Dalam sidang sebelumnya, Selasa (17/1), saksi Budi Raharjo menyebutkan, kasbon itu dicairkan Soehardi. Faktanya, Dahlan selama ini memang tidak pernah menandatangani persetujuan pencairan uang perusahaan. Menurut Dahlan, di banyak perusahaan yang dipimpinnya, dirinya tidak pernah mengurusi soal keuangan.
Nah, ternyata tanda tangan Dahlan itu bukan untuk persetujuan pencairan. Dia hanya membubuhkan tanda tangan untuk disposisi. Hal tersebut dilakukan agar direktur keuangan melakukan percepatan penyelesaian pengosongan aset. Sebab, jika tidak segera dilakukan pengosongan, PT PWU harus membayar denda 1 persen per hari kepada pembeli aset. Perjanjian pengosongan itu tertuang dalam akta jual beli.
’’Lha kalau ada uang keluar yang seperti itu (kasbon pengosongan lahan, Red), tanggung jawab siapa? Tim atau bagian keuangan?’’ tanya hakim Unggul. Dengan tegas Soehardi menjawab bahwa itu tanggung jawab tim. Menurut dia, tim bertanggung jawab hingga seluruh proses penjualan selesai.
Lolos soal tanggung jawab pencairan dana pengosongan oleh tim penjualan, jaksa berusaha mencari kesalahan Dahlan lewat dokumen rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) pada September 2003. Dokumen RUPSLB itu, intinya, menyetujui pelepasan tanah di Tulungagung.
Menurut versi jaksa, RUPSLB itu dilaksanakan setelah diterimanya bilyet giro (BG) dari pihak pembeli lahan. Jaksa menganalogikan, dengan adanya RUPSLB setelah penerimaan BG, berarti penjualan aset di Tulungagung terjadi sebelum adanya izin dari pemegang saham.
Saksi Soehardi mematahkan analogi jaksa tersebut. Menurut dia, penjualan aset selama ini sudah beberapa kali dibahas dalam RUPS. Hakim Unggul sempat mencecar Soehardi, sebenarnya kapan RUPS terkait penjualan aset dilaksanakan? ’’Seingat saya beberapa kali, ada 2001 dan 2002,’’ jawab pria kelahiran 30 April 1944 itu.
Soehardi juga menjelaskan, jauh sebelum terjadi pelepasan aset, terdapat RUPS pada 23 Mei 2002. Dalam RUPS itu, pemegang saham menyetujui adanya program konsolidasi atau restrukturisasi aset. Intinya, aset yang tidak produktif dijual dan dibelikan aset yang lebih produktif. ’’Semua direksi dan pemegang saham tahu adanya RUPS tersebut,’’ tegas Soehardi.
Dalam RUPS 23 Mei 2002 itu juga ada lampiran yang menjelaskan detail aset yang akan dikonsolidasikan PWU. Yakni, 19 aset yang tidak memiliki dokumen dan fisiknya tidak dikuasai PWU, 13 aset yang tidak lengkap dokumennya tapi fisiknya dikuasai PWU, serta 23 aset yang punya dokumen tapi fisiknya tidak dikuasai. Ada pula 4 aset dengan dokumen sewa dan fisiknya dikuasai PWU serta 33 aset yang memiliki dokumen dan fisiknya dikuasai.
Entah dokumen RUPS 23 Mei 2002 itu sengaja disembunyikan jaksa atau bagaimana karena tidak ditunjukkan dalam sidang. Ketika dimintai keterangan setelah sidang, jaksa Lilik Indawati tetap bersikeras bahwa tidak ada bukti dokumen RUPS 23 Mei 2002.
Dahlan yakin penjualan aset PT PWU telah melalui RUPS. Hanya, dokumennya mungkin tidak didapat jaksa. ’’RUPS itu bisa menyetujui, bisa dilaksanakan atau tidak dilaksanakan. Bisa saja ada RUPS yang menyetujui lagi atau mengesahkan langkah-langkah,’’ ujarnya.