yang dijamin kemandiriannya oleh UUD1945, tidak boleh tersandera dalam melaksanakan kewenangannya dalam membuat PKPU dan pedoman teknis,” kata Hakim Aswanto.

Sebelumnya, KPU mengajukan uji materi UU Pilkada ke MK Oktober 2016 lalu. Uji materi dilakukan, karena menilai keharusan KPU melaksanakan hasil konsultasi dengan DPR telah menganggu prinsip kemandirian penyelenggara Pemilu. (gir/jpg/saz)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO -Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan ketentuan yang dalam UU Nomor 10 Tahun 2016, tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, mengharuskan Komisi Pemilihan Umum (KPU) melaksanakan seluruh hasil konsultasi dengan DPR, dalam penyusunan peraturan buatan lembaga penyelenggara pemilu itu.

Dengan demikian, lembaga yang kini dipimpin Arief Budiman itu, memiliki keleluasaan menyusun peraturan KPU (PKPU) tanpa harus mengikuti hasil konsultasi dengan DPR.

“Menyatakan Pasal 9 huruf a UU Nomor 10/2016, tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, sepanjang frasa ‘… yang keputusannya bersifat mengikat’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya,” tutur Ketua MK Anwar Usman, saat membacakan keputusan uji materi atas UU Pilkada di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, awal pekan ini.

MK dalam pertimbangannya menilai, frasa yang dihapus itu membawa implikasi teoretik maupun praktik yang dapat mereduksi kemandirian KPU, sekaligus tidak memberi kepastian hukum. MK pun memiliki beberapa alasan, sehingga membatalkan ketentuan yang mengharuskan KPU merujuk hasil konsultasi dengan DPR. “Pertama, bukan tidak mungkin dalam forum dengar pendapat dimaksud tidak tercapai keputusan yang bulat, atau bahkan tidak ada kesimpulan sama sekali. Hal itu dapat terjadi, misalnya karena di satu pihak tidak terdapat kesepakatan di antara fraksi-fraksi,” jelas Hakim Aswanto.

MK juga menilai, frasa tersebut berlebihan. Sebab, tanpa frasa tersebut penyelenggara Pemilu akan tetap melaksanakan keputusan konsultasi jika dalam forum dengar pendapat tercapai kesepakatan.

“Pertimbangan hukum lain, frasa tersebut telah menghilangkan atau setidaknya mengaburkan makna ‘konsultasi’ dalam Pasal 9 huruf a UU Nomor 10/2016. Sebagai forum konsultasi, dalam hal tidak terdapat kesepakatan, maka KPU sebagai lembaga yang dijamin kemandiriannya oleh UUD1945, tidak boleh tersandera dalam melaksanakan kewenangannya dalam membuat PKPU dan pedoman teknis,” kata Hakim Aswanto.

Sebelumnya, KPU mengajukan uji materi UU Pilkada ke MK Oktober 2016 lalu. Uji materi dilakukan, karena menilai keharusan KPU melaksanakan hasil konsultasi dengan DPR telah menganggu prinsip kemandirian penyelenggara Pemilu. (gir/jpg/saz)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/