26.7 C
Medan
Sunday, April 28, 2024

Mangkir, Jemput Paksa

Ketua DPR RI Setya Novanto akan kembali dipanggil KPK dalam kasus dugaan korupsi e-KTP. FOTO :CHARLIE/INDOPOS

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Desakan agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjemput Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) secara paksa kian menguat. Itu lantaran manuver ketua umum DPP Partai Golkar tersebut yang justru semakin liar dengan menggugat 2 pasal undang-undang lembaga superbodi tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Langkah ekstrem Setnov melalui kuasa hukumnya itu berpotensi menghambat pengusutan kasus dugaan korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). ”Harus dijemput paksa !,” kata koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman, kemarin (14/11). Bila KPK tidak melakukan upaya paksa, Setnov dikhawatirkan melakukan manuver lain.

Upaya paksa menghadirkan saksi atau tersangka dugaan korupsi sejatinya sudah pernah dilakukan KPK. Salah satunya pada Juli 2015. Kala itu, KPK menjemput paksa Bupati Morotai Rusli Sibua yang berstatus tersangka suap sengketa pilkada di MK. Penjemputan paksa atau perintah membawa itu dilakukan lantaran yang bersangkutan berkali-kali mangkir panggilan komisi antirasuah.

Boyamin menjelaskan, Setnov sudah memenuhi kategori saksi atau tersangka yang layak dijemput paksa. Sebab, Setnov sudah dipanggil lebih dari 2 kali sebagai saksi dan selalu menyampaikan alasan kurang wajar. Sesuai hukum acara pidana (KUHAP) pasal 112 ayat (2), penyidik berhak mengeluarkan perintah membawa (paksa) terhadap orang yang 2 kali tidak memenuhi panggilan.

Menurut Boyamin, bila alasan Setnov dianggap penyidik wajar, maka jemput paksa bisa dilakukan setelah panggilan ketiga tidak diindahkan. ”Kalau ada alasan maka setelah panggilan ketiga (baru dipanggil paksa, Red). Terlepas alasan itu masuk akal atau tidak masuk akal,” paparnya. KPK juga bisa menerapkan mekanisme penangkapan terhadap Setnov. ”Dengan dasar cukup bukti.”

Boyamin berharap KPK segera melakukan upaya jemput paksa atau penangkapan terhadap Setnov. Sebab, ketentuan dan dasar hukum melakukan upaya itu sudah jelas. ”KPK tidak seharusnya menganggap SN sebagai warga yang istimewa,” ungkap mantan pengacara Antasari Azhar tersebut.

Ketua DPR RI Setya Novanto akan kembali dipanggil KPK dalam kasus dugaan korupsi e-KTP. FOTO :CHARLIE/INDOPOS

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Desakan agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjemput Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) secara paksa kian menguat. Itu lantaran manuver ketua umum DPP Partai Golkar tersebut yang justru semakin liar dengan menggugat 2 pasal undang-undang lembaga superbodi tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Langkah ekstrem Setnov melalui kuasa hukumnya itu berpotensi menghambat pengusutan kasus dugaan korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). ”Harus dijemput paksa !,” kata koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman, kemarin (14/11). Bila KPK tidak melakukan upaya paksa, Setnov dikhawatirkan melakukan manuver lain.

Upaya paksa menghadirkan saksi atau tersangka dugaan korupsi sejatinya sudah pernah dilakukan KPK. Salah satunya pada Juli 2015. Kala itu, KPK menjemput paksa Bupati Morotai Rusli Sibua yang berstatus tersangka suap sengketa pilkada di MK. Penjemputan paksa atau perintah membawa itu dilakukan lantaran yang bersangkutan berkali-kali mangkir panggilan komisi antirasuah.

Boyamin menjelaskan, Setnov sudah memenuhi kategori saksi atau tersangka yang layak dijemput paksa. Sebab, Setnov sudah dipanggil lebih dari 2 kali sebagai saksi dan selalu menyampaikan alasan kurang wajar. Sesuai hukum acara pidana (KUHAP) pasal 112 ayat (2), penyidik berhak mengeluarkan perintah membawa (paksa) terhadap orang yang 2 kali tidak memenuhi panggilan.

Menurut Boyamin, bila alasan Setnov dianggap penyidik wajar, maka jemput paksa bisa dilakukan setelah panggilan ketiga tidak diindahkan. ”Kalau ada alasan maka setelah panggilan ketiga (baru dipanggil paksa, Red). Terlepas alasan itu masuk akal atau tidak masuk akal,” paparnya. KPK juga bisa menerapkan mekanisme penangkapan terhadap Setnov. ”Dengan dasar cukup bukti.”

Boyamin berharap KPK segera melakukan upaya jemput paksa atau penangkapan terhadap Setnov. Sebab, ketentuan dan dasar hukum melakukan upaya itu sudah jelas. ”KPK tidak seharusnya menganggap SN sebagai warga yang istimewa,” ungkap mantan pengacara Antasari Azhar tersebut.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/